Menaker: Perpres Nomor 20 Tahun 2018 Bukan Karpet Merah Bagi TKA
A
A
A
JAKARTA - Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri menyatakan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA) bukan karpet merah untuk masuknya TKA atau buruh kasar.
"Perpres membuat TKA kasar masuk dari mana?" kata Hanif dalam diskusi bertema Buruh Pasca-Reformasi gelaran Perhimpunan Aktivis Nasional (PENA) 98 di Jakarta, Sabtu (27/4/2018).
Hanif menjelaskan, Jokowi menerbitkan Perpres tersebut untuk menyederhanakan perizinan di Indonesia yang berbelit-belit sehingga berbiaya tinggi hingga rawan terjadi pungutan liar (pungli). Perpres ini juga untuk menunjang kemudahan berinvestasi di Indonesia.
Dalam penyerderhanaan izin ini, kata Hanif, tetap mencantumkan aturan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh TKA, di antaranya mempunyai keahlian atau kompetensi, level menengah ke atas, hanya menduduki jabatan tertentu, lamanya bekerja, hingga harus membayar kompensasi. Bahkan, Perpres mengatur harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia atau lokal.
Hanif mencontohkan, masuknya investasi dari luar negeri ke Indonesia membutuhkan tenaga kerja. Misalnya, untuk membangun pembangkit listrik, maka dibutuhkan perkerja. Namun pekerja itu tidak semua bersal dari Indonesia.
"Karena dia (investor) tanam uang triliunan di Indonesia, dia ingin uangnya aman, pekerjaannya selesai secara baik, tepat waktu, maka investor mempunyai kepentingan untuk tenaga kerja dari pihaknya," kata Hanif.
Namun, lanjut Hanif, jumlahnya pun tidak semuanya, jika misalnya proyek tersebut membutuhkan 5.000 orang pekerja, maka misalnya investor hanya membawa sekitar 300 orang saja atau sebagian kecil, mengingat cost yang harus dipertimbangkan. "Bahwa kemudian dari bagian investasi juga ada bagian yang diambil juga oleh TKA, itu tentu bagian kecil saja," jelasnya.
Sebelum masuk ke Indonesia, maka perusahaan yang akan berivestasi membangun pembangkit listrik tadi, maka menyusun Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Kemudian mengusulkannya kepada Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) RI.
"TKA di Indonesia ini tidak bisa 'ujug-ujug' bisa ngurus sendiri izin, yang bisa urus itu atau yang bisa ajukan izin TKA adalah perusahaan. Jadi prinsipnya sponsorship, perusahan yang ajukan. Misalnya PT PP akan gunakan TKA atau perusahaan swasta itu bisa mengajukan," katanya.
Pihak Kemenaker akan mengecek seluruh syarat, termasuk nama, keahlian dan seterusnya. "Oleh pemerintah dilihat standarnya, apakah jabatannya benar, penuhi syarat atau tidak. Kalau memenuhi syarat, berarti permohonan untuk TKA oke," paparnya.
"Untuk pengusaha ini ada namanya slot, ini nama (TKA)-nya belum ada, nanti kalau 300 itu sudah ada, kalau 300 itu namanya dimasukkan itu baru Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) keluar. Di Perpres yang baru, IMTA-nya disederhanakan menjadi notifikasi. Jadi tetap ada," katanya.
Hanif menambahkan, notifikasi ini nantinya menjadi dasar Imigrasi menerbitkan izin tinggal sementara atau tetap tertentu atau lainnya.
"Perpres membuat TKA kasar masuk dari mana?" kata Hanif dalam diskusi bertema Buruh Pasca-Reformasi gelaran Perhimpunan Aktivis Nasional (PENA) 98 di Jakarta, Sabtu (27/4/2018).
Hanif menjelaskan, Jokowi menerbitkan Perpres tersebut untuk menyederhanakan perizinan di Indonesia yang berbelit-belit sehingga berbiaya tinggi hingga rawan terjadi pungutan liar (pungli). Perpres ini juga untuk menunjang kemudahan berinvestasi di Indonesia.
Dalam penyerderhanaan izin ini, kata Hanif, tetap mencantumkan aturan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh TKA, di antaranya mempunyai keahlian atau kompetensi, level menengah ke atas, hanya menduduki jabatan tertentu, lamanya bekerja, hingga harus membayar kompensasi. Bahkan, Perpres mengatur harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia atau lokal.
Hanif mencontohkan, masuknya investasi dari luar negeri ke Indonesia membutuhkan tenaga kerja. Misalnya, untuk membangun pembangkit listrik, maka dibutuhkan perkerja. Namun pekerja itu tidak semua bersal dari Indonesia.
"Karena dia (investor) tanam uang triliunan di Indonesia, dia ingin uangnya aman, pekerjaannya selesai secara baik, tepat waktu, maka investor mempunyai kepentingan untuk tenaga kerja dari pihaknya," kata Hanif.
Namun, lanjut Hanif, jumlahnya pun tidak semuanya, jika misalnya proyek tersebut membutuhkan 5.000 orang pekerja, maka misalnya investor hanya membawa sekitar 300 orang saja atau sebagian kecil, mengingat cost yang harus dipertimbangkan. "Bahwa kemudian dari bagian investasi juga ada bagian yang diambil juga oleh TKA, itu tentu bagian kecil saja," jelasnya.
Sebelum masuk ke Indonesia, maka perusahaan yang akan berivestasi membangun pembangkit listrik tadi, maka menyusun Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Kemudian mengusulkannya kepada Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) RI.
"TKA di Indonesia ini tidak bisa 'ujug-ujug' bisa ngurus sendiri izin, yang bisa urus itu atau yang bisa ajukan izin TKA adalah perusahaan. Jadi prinsipnya sponsorship, perusahan yang ajukan. Misalnya PT PP akan gunakan TKA atau perusahaan swasta itu bisa mengajukan," katanya.
Pihak Kemenaker akan mengecek seluruh syarat, termasuk nama, keahlian dan seterusnya. "Oleh pemerintah dilihat standarnya, apakah jabatannya benar, penuhi syarat atau tidak. Kalau memenuhi syarat, berarti permohonan untuk TKA oke," paparnya.
"Untuk pengusaha ini ada namanya slot, ini nama (TKA)-nya belum ada, nanti kalau 300 itu sudah ada, kalau 300 itu namanya dimasukkan itu baru Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) keluar. Di Perpres yang baru, IMTA-nya disederhanakan menjadi notifikasi. Jadi tetap ada," katanya.
Hanif menambahkan, notifikasi ini nantinya menjadi dasar Imigrasi menerbitkan izin tinggal sementara atau tetap tertentu atau lainnya.
(kri)