ICW Khawatirkan Hilangnya Sifat Kekhususan Tipikor dalam RKUHP
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPR, Bambang Soesatyo mendukung agar pembahasan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) diselesaikan. Bahkan, pria yang akrab disapa Bamsoet berharap RKUHP bisa disahkan pada Agustus 2018.
Mencermati hal ini, aktivis Indonesia Coruption Watch (ICW), Lalola Easter mengaku pihaknya khawatir dukungan mempercepat RKUHP akan menimbulkan kelemahan lantaran pembahasan RKUHP masih meninggalkan sejumlah catatan.
Menurut Lalola, sebagai catatan, ada pendeketan hukum yang bersifat khusus, namun tak diakomodir dalam KUHP. "Misal soal bentuk pidana tambahan di pasal 72 RKUHP, pidana tambahan uang pengganti yang diatur dalam pasal 18 UU tipikor itu gak ada. Padahal, ini salah satu bentuk pidana tambahan berpotensi besar untuk mengembalikan keuangan negara," ujar Lalola saat jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (3/6/2018).
Selain itu, Lalola mengungkapkan bahwa tindak pidana korupsi akan kehilangan sifat kekhususannya jika dimasukkan dalam RKUHP. Hal lainnya, soal pidana denda. Menurut dia, jika RKUHP disahkan pidana denda kategori dua yakni minimal Rp10 juta. Sementara dalam tindak pidana korupsi atau pidana khusus disebutkan minimal Rp50 juta.
Dia mengaku khawatir perubahan pidana denda yang jauh dari UU Tipikor akan menghilangkan efek penjeraan terhadap pelaku. Apalagi, jika denda kurungan bisa diganti dengan denda pidana. Sementara, dalam UU Tipikor diatur jika terdakwa tak mampu membayar, maka akan diganti pidana kurungan.
Selanjutnya, kata dia, kekhususan seperti pelaku percobaa, pelaku pemufakatan jahat, di mana pelaku yang dipidana. Menurut dia, jika di UU tipikor sama dengan pelaku utamanya, namun di RKUHP dipotong 2 per 3 maksimal. "Jadi ini kan menghilangkan kekhususan di UU tipikor itu sendiri," pungkasnya.
Mencermati hal ini, aktivis Indonesia Coruption Watch (ICW), Lalola Easter mengaku pihaknya khawatir dukungan mempercepat RKUHP akan menimbulkan kelemahan lantaran pembahasan RKUHP masih meninggalkan sejumlah catatan.
Menurut Lalola, sebagai catatan, ada pendeketan hukum yang bersifat khusus, namun tak diakomodir dalam KUHP. "Misal soal bentuk pidana tambahan di pasal 72 RKUHP, pidana tambahan uang pengganti yang diatur dalam pasal 18 UU tipikor itu gak ada. Padahal, ini salah satu bentuk pidana tambahan berpotensi besar untuk mengembalikan keuangan negara," ujar Lalola saat jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (3/6/2018).
Selain itu, Lalola mengungkapkan bahwa tindak pidana korupsi akan kehilangan sifat kekhususannya jika dimasukkan dalam RKUHP. Hal lainnya, soal pidana denda. Menurut dia, jika RKUHP disahkan pidana denda kategori dua yakni minimal Rp10 juta. Sementara dalam tindak pidana korupsi atau pidana khusus disebutkan minimal Rp50 juta.
Dia mengaku khawatir perubahan pidana denda yang jauh dari UU Tipikor akan menghilangkan efek penjeraan terhadap pelaku. Apalagi, jika denda kurungan bisa diganti dengan denda pidana. Sementara, dalam UU Tipikor diatur jika terdakwa tak mampu membayar, maka akan diganti pidana kurungan.
Selanjutnya, kata dia, kekhususan seperti pelaku percobaa, pelaku pemufakatan jahat, di mana pelaku yang dipidana. Menurut dia, jika di UU tipikor sama dengan pelaku utamanya, namun di RKUHP dipotong 2 per 3 maksimal. "Jadi ini kan menghilangkan kekhususan di UU tipikor itu sendiri," pungkasnya.
(pur)