Seni Budaya Harus Bangkit Hambat Radikalisme
A
A
A
JAKARTA - Dalam suasana bulan suci Ramadhan, tempat-tempat ibadah umat muslim seringkali diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan. Bahkan di beberapa pondok pesantren (ponpes) terdapat beberapa kegiatan yang hanya dilaksanakan di bulan yang penuh berkah ini.
Bentuk kegiatan yang dilaksanakan sangat beragam, mulai kajian kitab kuning,bahtsul masail, penampilan seni budaya dengan bentuk dan ragam yang berbeda sesuai dengan tradisi pondok pesantren masing-masing serta kesenian obrog untuk membangunkan sahur.
Sekretaris Jenderal Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU), Uki Marjuki mengungkapkan suasana religi tidak hanya di lingkungan pondok pesantren. Aspek pendekatan dan pensucian diri pada Sang Pencipta begitu terasa di setiap sudut kampung.
"Namun, belakangan ini nilai ketakwaan melalui kajian keagamaan dan tradisi seni budaya dan tradisi yang memiliki tarekat ahlussunah waljamaah secara perlahan mulai ditinggalkan dan terlupakan karena tergerus budaya modernisasi," kata Uki, Kamis (24/5/2018).
Dia berharap aset budaya yang memiliki kultur NU bisa berkembang dan lestari, baik di lingkungan pondok pesantren maupun di tingkat akar rumput (musalah-musala). Bulan Ramadan ini merupakan momentum yang tepat, untuk mereviu kosa kata tentang seni budaya milik manhadz ahlussunah waljamaah.
Menurut dia, Lesbumi NU sebagai lembaga yang mewadahi seni budaya serta para pelakunya, memiliki kewajiban menjaga muruwah seni budaya kaum sarungan, agar tidak mati suri.
"Kalau dibiarkan, sebuah keniscayaan akan mengalami fase kepunahan. Ini sebuah realitas, generasi muda sekarang banyak yang tidak mengenal akar budayanya," tuturnya.
Dia memaparkan, pengurus dan kader Lesbumi serta warga Nahdliyin di daerah-daerah sesuai dengan jenjang kepengurusan, diharapkan menjadi motivator dan inisiator dalam mengembangkan dan melestarikan seni budaya kaum Nahdliyin.
Di Nusantara, sambung Uki, banyak sekali tarekoh seni budaya milik warga NU. Terkadang seni budaya yang terlahir di daerah tersebut sudah tidak dikenali oleh warganya.
Menurut dia, Hal itu tentu sangat memprihatinkan. Salah satu faktor penyebab minimnya upaya pelestarian dan pengenalan warisan seni budaya kaum Nahdliyin kepada generasi muda.
"Para penggiat seni, khususnya generasi muda NU, agar lebih proaktif mengenalkan jenis-jenis seni budaya daerah, sesuai kemampuannya. Setidaknya di lingkungan tempat tinggal masing-masing. Bukan berarti para Penggiat Lesbumi hanya terpaku pada upaya pelestarian budaya leluhur tetapi kreativitas sangat mutlak diperlukan," tutur Uki.
Dia berpendapat merebaknya paham radikalisme yang belakangan ini sedikit mengganggu kenyamanan keagamaan di Indonesia adalah salah satu contoh dari kurangnya mengenal budaya. Mereka hanya terprovokasi menjadi pengikut faham radikalisme yang sebagaian besar kurang memahami esensi dan nilai-nilai budaya para wali Allah penyebar dakwah.
Menurut dia, Islam dan para kiai di pondok pesantren telah mengajarkan betapa pentingnya pendekatan budaya sebagai media dakwah, seni brai di cirebon, pagelaran wayang dan beberapa upacara adat seperti selametan adalah bentuk akulturasi budaya yang sejuk, ramah dan santun.
"Dari budaya kita dapat belajar banyak, tentang sebuah perbedaan keragaman, akulturasi suku, agama dan ras, menjadi sebuah harmonisasi hidup yang dibingkai pendekatan kultur dan budaya," tuturnya.
Bentuk kegiatan yang dilaksanakan sangat beragam, mulai kajian kitab kuning,bahtsul masail, penampilan seni budaya dengan bentuk dan ragam yang berbeda sesuai dengan tradisi pondok pesantren masing-masing serta kesenian obrog untuk membangunkan sahur.
Sekretaris Jenderal Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU), Uki Marjuki mengungkapkan suasana religi tidak hanya di lingkungan pondok pesantren. Aspek pendekatan dan pensucian diri pada Sang Pencipta begitu terasa di setiap sudut kampung.
"Namun, belakangan ini nilai ketakwaan melalui kajian keagamaan dan tradisi seni budaya dan tradisi yang memiliki tarekat ahlussunah waljamaah secara perlahan mulai ditinggalkan dan terlupakan karena tergerus budaya modernisasi," kata Uki, Kamis (24/5/2018).
Dia berharap aset budaya yang memiliki kultur NU bisa berkembang dan lestari, baik di lingkungan pondok pesantren maupun di tingkat akar rumput (musalah-musala). Bulan Ramadan ini merupakan momentum yang tepat, untuk mereviu kosa kata tentang seni budaya milik manhadz ahlussunah waljamaah.
Menurut dia, Lesbumi NU sebagai lembaga yang mewadahi seni budaya serta para pelakunya, memiliki kewajiban menjaga muruwah seni budaya kaum sarungan, agar tidak mati suri.
"Kalau dibiarkan, sebuah keniscayaan akan mengalami fase kepunahan. Ini sebuah realitas, generasi muda sekarang banyak yang tidak mengenal akar budayanya," tuturnya.
Dia memaparkan, pengurus dan kader Lesbumi serta warga Nahdliyin di daerah-daerah sesuai dengan jenjang kepengurusan, diharapkan menjadi motivator dan inisiator dalam mengembangkan dan melestarikan seni budaya kaum Nahdliyin.
Di Nusantara, sambung Uki, banyak sekali tarekoh seni budaya milik warga NU. Terkadang seni budaya yang terlahir di daerah tersebut sudah tidak dikenali oleh warganya.
Menurut dia, Hal itu tentu sangat memprihatinkan. Salah satu faktor penyebab minimnya upaya pelestarian dan pengenalan warisan seni budaya kaum Nahdliyin kepada generasi muda.
"Para penggiat seni, khususnya generasi muda NU, agar lebih proaktif mengenalkan jenis-jenis seni budaya daerah, sesuai kemampuannya. Setidaknya di lingkungan tempat tinggal masing-masing. Bukan berarti para Penggiat Lesbumi hanya terpaku pada upaya pelestarian budaya leluhur tetapi kreativitas sangat mutlak diperlukan," tutur Uki.
Dia berpendapat merebaknya paham radikalisme yang belakangan ini sedikit mengganggu kenyamanan keagamaan di Indonesia adalah salah satu contoh dari kurangnya mengenal budaya. Mereka hanya terprovokasi menjadi pengikut faham radikalisme yang sebagaian besar kurang memahami esensi dan nilai-nilai budaya para wali Allah penyebar dakwah.
Menurut dia, Islam dan para kiai di pondok pesantren telah mengajarkan betapa pentingnya pendekatan budaya sebagai media dakwah, seni brai di cirebon, pagelaran wayang dan beberapa upacara adat seperti selametan adalah bentuk akulturasi budaya yang sejuk, ramah dan santun.
"Dari budaya kita dapat belajar banyak, tentang sebuah perbedaan keragaman, akulturasi suku, agama dan ras, menjadi sebuah harmonisasi hidup yang dibingkai pendekatan kultur dan budaya," tuturnya.
(dam)