Fadli Zon: Kemenag Seharusnya Merangkul Bukan Malah Membuat Segresi
A
A
A
JAKARTA - Rilis 200 nama penceramah atau mubalig yang direkomendasikan oleh Kementerian Agama (Kemenag) hari Jumat 18 Mei 2018 lali dinilai Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon sangat tidak bijak. Daftar semacam itu dikhawatirkan hanya akan menguatkan segregasi yang ada di tengah masyarakat.
“Di tengah pluralitas pemahaman dan keyakinan keagamaan yang ada di tengah masyarakat Muslim Indonesia, Kementerian Agama mestinya bisa menjadi moderator yang bijak. Mengeluarkan daftar 200 nama penceramah yang direkomendasikan dari 200 juta populasi penduduk Muslim bukanlah sebuah kebijakan yang mudah diterima. Kebijakan semacam itu cacat secara metodik,” ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews, Minggu (20/5/2018).
Dia mengatakan, jangankan untuk level Indonesia, di Jakarta saja yang memiliki ribuan masjid, mushola, dan majlis taklim, ada ribuan ustaz dan mubaligh di sana. Katakanlah katanya jumlah mubaligh atau ulama itu sekitar 5% dari populasi Muslim yang 200 juta, maka jumlahnya ada sekitar 10 juta orang.
"Bagaimana bisa Kemenag mengeluarkan rilis 200 nama dari 10 juta orang tadi? Bagaimana menyaringnya?!" tandasnya.
Karena itu, kata Fadli Zon, jangan salahkan jika kemudian publik mencurigai rilis daftar penceramah itu sebagai bagian dari sensor terhadap para penceramah atau ulama yang tak sehaluan dengan pemerintah. Apalagi dalam daftar itu tidak tercantum sejumlah nama mubalig terkemuka yang dikenal kritis terhadap pemerintah.
"Kebijakan semacam ini hanya akan kian mengeraskan segregasi yang ada di tengah masyarakat saja," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini.
Menurutnya, jika pemerintah ingin membidik penceramah yang menyusupkan paham-paham radikalisme atau intoleransi dalam ceramahnya, mestinya yang bersangkutan dibidik saja langsung menggunakan perangkat hukum yang berlaku. Tetapi, jerat hukum semacam itupun mestinya juga menjadi pilihan terakhir yang diambil oleh pemerintah. Pilihan pertama mestinya tetap pada bagaimana merangkul dan membangun dialog.
“Jangan sampai muncul kesan bahwa semua pihak yang berseberangan dengan pemerintah kemudian dianggap sebagai radikal dan intoleran. Framing semacam itu berbahaya, karena akan memperuncing konflik, dan bukannya membangun dialog, rekonsiliasi dan saling pengertian,” tegasnya.
Dia berpandanga, Indonesia saat ini sedang berdiri di ambang krisis ekonomi. Semua celah yang bisa memicu terjadinya konflik sebaiknya segera ditutup dan bukannya malah dieksploitasi.
Lagi pula, tambah dia, kita sudah punya Majelis Ulama Indonesia (MUI), punya Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan sejumlah organisasi yang bisa dimintai tolong untuk membendung diseminasi paham-paham radikal dan intoleran di tengah umat.
"Urusan-urusan semacam ini sebaiknya didialogkan kepada lembaga-lembaga itu saja, karena Kemenag bagaimanapun harus bisa berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Jangan sampai Kemenag terjebak pada kepentingan politik jangka pendek pemerintah,” pungkasnya.
“Di tengah pluralitas pemahaman dan keyakinan keagamaan yang ada di tengah masyarakat Muslim Indonesia, Kementerian Agama mestinya bisa menjadi moderator yang bijak. Mengeluarkan daftar 200 nama penceramah yang direkomendasikan dari 200 juta populasi penduduk Muslim bukanlah sebuah kebijakan yang mudah diterima. Kebijakan semacam itu cacat secara metodik,” ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews, Minggu (20/5/2018).
Dia mengatakan, jangankan untuk level Indonesia, di Jakarta saja yang memiliki ribuan masjid, mushola, dan majlis taklim, ada ribuan ustaz dan mubaligh di sana. Katakanlah katanya jumlah mubaligh atau ulama itu sekitar 5% dari populasi Muslim yang 200 juta, maka jumlahnya ada sekitar 10 juta orang.
"Bagaimana bisa Kemenag mengeluarkan rilis 200 nama dari 10 juta orang tadi? Bagaimana menyaringnya?!" tandasnya.
Karena itu, kata Fadli Zon, jangan salahkan jika kemudian publik mencurigai rilis daftar penceramah itu sebagai bagian dari sensor terhadap para penceramah atau ulama yang tak sehaluan dengan pemerintah. Apalagi dalam daftar itu tidak tercantum sejumlah nama mubalig terkemuka yang dikenal kritis terhadap pemerintah.
"Kebijakan semacam ini hanya akan kian mengeraskan segregasi yang ada di tengah masyarakat saja," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini.
Menurutnya, jika pemerintah ingin membidik penceramah yang menyusupkan paham-paham radikalisme atau intoleransi dalam ceramahnya, mestinya yang bersangkutan dibidik saja langsung menggunakan perangkat hukum yang berlaku. Tetapi, jerat hukum semacam itupun mestinya juga menjadi pilihan terakhir yang diambil oleh pemerintah. Pilihan pertama mestinya tetap pada bagaimana merangkul dan membangun dialog.
“Jangan sampai muncul kesan bahwa semua pihak yang berseberangan dengan pemerintah kemudian dianggap sebagai radikal dan intoleran. Framing semacam itu berbahaya, karena akan memperuncing konflik, dan bukannya membangun dialog, rekonsiliasi dan saling pengertian,” tegasnya.
Dia berpandanga, Indonesia saat ini sedang berdiri di ambang krisis ekonomi. Semua celah yang bisa memicu terjadinya konflik sebaiknya segera ditutup dan bukannya malah dieksploitasi.
Lagi pula, tambah dia, kita sudah punya Majelis Ulama Indonesia (MUI), punya Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan sejumlah organisasi yang bisa dimintai tolong untuk membendung diseminasi paham-paham radikal dan intoleran di tengah umat.
"Urusan-urusan semacam ini sebaiknya didialogkan kepada lembaga-lembaga itu saja, karena Kemenag bagaimanapun harus bisa berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Jangan sampai Kemenag terjebak pada kepentingan politik jangka pendek pemerintah,” pungkasnya.
(kri)