Fadli Zon Minta Jokowi Tinjau Ulang BPIP
A
A
A
JAKARTA - Setuju atau tidak, polemik mengenai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dinilai telah meruntuhkan sebagian wibawa lembaga tersebut.Pemerintah pun diminta untuk meninjau kembali keberadaan dan kelembagaan BPIP jika hendak meneruskan agenda pembudayaan Pancasila. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengomentari polemik di masyarakat mengenai keberadaan lembaga BPIP.
“Sebagaimana catatan yang saya sampaikan kemarin atas Perpres Nomor 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai BPIP, pemerintah seharusnya peka terhadap kritik dan ketersinggungan masyarakat. Publik bertanya, bagaimana bisa hak keuangan ketua dan anggota dewan pengarah lebih besar dari ketua badan dan para deputinya? Siapa sebenarnya yang menjadi eksekutif dan figur sentral di lembaga tersebut? Itu model manajemen kelembagaan dari mana?” tutur Fadli dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (9/6/2018).
Sayangnya, kata dia, persoalan tersebut tidak ditanggapi secara memadai oleh pemerintah. Pembelaan dan klarifikasi yang dilakukan anggota Dewan Pengarah BPIP juga terkesan defensif, bahkan malah menyerang para pengkritik.
Dengan demikian, sambung Fadli, suka atau tidak suka kini sebagian wibawa BPIP pun ikut terkikis. Tidak akan efektif jika hendak diteruskan. Presiden perlu mengevaluasi kembali kelembagaan dan administrasi lembaga tersebut jika hendak meneruskan agenda pembudayaan Pancasila.
“Mundurnya Saudara Yudi Latif sebagai Ketua BPIP kemarin saya kira juga akan berpengaruh terhadap persepsi publik atas lembaga tersebut. Langkah Yudi untuk mundur adalah sebuah tindakan keteladanan. Apalagi, dalam catatan saya, sejauh ini Yudi mungkin adalah satu-satunya orang yang bisa menjaga fatsoen. Sebagai kepala, ia konsisten hanya mau berbicara mengenai Pancasila, tak ikut sibuk menjadi juru bicara pemerintah.”
Menurut dia, sikap profesional Yudipenting ditiru. Meskipun dibentuk oleh Presiden, dan menginduk di lingkungan Sekretariat Kabinet, para punggawa UKP-PIP, atau yang kini telah menjadi BPIP, seharusnya menyadari Pancasila adalah instrumen kebangsaan dan bukan instrumen kekuasaan pemerintah.
Itu sebabnya, sambung Fadli, mereka secara profesional harus bisa menjaga diri dan jarak terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa agar lembaga BPIP tidak dikesankan hanya menjadi alat penampung bagi bekas tim sukses dan para pendukung pemerintah, seperti lembaga yang dibentuk Presiden lainnya.”
“Yudi saya kira berhasil melewati ujian itu dengan baik. Sayangnya, koleganya yang lain tidak demikian. Itu tidak bagus bagi kampanye pembudayaan Pancasila ke depannya,” tandasnya.
Menurut dia, semua perlu banyak belajar dari masa lalu. Dia tidak ingin cara pemerintah mengelola dan melembagakan wacana Pancasila justru merugikan proses pengakaran Pancasila itu sendiri. Bukan zamannya lagi pembudayaan Pancasila dilakukan secara top-down, menjadikan masyarakat sebagai obyek untuk ‘di-Pancasila-kan’.”
“Jika pun lembaga semacam BPIP perlu ada maka fungsinya seharusnya bersifat internal saja, yaitu untuk membantu Presiden dalam menjaga dan mengevaluasi agenda pemerintah, apakah sudah sesuai dengan Pancasila atau belum. Dengan begitu BPIP tidak akan mengulang kembali kesalahan BP-7, yang ingin mempancasilakan masyarakat seolah pemerintah adalah pihak yang paling tahu, paling sahih, dan menjadi pemilik kebenaran tunggal atas tafsir Pancasila,” tutur Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Menurut dia, mundurnya Yudi sebagai Kepala BPIP dan kian meluasnya pandangan negatif isu hak keuangan BPIP yang dinilai memboroskan anggaran, seharusnya sudah cukup dijadikan bahan oleh Presiden untuk meninjau kembali keberadaan lembaga tersebut.”
“Jika Presiden benar-benar punya komitmen untuk pembudayaan dan pengakaran Pancasila dan tidak hendak mengkooptasi agenda tersebut, maka lembaga semacam BPIP perlu dibentuk oleh undang-undang, agar posisinya kuat dan tidak tergantung kepada rezim yang berkuasa. Itu artinya Presiden perlu melibatkan DPR dan pemangku kepentingan yang lebih luas untuk membahas, merancang dan mendefinisikan kembali lembaga semacam itu," tutur Fadli.
