Hentikan Penyebaran Radikalisme di Kampus
A
A
A
JAKARTA - Ada fakta mengejutkan di balik aksi teror yang terjadi di Surabaya belakangan ini. Para pelaku yang terlibat terorisme, termasuk yang melakukan bom bunuh diri, ternyata dari kalangan terpelajar.
Anton Ferdianto dan Budi Satrijo, misalnya, tercatat pernah menempuh pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Dita Oepriyanto yang juga ketua Jemaah Ansharut Daulah (JAD) Jawa Timur, juga pernah kuliah di Universitas Airlangga Surabaya. Dita malah diketahui sudah menunjukkan bibit radikalisme sejak dia duduk di bangku SMA.
Walaupun tidak hubungan secara langsung antara paham terorisme dan sistem pendidikan di perguruan tinggi tersebut, tidak bisa disangkal lembaga pendidikan—baik perguruan tinggi maupun sekolah menengah—telah menjadi sasaran empuk kelompok teroris untuk menyemaikan paham radikal mereka. Lembaga kajian agama menjadi sasaran strategis bagi kelompok ini.
Kondisi demikian tidak berbeda jauh dengan temuan Badan Intelijen Negara (BIN). Berdasarkan riset yang dilakukan pada 2017, BIN menemukan 39% mahasiswa Indonesia terpapar paham radikal. Bahkan, tiga kampus dinyatakan sebagai sarang kelompok radikal. Selain itu, lembaga intelijen ini juga mendapatkan fakta 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA sederajat setuju dengan negara Islam.
Temuan bahwa infiltrasi gerakan radikal sudah merasuk dalam institusi pendidikan di Tanah Air, juga diper oleh dari survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Convey Indonesia pada 2017 serta survei The Wahid Institute pada 2016.
Bahkan, menurut The Wahid Institute, mayo ritas anggota Rohani Islam atau Rohis siap jihad ke Suriah. Adapun survei Maarif Institute pada 2017, mengungkapkan paham radikalisme masuk lewat alumni, guru, dan kebijakan sekolah. Yang memprihatinkan, ada guru yang menyebarkan radikalisme lewat kegiatan belajar-mengajar (KBM).
Internalisasi radikalisme disusupkan saat jam sekolah ataupun jam tam bahan oleh guru yang terafiliasi kelompok radikal di luar sekolah. Berangkat dari fakta tersebut, DPR meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti), untuk serius mempersempit ruang gerak kelompok radikal di institusi pendidikan dan memperkuat deradikalisasi lewat pendidikan.
“Ini membuktikan bahwa sekolah atau kampus rentan disusupi oleh paham radikalisme. Tidak terbayang sudah 30 tahun yang lalu paham tersebut telah menyusup dalam sekolah dan kampus. Maka tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa saat ini telah terkaderi banyak pengikut radikalisme melalui media sekolah dan kampus,” ujar anggota Komisi X DPR Moh Nizar Zahro saat dihubungi kemarin.
Menurut dia, untuk tahap awal, Kemendikbud dan Kemenristek-Dikti harus segera menggeber program deradikalisasi di seluruh sekolah dan kampus di Indonesia, dengan tujuan agar anak didik yang sudah terpapar virus radikalisme bisa diselamatkan. Berikutnya adalah dilakukan pemetaan dan identifikasi sekolah-sekolah yang terpapar paham radikalisme.
“Penanganan radikalisasi kemudian disesuaikan sesuai tingkat keparahan paparan nya. Kemendikbud dan Kemenristek bisa menggandeng institusi lain, misalnya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teror isme), MUI (Majelis Ulama Indonesia), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan lainnya untuk melakukan program deradikalisasi di sekolah-sekolah dan kampus,” ujar dia.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, program deradikalisasi tidak memerlukan mata pelajaran khusus. Akan tetapi, jelasnya, jika masuk sebagai elemen muatan kurikulum yang bersifat inklusif, memang itu diperlukan. Kurikulum dimaksud adalah program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini mengatakan, di dalam PPK telah ada materi khusus bagi siswa agar tidak terpapar paham yang berbahaya. Arah dari pendidikan karakter yang diinginkan adalah pembentukan karakter siswa yakni reli gusi tas, nasionalisme, inte gritas, kemandirian, dan gotong royong.
“Program moderasi (bukan deradikalisasi) bisa dimuatkan pada semua atau sebagian dari lima karakter utama tersebut,” katanya kepada KORAN SINDO.
Sebelumnya, Menristek-Dikti Mohammad Nasir menegaskan kampus harus menjadi pintu utama penangkalan radikalisme. Karena itu, dia meminta setiap pimpinan perguruan tinggi untuk mengawasi adanya gerakan di lingkungan kampus yang mengarah ke intoleransi dan radikalisme. “Jika ada indikasi mahasiswa ataupun dosen terlibat paham radikalisme maka harus dilakukan pembinaan secara intensif,” tandasnya.
