Puasa Tumbuhkan Sikap Empati dan Solidaritas
A
A
A
JAKARTA - Puasa Ramadhan bukan sekadar menahan haus dan lapar. Ibadah puasa sejatinya juga untuk melatih pengendalian diri dan merasakan penderitaan orang lain.
Oleh karena itu, puasa Ramadhan ini harus dimaknai untuk menumbuhkan empati untuk membangun solidaritas sosial yang kuat demi membangun Indonesia damai dan berdaulat agar terhindar dari bahaya radikalisme dan terorisme.
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Dede Rosyada, Kamis 24 Mei 2018 mengatakan, Puasa Ramadhan adalah ibadah yang khas. Di bulan ini Allah punya banyak misi.
"Mulai dari peningkatan internal diri setiap muslim, bagaimana berhubungan dengan Allah agar hubungan ke atasnya terasa lebih baik dan bagaimana memupuk solidaritas sesama muslim. Puasa ini juga untuk memupuk kebersamaan terhadap orang-orang yang berbeda etnik, bahkan berbeda agama,” tuturnya.
Dia menjelaskan, di bulan Ramadan, Allah juga memerintahkan kepada umatnya untuk lebih banyak beribadah dengan sodaqah dengan memberikan sesuatu kepada orang lain. Pada hakikatnya, Allah melalui Rasullulah sedang melatih umatnya agar bisa membangun empati, kasih sayang dan membangun solidaritas kepada orang lain.
Kasih sayang tersebut, kata dia, dimensinya akan sangat luas, tidak sekadar dimensi konsumtif, yakni dimensi kehidupan sosial, dimensi ekonomi, dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Saya kira puasa ini salah satu yang sangat strategis bagi umat Islam untuk mencoba menghayati betul makna dari puasa ini untuk membangun bangsa ini lebih besar melalui kebersamaan, apakah orang itu satu agama atau berbeda agama. Ini merupakan bagian yang dibina melalui ibadah puasa ini,” ujarnya.
Lalu di akhir Ramadhan, kata dia, Allah telah memerintahkan umatnya untuk membayarkan zakat fitrah untuk membersihkan diri juga untuk memberikan makan kepada orang orang miskin.
"Sebenarnya bagian dari proses ibadah puasa, salah satunya adalah bagaimana membangun solidaritas sesama muslim dan dengan orang-orang yang berbeda agama sekalipun,” ujarnya.
Menurut dia, puasa juga harus digunakan masyarakat untuk bersabar diri agar tidak mudah terpancing terhadap aksi-aksi negatif seperti ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoaks). Apalagi akhir-akhir ini bangsa Indonesia diguncang dengan beberapa aksi terorisme.
“Tidak hanya bersabar diri, tapi juga menolak terorisme. Walaupun seringkali aksi tersebut menggunakan simbol-simbol agama ketika melakukan aksi terornya, baik dari segi pakaian, ucapan, lafal dan sebagainya. Tapi aksi itu sendiri bukanlah agama dan tidak menjadi bagian dari perintah agama,” tuturnya.
Dia menilai, ujaran kebencian dan hoaks berpotensi menimbulkan kegaduhan dan perpecahan. Karena itu, Dede mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk tidak menyebarkan ujaran kebencian dan hoaks.
“Ujaran kebencian dan hoaks adalah perbuatan salah dan melanggar aturan agama. Kalau melanggar aturan agama bagaimana pun itu adalah perbuatan salah. Ketika salah kita pasti akan terkena dampak-dampak di alkhirat nanti,” ujar mantan Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama ini.
Untuk itu, kata dia, ibadah puasa harus bisa dijadikan sebagai refleksi untuk saling menyayangi. Kasih sayang itu dikatakannya tidak hanya terefleksi dengan hanya memberikan makanan atau pakaian, tapi juga bagaimana hati kita juga menjadi bagian dari hati mereka. Sebab ibadah puasa itu melatih untuk memberikan kasih sayang kepada sesama.
“Ini harus jadi bagian dari kesadaran kita bersama sebagai sesama muslim supaya kita bisa mengembangkan dan menggerakan ini untuk meminimalisasi gerakan terorisme yang penetrasinya melalui simbol-simbol agama, baik masuk melalui halaqoh-halaqoh atapun kajian kajian yang kemudian melenceng,” tutur Dede.
Dioa juga menekankan, kemajemukan yang dimiliki bangsa ini juga harus dijaga dengan baik. Apalagi bangsa Indonesia punya instrumen untuk menjaga kerukunan, baik itu kerukunan antar umat beragama, kerukunan terhadap pemerintah dan sebagainya. Hal ini terlihat dari instrumen hukum atau instrumen politik di negara yang sudah cukup.
“Tinggal bagaimana implementasinya dan bagaimana orang-orang yang berpotensial kena penetrasi isme-isme yang kurang bagus bisa terhindar dan terjauhkan. Kita berharap tidak terjadi lagi hal-hal yang merugikan bangsa ini dan kita semua harus dapat menyuarakan bagaimana Islam damai dan Indonesia damai. Indonesia akan maju kalau kita capai dengan melaksanakan agama dengan baik,” tuturnya.
