Elektabilitas Rendah, Tokoh dari Luar Parpol Sulit Jadi Capres-Cawapres
A
A
A
JAKARTA - Pakar Politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing menilai tokoh-tokoh dari luar partai sulit maju menjadi calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres). Menurutnya, elektabilitas menjadi pertimbangan parpol meminang capres atau cawapres dari luar partai.
"Elektabilitasnya luar biasa, misalnya di atas 50 persen partai akan mendekati. Tapi jika elektabilitas di bawah, saya kira sangat logis partai tidak mendukung mereka. Partai kan ingin berkuasa, masa mendukung calon yang elektabilitasnya rendah," ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews, Selasa (12/6/2018).
Ia mencontohkan, mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli, Imam Besar FPI Habib Rizieq Shibab, maupun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang digadang-gadang menjadi capres maupun cawapres elektabilitasnya masih sangat rendah. Hal itu terbukti dari beberapa hasil survei, nama-nama tersebut masih jauh tertinggal dari Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.
"Sementara penentuan sebagai calon, ini kan gawenya partai. Partai yang central menentukan. Calon-calon rendah, masa iya dipaksakan. Sebetulnya yang lebih aman yang elektabilitas 70 persen. Jokowi sendiri belum aman karena belum sampe 50 persen. Banyak swing votter," jelasnya.
Emrus melihat dari situasi politik saat ini tidak terhindarkan adanya tiga poros. Dia beralasan karena komunikasi politik yang terbangun antar partai belum mengkristal ke dua poros, poros satu atau dua.
Bahkan, kata dia, partai-partai yang saat ini sudah menunjukkan indikasi berada di posisi dua poros itu tidak ada jaminan mereka akan tetap berada di poros itu. Kondisinya masih sangat cair.
"Sangat cair. Karena apa, prinsip dasarnya adalah mereka akan mau menyatu ke salah kalau kepentingan politik mereka terakomodasi. Sepanjang kepentingan politik mereka belum terakomodasi saya pikir mereka akan membuat poros baru," pungkasnya.
Menurutnya dalam Pilpres 2019 sebenarnya tidak pas dipakai istilah koalisi. Kata dia, lebih pas dipakai istilah kerja sama politik. Pasalnya koalisi terjadi atas dasar ideologi dan sudah dibangun sejak lama, misalnya lima tahun lalu atau bahkan 10 tahun lalu. "Tetapi membentuk poros sangat dinamis dan bisa last minute. Karena itulah sangat pragmatis, lebih cocok sebagai kerja sama politik."
"Terkait dengan itu, tampaknya tiga poros akan terjadi. Poros baru ini cenderung akan dinakhodai oleh Partai Demokrat, baru kemudian besar kemungkinan merapat PAN. Karena PAN rekan lama Demokrat, saat Hatta menjadi Ketum. Dan kemudian ada relasi kekeluargaan antara PAN dan Demokrat," sambungnya.
"Elektabilitasnya luar biasa, misalnya di atas 50 persen partai akan mendekati. Tapi jika elektabilitas di bawah, saya kira sangat logis partai tidak mendukung mereka. Partai kan ingin berkuasa, masa mendukung calon yang elektabilitasnya rendah," ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews, Selasa (12/6/2018).
Ia mencontohkan, mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli, Imam Besar FPI Habib Rizieq Shibab, maupun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang digadang-gadang menjadi capres maupun cawapres elektabilitasnya masih sangat rendah. Hal itu terbukti dari beberapa hasil survei, nama-nama tersebut masih jauh tertinggal dari Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.
"Sementara penentuan sebagai calon, ini kan gawenya partai. Partai yang central menentukan. Calon-calon rendah, masa iya dipaksakan. Sebetulnya yang lebih aman yang elektabilitas 70 persen. Jokowi sendiri belum aman karena belum sampe 50 persen. Banyak swing votter," jelasnya.
Emrus melihat dari situasi politik saat ini tidak terhindarkan adanya tiga poros. Dia beralasan karena komunikasi politik yang terbangun antar partai belum mengkristal ke dua poros, poros satu atau dua.
Bahkan, kata dia, partai-partai yang saat ini sudah menunjukkan indikasi berada di posisi dua poros itu tidak ada jaminan mereka akan tetap berada di poros itu. Kondisinya masih sangat cair.
"Sangat cair. Karena apa, prinsip dasarnya adalah mereka akan mau menyatu ke salah kalau kepentingan politik mereka terakomodasi. Sepanjang kepentingan politik mereka belum terakomodasi saya pikir mereka akan membuat poros baru," pungkasnya.
Menurutnya dalam Pilpres 2019 sebenarnya tidak pas dipakai istilah koalisi. Kata dia, lebih pas dipakai istilah kerja sama politik. Pasalnya koalisi terjadi atas dasar ideologi dan sudah dibangun sejak lama, misalnya lima tahun lalu atau bahkan 10 tahun lalu. "Tetapi membentuk poros sangat dinamis dan bisa last minute. Karena itulah sangat pragmatis, lebih cocok sebagai kerja sama politik."
"Terkait dengan itu, tampaknya tiga poros akan terjadi. Poros baru ini cenderung akan dinakhodai oleh Partai Demokrat, baru kemudian besar kemungkinan merapat PAN. Karena PAN rekan lama Demokrat, saat Hatta menjadi Ketum. Dan kemudian ada relasi kekeluargaan antara PAN dan Demokrat," sambungnya.
(kri)