Masuk Zona Merah, KPK Bidik Kepala Daerah Lain di Sultra
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membidik sejumlah kepala daerah lain di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) selepas penangkapan dan penetapan tersangka Bupati Buton Selatan (Busel) Agus Feisal Hidayat.
Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) masuk dalam 10 provinsi zona merah prioritas pada 2018 dalam penanganan korupsi dengan pencegahan dan penindakan terintegrasi.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan membenarkan bila melihat wilayah Provinsi Sultra maka memang hingga Mei 2018 ini sudah ada enam kepala daerah dari Sultra yang ditangani KPK, termasuk tersangka Agus Feisal Hidayat. Para kepala daerah tersebut sudah dijerat KPK hingga divonis dan ada yang sudah menjadi terpidana.
Basaria menggariskan, sehubungan dengan wilayah Provinsi Sultra memang juga sudah ada beberapa laporan dari masyarakat terkait dugaan korupsi yang terjadi di sana.
Di sisi lain, program pencegahan KPK sudah dimaksimalkan di wilayah Provinsi Sultra sejak beberapa tahun lalu. Bahkan KPK pernah menggelar koordinasi dan supervisi (korsup) pencegahan di Sultra dengan menggandeng beberapa pihak masih pada 2018.
"Kita punya pencegahan terintegrasi. Tapi bukan berarti KPK harus menjamin kalau pencegahan masuk tidak terjadi korupsi di sana (Sultra). Upaya pencegahan semaksimal mungkin, tapi toh kalau masih ada juga (melakukan dugaan korupsi termasuk menerima suap) ya harus ditangkap. Mau diapain lagi," tegas Basaria saat dikonfirmasi, Jumat (25/5/2018).
Mantan Staf Ahli Kapolri Bidang Sosial Politik ini menggariskan, masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan serta para pejabat di daerah jangan sampai punya pemikiran bahwa kalau kalau pencegahan dilakukan KPK berarti tidak ada penindakan. Termasuk yang dilakukan di wilayah Provinsi Sultra. Di sisi lain KPK meyakini segala upaya dan program pencegahan yang dilakukan KPK hasilnya adalah sia-sia.
"Bukan juga berarti pencegahan yang dilakukan kita ini sia-sia, tidak," paparnya.
Secara keseluruhan hingga tahun ini hampir seluruh kota/kabupaten kemudian 34 provinsi menjadi perhatian KPK di bidang pencegahan. Bahkan tim KPK turun ke seluruh daerah untuk melakukan penyampingan kepada pemerintah daerah dan DPRD. Utamanya terkait perbaikan sistem.
"Jadi biar pencegahan kita lakukan berulang-ulang, tapi semua tergantung pada orangnya. Kalau ada lagi (melakukan dugaan korupsi termasuk menerima suap) ya harus kita tangkap," tegasnya.
Basaria menuturkan, pada 2016 ada 6 provinsi yang menjadi konsentrasi pencegahan KPK. Pada 2017 meningkat menjadi total 24 provinsi. Di 2018 fokus pencegahan KPK bertambah 10 provinsi. Sehingga totalnya adalah 34 provinsi.
Agus Feisal Hidayat merupakan tersangka penerima suap Rp409 juta dari tersangka pemberi suap petinggi PT Barokah Batauga Mandiri Tony Kongres alias Acucu.
Dugaan suap terkait dengan pengurusan proyek-proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Busel. Agus dan Tony bersama beberapa pihak lain sebelumnya ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (23/5/2018).
Sebelum Agus, ada 5 kepala daerah di wilayah Provinsi Sultra yang dijerat KPK. Pertama, terpidana Bupati Buton periode 2012-2017 dan 2017-2022 (diberhentikan) Samsu Umar Abdul Samiun. Umar adalah terpidana 5 tahun penjara atas pemberian suap Rp1 miliar.
Suap diberikan Umar ke terpidana seumur hidup mantan hakim dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi M Akil Mochtar. Suap terkait dengan pengurusan putusan sengketa Pilkada Buton 2011 atas hasil pemungutan suara ulang (PSU) di MK pada 2012. Pilkada Buton juga diikuti Agus Feisal Hidayat sebagai calon bupati saat itu.