Oleh karena itu, puasa Ramadhan ini harus dimaknai untuk menumbuhkan empati untuk membangun solidaritas sosial yang kuat demi membangun Indonesia damai dan berdaulat agar terhindar dari bahaya radikalisme dan terorisme.
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Dede Rosyada, Kamis 24 Mei 2018 mengatakan, Puasa Ramadhan adalah ibadah yang khas. Di bulan ini Allah punya banyak misi.
"Mulai dari peningkatan internal diri setiap muslim, bagaimana berhubungan dengan Allah agar hubungan ke atasnya terasa lebih baik dan bagaimana memupuk solidaritas sesama muslim. Puasa ini juga untuk memupuk kebersamaan terhadap orang-orang yang berbeda etnik, bahkan berbeda agama,” tuturnya.
Dia menjelaskan, di bulan Ramadan, Allah juga memerintahkan kepada umatnya untuk lebih banyak beribadah dengan sodaqah dengan memberikan sesuatu kepada orang lain. Pada hakikatnya, Allah melalui Rasullulah sedang melatih umatnya agar bisa membangun empati, kasih sayang dan membangun solidaritas kepada orang lain.
Kasih sayang tersebut, kata dia, dimensinya akan sangat luas, tidak sekadar dimensi konsumtif, yakni dimensi kehidupan sosial, dimensi ekonomi, dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Saya kira puasa ini salah satu yang sangat strategis bagi umat Islam untuk mencoba menghayati betul makna dari puasa ini untuk membangun bangsa ini lebih besar melalui kebersamaan, apakah orang itu satu agama atau berbeda agama. Ini merupakan bagian yang dibina melalui ibadah puasa ini,” ujarnya.
Lalu di akhir Ramadhan, kata dia, Allah telah memerintahkan umatnya untuk membayarkan zakat fitrah untuk membersihkan diri juga untuk memberikan makan kepada orang orang miskin.
"Sebenarnya bagian dari proses ibadah puasa, salah satunya adalah bagaimana membangun solidaritas sesama muslim dan dengan orang-orang yang berbeda agama sekalipun,” ujarnya.
Menurut dia, puasa juga harus digunakan masyarakat untuk bersabar diri agar tidak mudah terpancing terhadap aksi-aksi negatif seperti ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoaks). Apalagi akhir-akhir ini bangsa Indonesia diguncang dengan beberapa aksi terorisme.
“Tidak hanya bersabar diri, tapi juga menolak terorisme. Walaupun seringkali aksi tersebut menggunakan simbol-simbol agama ketika melakukan aksi terornya, baik dari segi pakaian, ucapan, lafal dan sebagainya. Tapi aksi itu sendiri bukanlah agama dan tidak menjadi bagian dari perintah agama,” tuturnya.
Dia menilai, ujaran kebencian dan hoaks berpotensi menimbulkan kegaduhan dan perpecahan. Karena itu, Dede mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk tidak menyebarkan ujaran kebencian dan hoaks.
“Ujaran kebencian dan hoaks adalah perbuatan salah dan melanggar aturan agama. Kalau melanggar aturan agama bagaimana pun itu adalah perbuatan salah. Ketika salah kita pasti akan terkena dampak-dampak di alkhirat nanti,” ujar mantan Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Kementerian Agama ini.
Untuk itu, kata dia, ibadah puasa harus bisa dijadikan sebagai refleksi untuk saling menyayangi. Kasih sayang itu dikatakannya tidak hanya terefleksi dengan hanya memberikan makanan atau pakaian, tapi juga bagaimana hati kita juga menjadi bagian dari hati mereka. Sebab ibadah puasa itu melatih untuk memberikan kasih sayang kepada sesama.
“Ini harus jadi bagian dari kesadaran kita bersama sebagai sesama muslim supaya kita bisa mengembangkan dan menggerakan ini untuk meminimalisasi gerakan terorisme yang penetrasinya melalui simbol-simbol agama, baik masuk melalui halaqoh-halaqoh atapun kajian kajian yang kemudian melenceng,” tutur Dede.
Dioa juga menekankan, kemajemukan yang dimiliki bangsa ini juga harus dijaga dengan baik. Apalagi bangsa Indonesia punya instrumen untuk menjaga kerukunan, baik itu kerukunan antar umat beragama, kerukunan terhadap pemerintah dan sebagainya. Hal ini terlihat dari instrumen hukum atau instrumen politik di negara yang sudah cukup.
“Tinggal bagaimana implementasinya dan bagaimana orang-orang yang berpotensial kena penetrasi isme-isme yang kurang bagus bisa terhindar dan terjauhkan. Kita berharap tidak terjadi lagi hal-hal yang merugikan bangsa ini dan kita semua harus dapat menyuarakan bagaimana Islam damai dan Indonesia damai. Indonesia akan maju kalau kita capai dengan melaksanakan agama dengan baik,” tuturnya.
(dam)