Kesadaran Ikut Jaminan Sosial Masih Minim, NIK Jadi Kendala
A
A
A
KALIMANTAN BARAT - Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) melakukan monitoring dan evaluasi (monev) pelaksanaan program Jaminan Sosial Nasional di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Selasa (24/4/2018) hingga Kamis (26/4/2018).
Komisioner DJSN terdiri dari Soeprayitno, Taufik Hidayat dan Subiyanto melakukan kunjungan ke PT Mega Estetika Graha (MEG), PT AMS Group, Puskesmas Sungai Ambawang, Puskesmas Rasau, Rumah Sakit Bakti Husada, Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Kalbar, BPJS Ketenagakerjaan Kalbar dan Taspen Pontianak.
Komisioner DJSN Taufik Hidayat mengungkapkan, dari hasil kunjungan ke beberapa tempat tadi terungkap bahwa kesadaran masyarakat dan perusahaan dalam keikutsertaan program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan masih minim. Sedangkan pekerjaan rumah bagi Taspen adalah masih kurang maksimalnya sosialisasi tentang hak dan kewajiban PNS peserta Taspen.
“Sesuai dugaan kami, fokus monev kami di semester 1 adalah wilayah pemekaran dan tingkat kepesertaannya masih rendah. Ternyata benar kepesertaan di Kalbar masih rendah yakni, 65%, sedangkan di Kubu Raya 55%. Jadi perlu dilakukan ekstensifikasi dan intensifikasi program kepesertaan untuk mencapai 100%,” ujar Taufik.
Menurut Taufik, permasalahan khusus yang terjadi di Kubu Raya adalah Pemda belum mempunyai rumah sakit daerah sendiri sehingga belum maksimal dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada warganya. “Tapi itu kami maklumi karena daerah ini baru melakukan pemekaran,” ucap Taufik.
Namun Taufik menilai, ada yang perlu diapresiasi dari Pemkab Kubu Raya. Yakni, dari 20 puskesmas di Kubu Raya, sebanyak 15 puskesmas sudah beroperasi 24 jam dan punya fasilitas rawat inap. “Secara infrastruktur sudah cukup baik, tinggal nanti menambah dengan membangun rumah sakitnya,” kata Taufik.
Kepala Dinas Kesehatan Kubu Raya dr Berli Hamdani mengatakan, meskipun Kabupaten Kubu Raya belum memiliki RSUD, pihaknya telah menandatangani naskah kesepahaman kerja sama dengan 15 rumah sakit swasta, TNI dan Polri di sekitar wilayah Kubu Raya dan Pontianak.
“Kami sudah teken MoU dengan 15 rumah sakit. Selain itu kami terus berusaha untuk meningkatkan fasilitas kesehatan puskesmas yang kami punya. Kami juga sudah berencana untuk membangun rumah sakit daerah,” ujar Berli yang juga Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kalbar.
Namun ternyata dalam kunjungan monev DJSN juga terungkap adanya praktik rumah sakit mengaku ruang perawatannya penuh saat menerima pasien rujukan dari puskesmas. Namun saat si pasien menyatakan bersedia membayar dengan uang, ternyata ruang perawatan masih ada di rumah sakit tersebut.
Komisioner DJSN Subiyanto menyoroti soal kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang masih kurang 45%. Terkait hal ini perlu dilakukan rasionalisasi peserta penerima bantuan iuran (PBI) agar sesuai tepat sasaran.
“Sebab hasil investigasi kami, menemukan ternyata ada peserta yang sudah bekerja di sebuah perusahan dan seharusnya masuk kategori peserta penerima upah (PPU), ternyata masih tercantum di BPJSnya sebagai PBI, ini tidak boleh,” kata Subiyanto.
Subiyanto juga mengungkapkan kendala masalah Nomor Induk Kependudukan (NIK) masih menjadi ganjalan bagi kepesertaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sebab warga yang belum punya NIK ternyata tak bisa didaftarkan jadi peserta BPJS. “Untuk masalah ini kami akan membawanya ke pusat dengan perbaikan regulasi berkoodinasi dengan Kementerian Dalam Negeri,” kata dia.
Sementara itu, Deputi Direksi BPJS Kesehatan Wilayah Banten, Kalimantan Barat dan Lampung Benjamin Saut PS mengatakan, cakupan BPJS Kesehatan se Kalbar sudah mencapai 57% dengan jumlah peserta 3,62 juta penduduk dari total pendudukan Kalbar 5,3 juta penduduk.