Kedua, terdakwa Nur Alam selaku gubernur Sultra periode 2008-2013 dan periode 2013-2018 dalam dua perkara. Satu, korupsi pemberian izin pertambangan lahan seluas 3.024 hektararea di Provinsi Sultra dengan nilai kerugian Rp1.596.385.454.137. Dua, penerimaan gratifikasi USD4.999.900 (saat itu setara Rp40.268.792.850) dari perusahaan asal Hong Kong, Richcorp International Ltd.
Pada 28 Maret 2018 majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Nur Alam dengan pindana 12 tahun penjara, pencabutan hak politik selama 5 tahun, dan uang pengganti Rp2,7 miliar.
Nur Alam dan KPK sama-sama mengajukan banding. Salah satu materi banding KPK adalah kerugian lingkungan (ekologis) atas lahan pertambangan hasil perhitungan ahli lingkungan sebesar Rp2.728.745.136.000 yang tidak dipakai majelis hakim tingkat pertama.
Ketiga, tersangka Aswad Sulaiman selaku Bupati Konawe Utara selama dua periode, 2007-2009 dan 2011-2016. Aswad dijerat KPK dalam dua delik korupsi. Satu, korupsi penerbitan izin tambang nikel di Konawe Utara dengan nilai kerugian sekitar Rp2,7 triliun.
Kedua, dugaan penerimaan suap Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan tambang. Pengumuman penetapan tersangka Aswad dilakukan KPK pada 3 Oktober 2017. Kasusnya masih dalam tahap penyidikan hingga saat ini.
Keempat dan kelima, tersangka Asrun selaku Wali Kota Kendari periode 2012-2017 yang juga calon Gubernur Sultra di Pilkada Serentak 2018 dan Adriatma Dwi Putra selaku Walikota Kendari periode 2017-2022. Asrun dan Adriatma adalah bapak dan anak.
Dugaan suap totalnya lebih Rp6,798 miliar terkait proyek-proyek infrastruktur di Kota Kendari kurun 2014 hingga 2018. Dari uang itu, sebesar Rp2,8 miliar diduga untuk logistik Asrun maju sebagai cagub Sultra di Pilkada 2018.
Asrun, Adriatma, Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah (kini terdakwa), orang kepercayaan Asrun sekaligus mantan Kepala BPKAD Pemkot Kendari Fatmawaty Faqih (tersangka), dkk sebelumnya ditangkap KPK pekan terakhir Februari 2018.
Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) masuk dalam 10 provinsi zona merah prioritas pada 2018 dalam penanganan korupsi dengan pencegahan dan penindakan terintegrasi.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan membenarkan bila melihat wilayah Provinsi Sultra maka memang hingga Mei 2018 ini sudah ada enam kepala daerah dari Sultra yang ditangani KPK, termasuk tersangka Agus Feisal Hidayat. Para kepala daerah tersebut sudah dijerat KPK hingga divonis dan ada yang sudah menjadi terpidana.
Basaria menggariskan, sehubungan dengan wilayah Provinsi Sultra memang juga sudah ada beberapa laporan dari masyarakat terkait dugaan korupsi yang terjadi di sana.
Di sisi lain, program pencegahan KPK sudah dimaksimalkan di wilayah Provinsi Sultra sejak beberapa tahun lalu. Bahkan KPK pernah menggelar koordinasi dan supervisi (korsup) pencegahan di Sultra dengan menggandeng beberapa pihak masih pada 2018.
"Kita punya pencegahan terintegrasi. Tapi bukan berarti KPK harus menjamin kalau pencegahan masuk tidak terjadi korupsi di sana (Sultra). Upaya pencegahan semaksimal mungkin, tapi toh kalau masih ada juga (melakukan dugaan korupsi termasuk menerima suap) ya harus ditangkap. Mau diapain lagi," tegas Basaria saat dikonfirmasi, Jumat (25/5/2018).
Mantan Staf Ahli Kapolri Bidang Sosial Politik ini menggariskan, masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan serta para pejabat di daerah jangan sampai punya pemikiran bahwa kalau kalau pencegahan dilakukan KPK berarti tidak ada penindakan. Termasuk yang dilakukan di wilayah Provinsi Sultra. Di sisi lain KPK meyakini segala upaya dan program pencegahan yang dilakukan KPK hasilnya adalah sia-sia.
"Bukan juga berarti pencegahan yang dilakukan kita ini sia-sia, tidak," paparnya.