Mantan rektor Universitas Diponegoro ini juga menekankan bahwa kampus pun tidak boleh membiarkan ada paham yang sudah bergerak ke arah terorisme. Oleh karena itu, Menristek-Dikti berharap jika ada bukti langsung bahwa dosen dan mahasiswa terlibat ke arah tersebut maka harus segera dilaporkan ke kepolisian.
Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Dwia Aries Tina Pulubuhu menegaskan dukungannya terhadap pemberantasan gerakan radikal di kampus. Dia menyatakan gerakan radikalisme harus dihentikan secara intensif dari pelbagai pihak. Dia pun menjamin FRI siap untuk bekerja sama dengan semua pihak yang menginginkan perdamaian, ketenangan, dan keselamatan NKRI.
“Warga kampus harus menjadi teladan dalam kehidupan politik, sosial, budaya dalam koridor NKRI,” tegasnya.
Rektor Universitas Indonesia (UI) Muhammad Anis juga menyatakan sikapnya menentang keras segala bentuk radikalisme dan terorisme, termasuk ujaran kebencian baik di dalam maupun luar kampus.
Dia bahkan mengatakan akan menindak tegas setiap warga UI yang melakukan tindakan provokasi yang mengarah pada radikalisme dan memecah belah bangsa. “Kami berkomitmen untuk bergandengan ta ngan dengan segenap komponen bangsa guna menggelorakan kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan melalui upaya-upaya konkret, konstruktif dan inklusif,” katanya.
Di sisi lain, pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan berpendapat ketidakadilan hukum, ekonomi, pendidikan, dan politik adalah penyebab paham radikal semakin mengakar di Indonesia. Radikalisme juga timbul karena pengetahuan agama, sejarah bangsa, filsafat bangsa, sosial dan budaya bangsa yang kurang.
“Pengetahuan yang kurang menyebabkan sikap religius dan kebangsaan yang kurang dan mudah dipengaruhi oleh informasi yang negatif,” katanya kepada KORAN SINDO.
Pernah Kuliah di ITS
Dua bomber di Surabaya, yakni Anton Ferdianto dan Budi Satrijo, tercatat pernah menempuh pendidikan di ITS Surabaya. Namun, ITS me nolak menyebut keduanya sebagai alumni ITS. Rektor ITS Prof Joni Hermana menuturkan, terduga teroris atas nama Anton Ferdianto pernah mahasiswa D-III Teknik Elektro ITS pada 1991. Namun, dia tercatat hanya menjalani kuliah satu tahun dan selanjutnya tidak aktif kembali.
“Atas dasar tersebut bisa dikatakan dia bukanlah alumnus ITS. Kami tidak mengetahui status yang bersangkutan selanjutnya,” ujar Prof Joni kemarin. Terduga teroris lainnya yang bernama Budi Satrijo juga pernah tercatat sebagai mahasiswa Teknik Kimia program studi S-1 tahun 1988 dan lulus pada 1996. Pada masa studinya, Budi tidak memperlihatkan tanda-tanda mencurigakan dan normal seperti mahasiswa lainnya. Bahkan, Budi terpantau aktif dalam kegiatan berwirausaha ketika di kampus.
“Sebagai alumnus yang lulus 22 tahun yang lalu, seluruh aktivitas yang bersangkutan tentunya diluar sepengetahuan ITS dan semua merupakan tanggung jawab pribadi masing-masing di depan hukum,” ungkapnya.
ITS, katanya, memiliki 100.000 lebih alumnus yang tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri, sedangkan alumnus yang aktif dalam kegiatan alumni hanya sekitar seribu orang. Sementara itu, kedua terduga pelaku tersebut merupakan alumni yang tidak pernah aktif di ITS. “Selama ini kegiatan yang terkait alumni, kita bekerja sama dengan Ikatan Alumni (IKA) ITS. IKA-lah yang menentukan siapa alumni yang akan menjadi pembicara jika diundang dalam acara ITS dan kedua terduga pelaku ini tidak pernah menjadi pembicara,” ucapnya.
Rektor Unair Prof Moh Nasih sebelumnya juga mengakui Dita Oepriyanto pernah menjadi mahasiswa Diploma 3 Program Studi Manajemen Pemasaran di Fakultas Ekonomi.