Yakni terdiri dari, pekerja penerima upah sebesar 892.000 pekerja, bukan penerima upah 900.000 pekerja, dan penerima bantuan iuran ada sebanyak 483.000 orang. "Kemudian iuran di Kalbar, dari Januari hingga Maret Rp550 miliar, atau mencapai 24,29% dari target tahun 2018 yang dipatok Rp2,2 triliun," kata Benjamin.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Kalbar Agus Priyadi mengatakan, permasalahan BPJS Kesehatan di wilayah Kalbar adalah perlunya dokter dilengkapi dengan alat kerja medis yang cukup. Sehingga dokter bisa mendiagnosa penyakit dengan tepat sehingga obat yang diberikan pun efektif dan efisien. Hal ini bisa mencegah terjadinya pemberian obat yang tidak tepat dan diberikan jor-joran sehingga mengakibatkan ketersediaan obat menjadi kurang.
“Saya berharap DJSN bisa membuat regulasi yang memungkinkan masyarakat untuk bisa melakukan reimburse pengambilan obat. Jadi pada saat stok obat di RS atau fasilitas kesehatan habis maka peserta BPJS bisa mengambil obat di tempat lain dan bisa meminta pergantian ke BPJS,” kata Agus.
Sedangkan permasalahan di BPJS Ketenagakerjaan, berdasarkan pengamatan ORI, adalah kesulitan dalam meminta data dari BPJS Ketenagakerjaan terkait perusahaan yang belum ikut atau menunggak pembayaran iuran.
“Padahal maksud kami, agar tingkat kepesertaan di perusahaan bisa mencapai 90% atau bahkan 100%, tidak seperti kondisi saat ini hanya berkisar 58-60%,” kata Agus.
Agus berharap, DJSN bisa merumuskan regulasi bahwa BPJS Ketenagakerjaan di daerah harus diterapkan sistem target. Jadi apabila jabatan BPJS Ketenagakerjaan tidak mampu mencapai target tertentu maka harus diganti atau bahkan dikenakan sanksi atau dipecat. “Ïni sebenarnya pekerjaan mudah tapi kalau tidak serius maka tidak akan mencapai hasil yang baik,” ujar Agus.
Kepala Cabang Taspen Pontianak Wahyudin mengatakan, untuk pelaksanaan jaminan sosial di Taspen tidak ada kendala karena pesertanya adalah aparatur sipil negara (ASN) yang sebelumnya memang sudah ada di data base Taspen. Peserta Taspen yang ada di bawah naungan kantor cabang Pontianak ada 90.000, terdri dari peserta ASN di daerah otonom ada 78.000 dan peserta ASN Pusat 12.000.
“Sejauh ini kami tidak mengalami kendala dalam menjalankan program jaminan sosial nasional,” klaim Wahyudin.
Komisioner DJSN terdiri dari Soeprayitno, Taufik Hidayat dan Subiyanto melakukan kunjungan ke PT Mega Estetika Graha (MEG), PT AMS Group, Puskesmas Sungai Ambawang, Puskesmas Rasau, Rumah Sakit Bakti Husada, Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Kalbar, BPJS Ketenagakerjaan Kalbar dan Taspen Pontianak.
Komisioner DJSN Taufik Hidayat mengungkapkan, dari hasil kunjungan ke beberapa tempat tadi terungkap bahwa kesadaran masyarakat dan perusahaan dalam keikutsertaan program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan masih minim. Sedangkan pekerjaan rumah bagi Taspen adalah masih kurang maksimalnya sosialisasi tentang hak dan kewajiban PNS peserta Taspen.
“Sesuai dugaan kami, fokus monev kami di semester 1 adalah wilayah pemekaran dan tingkat kepesertaannya masih rendah. Ternyata benar kepesertaan di Kalbar masih rendah yakni, 65%, sedangkan di Kubu Raya 55%. Jadi perlu dilakukan ekstensifikasi dan intensifikasi program kepesertaan untuk mencapai 100%,” ujar Taufik.
Menurut Taufik, permasalahan khusus yang terjadi di Kubu Raya adalah Pemda belum mempunyai rumah sakit daerah sendiri sehingga belum maksimal dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada warganya. “Tapi itu kami maklumi karena daerah ini baru melakukan pemekaran,” ucap Taufik.
Namun Taufik menilai, ada yang perlu diapresiasi dari Pemkab Kubu Raya. Yakni, dari 20 puskesmas di Kubu Raya, sebanyak 15 puskesmas sudah beroperasi 24 jam dan punya fasilitas rawat inap. “Secara infrastruktur sudah cukup baik, tinggal nanti menambah dengan membangun rumah sakitnya,” kata Taufik.
Kepala Dinas Kesehatan Kubu Raya dr Berli Hamdani mengatakan, meskipun Kabupaten Kubu Raya belum memiliki RSUD, pihaknya telah menandatangani naskah kesepahaman kerja sama dengan 15 rumah sakit swasta, TNI dan Polri di sekitar wilayah Kubu Raya dan Pontianak.