“Sebagaimana catatan yang saya sampaikan kemarin atas Perpres Nomor 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai BPIP, pemerintah seharusnya peka terhadap kritik dan ketersinggungan masyarakat. Publik bertanya, bagaimana bisa hak keuangan ketua dan anggota dewan pengarah lebih besar dari ketua badan dan para deputinya? Siapa sebenarnya yang menjadi eksekutif dan figur sentral di lembaga tersebut? Itu model manajemen kelembagaan dari mana?” tutur Fadli dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (9/6/2018).
Sayangnya, kata dia, persoalan tersebut tidak ditanggapi secara memadai oleh pemerintah. Pembelaan dan klarifikasi yang dilakukan anggota Dewan Pengarah BPIP juga terkesan defensif, bahkan malah menyerang para pengkritik.
Dengan demikian, sambung Fadli, suka atau tidak suka kini sebagian wibawa BPIP pun ikut terkikis. Tidak akan efektif jika hendak diteruskan. Presiden perlu mengevaluasi kembali kelembagaan dan administrasi lembaga tersebut jika hendak meneruskan agenda pembudayaan Pancasila.
“Mundurnya Saudara Yudi Latif sebagai Ketua BPIP kemarin saya kira juga akan berpengaruh terhadap persepsi publik atas lembaga tersebut. Langkah Yudi untuk mundur adalah sebuah tindakan keteladanan. Apalagi, dalam catatan saya, sejauh ini Yudi mungkin adalah satu-satunya orang yang bisa menjaga fatsoen. Sebagai kepala, ia konsisten hanya mau berbicara mengenai Pancasila, tak ikut sibuk menjadi juru bicara pemerintah.”
Menurut dia, sikap profesional Yudipenting ditiru. Meskipun dibentuk oleh Presiden, dan menginduk di lingkungan Sekretariat Kabinet, para punggawa UKP-PIP, atau yang kini telah menjadi BPIP, seharusnya menyadari Pancasila adalah instrumen kebangsaan dan bukan instrumen kekuasaan pemerintah.
Itu sebabnya, sambung Fadli, mereka secara profesional harus bisa menjaga diri dan jarak terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa agar lembaga BPIP tidak dikesankan hanya menjadi alat penampung bagi bekas tim sukses dan para pendukung pemerintah, seperti lembaga yang dibentuk Presiden lainnya.”
“Yudi saya kira berhasil melewati ujian itu dengan baik. Sayangnya, koleganya yang lain tidak demikian. Itu tidak bagus bagi kampanye pembudayaan Pancasila ke depannya,” tandasnya.
Menurut dia, semua perlu banyak belajar dari masa lalu. Dia tidak ingin cara pemerintah mengelola dan melembagakan wacana Pancasila justru merugikan proses pengakaran Pancasila itu sendiri. Bukan zamannya lagi pembudayaan Pancasila dilakukan secara top-down, menjadikan masyarakat sebagai obyek untuk ‘di-Pancasila-kan’.”
“Jika pun lembaga semacam BPIP perlu ada maka fungsinya seharusnya bersifat internal saja, yaitu untuk membantu Presiden dalam menjaga dan mengevaluasi agenda pemerintah, apakah sudah sesuai dengan Pancasila atau belum. Dengan begitu BPIP tidak akan mengulang kembali kesalahan BP-7, yang ingin mempancasilakan masyarakat seolah pemerintah adalah pihak yang paling tahu, paling sahih, dan menjadi pemilik kebenaran tunggal atas tafsir Pancasila,” tutur Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Menurut dia, mundurnya Yudi sebagai Kepala BPIP dan kian meluasnya pandangan negatif isu hak keuangan BPIP yang dinilai memboroskan anggaran, seharusnya sudah cukup dijadikan bahan oleh Presiden untuk meninjau kembali keberadaan lembaga tersebut.”
“Jika Presiden benar-benar punya komitmen untuk pembudayaan dan pengakaran Pancasila dan tidak hendak mengkooptasi agenda tersebut, maka lembaga semacam BPIP perlu dibentuk oleh undang-undang, agar posisinya kuat dan tidak tergantung kepada rezim yang berkuasa. Itu artinya Presiden perlu melibatkan DPR dan pemangku kepentingan yang lebih luas untuk membahas, merancang dan mendefinisikan kembali lembaga semacam itu," tutur Fadli.
(dam)