Namun, Dita tidak melanjutkan kuliahnya alias DO. Sebelum kuliah di Unair, Dita menempuh pendidikan di SMA ternama di Surabaya, yakni SMA 5. Menurut seorang adik kelas Dita yang viral di sosmed, Dita saat itu sudah menunjukkan radikalismenya, termasuk tidak mau menghormati bendera Merah Putih. (Neneng Zubaidah/ Aan Haryono)
Anton Ferdianto dan Budi Satrijo, misalnya, tercatat pernah menempuh pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Dita Oepriyanto yang juga ketua Jemaah Ansharut Daulah (JAD) Jawa Timur, juga pernah kuliah di Universitas Airlangga Surabaya. Dita malah diketahui sudah menunjukkan bibit radikalisme sejak dia duduk di bangku SMA.
Walaupun tidak hubungan secara langsung antara paham terorisme dan sistem pendidikan di perguruan tinggi tersebut, tidak bisa disangkal lembaga pendidikan—baik perguruan tinggi maupun sekolah menengah—telah menjadi sasaran empuk kelompok teroris untuk menyemaikan paham radikal mereka. Lembaga kajian agama menjadi sasaran strategis bagi kelompok ini.
Kondisi demikian tidak berbeda jauh dengan temuan Badan Intelijen Negara (BIN). Berdasarkan riset yang dilakukan pada 2017, BIN menemukan 39% mahasiswa Indonesia terpapar paham radikal. Bahkan, tiga kampus dinyatakan sebagai sarang kelompok radikal. Selain itu, lembaga intelijen ini juga mendapatkan fakta 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA sederajat setuju dengan negara Islam.
Temuan bahwa infiltrasi gerakan radikal sudah merasuk dalam institusi pendidikan di Tanah Air, juga diper oleh dari survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Convey Indonesia pada 2017 serta survei The Wahid Institute pada 2016.
Bahkan, menurut The Wahid Institute, mayo ritas anggota Rohani Islam atau Rohis siap jihad ke Suriah. Adapun survei Maarif Institute pada 2017, mengungkapkan paham radikalisme masuk lewat alumni, guru, dan kebijakan sekolah. Yang memprihatinkan, ada guru yang menyebarkan radikalisme lewat kegiatan belajar-mengajar (KBM).
Internalisasi radikalisme disusupkan saat jam sekolah ataupun jam tam bahan oleh guru yang terafiliasi kelompok radikal di luar sekolah. Berangkat dari fakta tersebut, DPR meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti), untuk serius mempersempit ruang gerak kelompok radikal di institusi pendidikan dan memperkuat deradikalisasi lewat pendidikan.
“Ini membuktikan bahwa sekolah atau kampus rentan disusupi oleh paham radikalisme. Tidak terbayang sudah 30 tahun yang lalu paham tersebut telah menyusup dalam sekolah dan kampus. Maka tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa saat ini telah terkaderi banyak pengikut radikalisme melalui media sekolah dan kampus,” ujar anggota Komisi X DPR Moh Nizar Zahro saat dihubungi kemarin.
Menurut dia, untuk tahap awal, Kemendikbud dan Kemenristek-Dikti harus segera menggeber program deradikalisasi di seluruh sekolah dan kampus di Indonesia, dengan tujuan agar anak didik yang sudah terpapar virus radikalisme bisa diselamatkan. Berikutnya adalah dilakukan pemetaan dan identifikasi sekolah-sekolah yang terpapar paham radikalisme.
“Penanganan radikalisasi kemudian disesuaikan sesuai tingkat keparahan paparan nya. Kemendikbud dan Kemenristek bisa menggandeng institusi lain, misalnya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teror isme), MUI (Majelis Ulama Indonesia), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan lainnya untuk melakukan program deradikalisasi di sekolah-sekolah dan kampus,” ujar dia.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, program deradikalisasi tidak memerlukan mata pelajaran khusus. Akan tetapi, jelasnya, jika masuk sebagai elemen muatan kurikulum yang bersifat inklusif, memang itu diperlukan. Kurikulum dimaksud adalah program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini mengatakan, di dalam PPK telah ada materi khusus bagi siswa agar tidak terpapar paham yang berbahaya. Arah dari pendidikan karakter yang diinginkan adalah pembentukan karakter siswa yakni reli gusi tas, nasionalisme, inte gritas, kemandirian, dan gotong royong.
“Program moderasi (bukan deradikalisasi) bisa dimuatkan pada semua atau sebagian dari lima karakter utama tersebut,” katanya kepada KORAN SINDO.
Sebelumnya, Menristek-Dikti Mohammad Nasir menegaskan kampus harus menjadi pintu utama penangkalan radikalisme. Karena itu, dia meminta setiap pimpinan perguruan tinggi untuk mengawasi adanya gerakan di lingkungan kampus yang mengarah ke intoleransi dan radikalisme. “Jika ada indikasi mahasiswa ataupun dosen terlibat paham radikalisme maka harus dilakukan pembinaan secara intensif,” tandasnya.