“Kami sudah teken MoU dengan 15 rumah sakit. Selain itu kami terus berusaha untuk meningkatkan fasilitas kesehatan puskesmas yang kami punya. Kami juga sudah berencana untuk membangun rumah sakit daerah,” ujar Berli yang juga Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kalbar.
Namun ternyata dalam kunjungan monev DJSN juga terungkap adanya praktik rumah sakit mengaku ruang perawatannya penuh saat menerima pasien rujukan dari puskesmas. Namun saat si pasien menyatakan bersedia membayar dengan uang, ternyata ruang perawatan masih ada di rumah sakit tersebut.
Komisioner DJSN Subiyanto menyoroti soal kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang masih kurang 45%. Terkait hal ini perlu dilakukan rasionalisasi peserta penerima bantuan iuran (PBI) agar sesuai tepat sasaran.
“Sebab hasil investigasi kami, menemukan ternyata ada peserta yang sudah bekerja di sebuah perusahan dan seharusnya masuk kategori peserta penerima upah (PPU), ternyata masih tercantum di BPJSnya sebagai PBI, ini tidak boleh,” kata Subiyanto.
Subiyanto juga mengungkapkan kendala masalah Nomor Induk Kependudukan (NIK) masih menjadi ganjalan bagi kepesertaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sebab warga yang belum punya NIK ternyata tak bisa didaftarkan jadi peserta BPJS. “Untuk masalah ini kami akan membawanya ke pusat dengan perbaikan regulasi berkoodinasi dengan Kementerian Dalam Negeri,” kata dia.
Sementara itu, Deputi Direksi BPJS Kesehatan Wilayah Banten, Kalimantan Barat dan Lampung Benjamin Saut PS mengatakan, cakupan BPJS Kesehatan se Kalbar sudah mencapai 57% dengan jumlah peserta 3,62 juta penduduk dari total pendudukan Kalbar 5,3 juta penduduk.
Yakni terdiri dari, pekerja penerima upah sebesar 892.000 pekerja, bukan penerima upah 900.000 pekerja, dan penerima bantuan iuran ada sebanyak 483.000 orang. "Kemudian iuran di Kalbar, dari Januari hingga Maret Rp550 miliar, atau mencapai 24,29% dari target tahun 2018 yang dipatok Rp2,2 triliun," kata Benjamin.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Kalbar Agus Priyadi mengatakan, permasalahan BPJS Kesehatan di wilayah Kalbar adalah perlunya dokter dilengkapi dengan alat kerja medis yang cukup. Sehingga dokter bisa mendiagnosa penyakit dengan tepat sehingga obat yang diberikan pun efektif dan efisien. Hal ini bisa mencegah terjadinya pemberian obat yang tidak tepat dan diberikan jor-joran sehingga mengakibatkan ketersediaan obat menjadi kurang.
“Saya berharap DJSN bisa membuat regulasi yang memungkinkan masyarakat untuk bisa melakukan reimburse pengambilan obat. Jadi pada saat stok obat di RS atau fasilitas kesehatan habis maka peserta BPJS bisa mengambil obat di tempat lain dan bisa meminta pergantian ke BPJS,” kata Agus.
Sedangkan permasalahan di BPJS Ketenagakerjaan, berdasarkan pengamatan ORI, adalah kesulitan dalam meminta data dari BPJS Ketenagakerjaan terkait perusahaan yang belum ikut atau menunggak pembayaran iuran.
“Padahal maksud kami, agar tingkat kepesertaan di perusahaan bisa mencapai 90% atau bahkan 100%, tidak seperti kondisi saat ini hanya berkisar 58-60%,” kata Agus.
Agus berharap, DJSN bisa merumuskan regulasi bahwa BPJS Ketenagakerjaan di daerah harus diterapkan sistem target. Jadi apabila jabatan BPJS Ketenagakerjaan tidak mampu mencapai target tertentu maka harus diganti atau bahkan dikenakan sanksi atau dipecat. “Ïni sebenarnya pekerjaan mudah tapi kalau tidak serius maka tidak akan mencapai hasil yang baik,” ujar Agus.
Kepala Cabang Taspen Pontianak Wahyudin mengatakan, untuk pelaksanaan jaminan sosial di Taspen tidak ada kendala karena pesertanya adalah aparatur sipil negara (ASN) yang sebelumnya memang sudah ada di data base Taspen. Peserta Taspen yang ada di bawah naungan kantor cabang Pontianak ada 90.000, terdri dari peserta ASN di daerah otonom ada 78.000 dan peserta ASN Pusat 12.000.
“Sejauh ini kami tidak mengalami kendala dalam menjalankan program jaminan sosial nasional,” klaim Wahyudin.
(maf)