Secara keseluruhan hingga tahun ini hampir seluruh kota/kabupaten kemudian 34 provinsi menjadi perhatian KPK di bidang pencegahan. Bahkan tim KPK turun ke seluruh daerah untuk melakukan penyampingan kepada pemerintah daerah dan DPRD. Utamanya terkait perbaikan sistem.
"Jadi biar pencegahan kita lakukan berulang-ulang, tapi semua tergantung pada orangnya. Kalau ada lagi (melakukan dugaan korupsi termasuk menerima suap) ya harus kita tangkap," tegasnya.
Basaria menuturkan, pada 2016 ada 6 provinsi yang menjadi konsentrasi pencegahan KPK. Pada 2017 meningkat menjadi total 24 provinsi. Di 2018 fokus pencegahan KPK bertambah 10 provinsi. Sehingga totalnya adalah 34 provinsi.
Agus Feisal Hidayat merupakan tersangka penerima suap Rp409 juta dari tersangka pemberi suap petinggi PT Barokah Batauga Mandiri Tony Kongres alias Acucu.
Dugaan suap terkait dengan pengurusan proyek-proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Busel. Agus dan Tony bersama beberapa pihak lain sebelumnya ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (23/5/2018).
Sebelum Agus, ada 5 kepala daerah di wilayah Provinsi Sultra yang dijerat KPK. Pertama, terpidana Bupati Buton periode 2012-2017 dan 2017-2022 (diberhentikan) Samsu Umar Abdul Samiun. Umar adalah terpidana 5 tahun penjara atas pemberian suap Rp1 miliar.
Suap diberikan Umar ke terpidana seumur hidup mantan hakim dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi M Akil Mochtar. Suap terkait dengan pengurusan putusan sengketa Pilkada Buton 2011 atas hasil pemungutan suara ulang (PSU) di MK pada 2012. Pilkada Buton juga diikuti Agus Feisal Hidayat sebagai calon bupati saat itu.
Kedua, terdakwa Nur Alam selaku gubernur Sultra periode 2008-2013 dan periode 2013-2018 dalam dua perkara. Satu, korupsi pemberian izin pertambangan lahan seluas 3.024 hektararea di Provinsi Sultra dengan nilai kerugian Rp1.596.385.454.137. Dua, penerimaan gratifikasi USD4.999.900 (saat itu setara Rp40.268.792.850) dari perusahaan asal Hong Kong, Richcorp International Ltd.
Pada 28 Maret 2018 majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Nur Alam dengan pindana 12 tahun penjara, pencabutan hak politik selama 5 tahun, dan uang pengganti Rp2,7 miliar.
Nur Alam dan KPK sama-sama mengajukan banding. Salah satu materi banding KPK adalah kerugian lingkungan (ekologis) atas lahan pertambangan hasil perhitungan ahli lingkungan sebesar Rp2.728.745.136.000 yang tidak dipakai majelis hakim tingkat pertama.
Ketiga, tersangka Aswad Sulaiman selaku Bupati Konawe Utara selama dua periode, 2007-2009 dan 2011-2016. Aswad dijerat KPK dalam dua delik korupsi. Satu, korupsi penerbitan izin tambang nikel di Konawe Utara dengan nilai kerugian sekitar Rp2,7 triliun.
Kedua, dugaan penerimaan suap Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan tambang. Pengumuman penetapan tersangka Aswad dilakukan KPK pada 3 Oktober 2017. Kasusnya masih dalam tahap penyidikan hingga saat ini.
Keempat dan kelima, tersangka Asrun selaku Wali Kota Kendari periode 2012-2017 yang juga calon Gubernur Sultra di Pilkada Serentak 2018 dan Adriatma Dwi Putra selaku Walikota Kendari periode 2017-2022. Asrun dan Adriatma adalah bapak dan anak.
Dugaan suap totalnya lebih Rp6,798 miliar terkait proyek-proyek infrastruktur di Kota Kendari kurun 2014 hingga 2018. Dari uang itu, sebesar Rp2,8 miliar diduga untuk logistik Asrun maju sebagai cagub Sultra di Pilkada 2018.
Asrun, Adriatma, Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah (kini terdakwa), orang kepercayaan Asrun sekaligus mantan Kepala BPKAD Pemkot Kendari Fatmawaty Faqih (tersangka), dkk sebelumnya ditangkap KPK pekan terakhir Februari 2018.
(kri)