Mantan rektor Universitas Diponegoro ini juga menekankan bahwa kampus pun tidak boleh membiarkan ada paham yang sudah bergerak ke arah terorisme. Oleh karena itu, Menristek-Dikti berharap jika ada bukti langsung bahwa dosen dan mahasiswa terlibat ke arah tersebut maka harus segera dilaporkan ke kepolisian.
Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Dwia Aries Tina Pulubuhu menegaskan dukungannya terhadap pemberantasan gerakan radikal di kampus. Dia menyatakan gerakan radikalisme harus dihentikan secara intensif dari pelbagai pihak. Dia pun menjamin FRI siap untuk bekerja sama dengan semua pihak yang menginginkan perdamaian, ketenangan, dan keselamatan NKRI.
“Warga kampus harus menjadi teladan dalam kehidupan politik, sosial, budaya dalam koridor NKRI,” tegasnya.
Rektor Universitas Indonesia (UI) Muhammad Anis juga menyatakan sikapnya menentang keras segala bentuk radikalisme dan terorisme, termasuk ujaran kebencian baik di dalam maupun luar kampus.
Dia bahkan mengatakan akan menindak tegas setiap warga UI yang melakukan tindakan provokasi yang mengarah pada radikalisme dan memecah belah bangsa. “Kami berkomitmen untuk bergandengan ta ngan dengan segenap komponen bangsa guna menggelorakan kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan melalui upaya-upaya konkret, konstruktif dan inklusif,” katanya.
Di sisi lain, pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan berpendapat ketidakadilan hukum, ekonomi, pendidikan, dan politik adalah penyebab paham radikal semakin mengakar di Indonesia. Radikalisme juga timbul karena pengetahuan agama, sejarah bangsa, filsafat bangsa, sosial dan budaya bangsa yang kurang.
“Pengetahuan yang kurang menyebabkan sikap religius dan kebangsaan yang kurang dan mudah dipengaruhi oleh informasi yang negatif,” katanya kepada KORAN SINDO.
Pernah Kuliah di ITS
Dua bomber di Surabaya, yakni Anton Ferdianto dan Budi Satrijo, tercatat pernah menempuh pendidikan di ITS Surabaya. Namun, ITS me nolak menyebut keduanya sebagai alumni ITS. Rektor ITS Prof Joni Hermana menuturkan, terduga teroris atas nama Anton Ferdianto pernah mahasiswa D-III Teknik Elektro ITS pada 1991. Namun, dia tercatat hanya menjalani kuliah satu tahun dan selanjutnya tidak aktif kembali.
“Atas dasar tersebut bisa dikatakan dia bukanlah alumnus ITS. Kami tidak mengetahui status yang bersangkutan selanjutnya,” ujar Prof Joni kemarin. Terduga teroris lainnya yang bernama Budi Satrijo juga pernah tercatat sebagai mahasiswa Teknik Kimia program studi S-1 tahun 1988 dan lulus pada 1996. Pada masa studinya, Budi tidak memperlihatkan tanda-tanda mencurigakan dan normal seperti mahasiswa lainnya. Bahkan, Budi terpantau aktif dalam kegiatan berwirausaha ketika di kampus.
“Sebagai alumnus yang lulus 22 tahun yang lalu, seluruh aktivitas yang bersangkutan tentunya diluar sepengetahuan ITS dan semua merupakan tanggung jawab pribadi masing-masing di depan hukum,” ungkapnya.
ITS, katanya, memiliki 100.000 lebih alumnus yang tersebar di seluruh Indonesia dan luar negeri, sedangkan alumnus yang aktif dalam kegiatan alumni hanya sekitar seribu orang. Sementara itu, kedua terduga pelaku tersebut merupakan alumni yang tidak pernah aktif di ITS. “Selama ini kegiatan yang terkait alumni, kita bekerja sama dengan Ikatan Alumni (IKA) ITS. IKA-lah yang menentukan siapa alumni yang akan menjadi pembicara jika diundang dalam acara ITS dan kedua terduga pelaku ini tidak pernah menjadi pembicara,” ucapnya.
Rektor Unair Prof Moh Nasih sebelumnya juga mengakui Dita Oepriyanto pernah menjadi mahasiswa Diploma 3 Program Studi Manajemen Pemasaran di Fakultas Ekonomi.
Namun, Dita tidak melanjutkan kuliahnya alias DO. Sebelum kuliah di Unair, Dita menempuh pendidikan di SMA ternama di Surabaya, yakni SMA 5. Menurut seorang adik kelas Dita yang viral di sosmed, Dita saat itu sudah menunjukkan radikalismenya, termasuk tidak mau menghormati bendera Merah Putih. (Neneng Zubaidah/ Aan Haryono)
(nfl)