Laporan Pelanggaran Netralitas ASN Capai Ratusan
A
A
A
JAKARTA - Pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi isu besar dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun ini.
Hingga pertengahan April ini saja laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN yang masuk ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencapai 300 kasus. Dugaan pelanggaran netralitas ASN ini menjadi pemuncak dugaan pelanggaran dalam pilkada. Selain netralitas ASN, adanya politik uang (money politics) juga diduga marak terjadi.
“Saya tidak tahu jumlah persisnya, tapi pelanggaran netralitas ASN yang paling banyak, itu jumlahnya 300-an dan rekomendasi ke KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) sudah hampir 150. Jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan money politics,” kata Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Dia mengatakan, 300-an itu merupakan laporan yang masuk ke Bawaslu. Bawaslu sudah memanggil pihak-pihak terlapor dan sudah dilakukan klarifikasi hingga akhirnya terdapat sekitar 150 rekomendasi Bawaslu yang sudah diserahkan kepada KASN.
“ASN-nya ada yang kepala dinas, pejabat struktural, staf. Campur-campur,” imbuhnya. Dia menjelaskan, pelanggaran netralitas ASN itu bisa berupa perbuatan atau kebijakan, tapi dari 300-an laporan tersebut yang paling banyak perihal perbuatan.
Misalnya ASN hadir dalam kampanye atau deklarasi pasangan calon (paslon) kepala daerah, melakukan seruan untuk memilih salah satu paslon atau membuat isyarat dengan memasang gambar angka yang merujuk pada salah satu paslon.
“Kalau kategori kebijakan, kami belum menemukan,” jelasnya. Menurut Fritz, ketidaknetralan ASN ini cenderung meningkat dari pilkada ke pilkada. Dan pada Pilkada 2018 ini cenderung meningkat sampai dengan akhir masa kampanye nanti. “Kampanye kan masih sampai Juni, bisa saja nanti angka itu akan semakin meningkat,” ujarnya.
Dia menangkap gelagat, meningkatnya ASN yang tidak netral ini bisa saja akibat faktor politik lokal di mana ASN tersebut takut tidak menjabat lagi kalau tidak mendukung salah satu paslon. Tentu saja Bawaslu terus berkoordinasi dengan KASN, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Itu jadi concern kita dengan KASN. KASN menyampaikan, dibutuhkan profesionalitas ASN,” katanya. Adapun mengenai money politics, lanjut Fritz, untuk saat ini masih sedikit laporan yang masuk dan kebanyakan ditolak di kepolisian.
Tapi nanti jelang pemungutan, kecenderungannya akan meningkat. Laporan yang masuk dan ditolak atau dibebaskan itu di Kendal dan Pangkal Pinang. “Ada juga satu daerah yang inkracht dipenjara 6 bulan,” sebutnya. Sementara itu Menpan-RB Asman Abnur menyebut sejak 2016 sampai Februari 2018 ini total pelanggaran netralitas mencapai 85 kasus.
Tahun ini ada tren peningkatan di mana pada Februari lalu sedikitnya 40 kasus pelanggaran netralitas ASN yang diproses oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Dia meyakini jumlah kasus yang diproses KASN jauh lebih sedikit daripada kasus yang terjadi di lapangan.
“Dari 40 kasus melibatkan 101 PNS. Pada pelaksanaan pilkada tahun ini ada 3 kasus di tingkatan provinsi. Sementara 37 kasus terjadi di kabupaten/ kota. Sampai sejauh ini baru dua kasus yang ditindaklanjuti,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria mengatakan, setiap minggu Komisi II turun ke daerah dan melakukan pengawasan rutin ke sejumlah daerah dan bertemu dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) serta Bawaslu dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Bahkan setiap anggota Komisi II memiliki tanggung jawab di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Bahkan Komisi II terus mengevaluasi dalam rapat di Komisi II, Kemendagri, Kemenpan-RB, KPU, dan Bawaslu.
“Pelanggaran ada saja, laporan juga sudah ada melalui Bawaslu. Bawaslu juga sudah merekomendasikan, menindak, dan mengeksekusi laporan tersebut,” kata Riza saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Menurut Riza, berdasarkan laporan Bawaslu, pelanggaran di pilkada yang paling banyak adalah ketidaknetralan PNS atau ASN, kemudian pelibatan anak-anak dalam kampanye dan money politics.
“Kita juga ingatkan Kemenpan dan Kemendagri soal netralitas PNS,” imbuhnya. Mengenai money politics , lanjut Riza, Komisi II sudah meningkatkan regulasi serta meningkatkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Bawaslu. Komisi II juga mendorong Bawaslu untuk bersikap netral, adil, dan berani.
Pihaknya pun terus menyampaikan dan mengingatkan perihal money politics di berbagai forum, begitu juga kepada Kemendagri dan Kemenpan-RB. “Kita berharap di 2018 ber kurang atau menurun. Terlebih banyak kasus korupsi dan OTT (operasi tangkap tangan) sejumlah kepala daerah,” ucapnya. (Kiswondari/ Dita Angga)
Hingga pertengahan April ini saja laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN yang masuk ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencapai 300 kasus. Dugaan pelanggaran netralitas ASN ini menjadi pemuncak dugaan pelanggaran dalam pilkada. Selain netralitas ASN, adanya politik uang (money politics) juga diduga marak terjadi.
“Saya tidak tahu jumlah persisnya, tapi pelanggaran netralitas ASN yang paling banyak, itu jumlahnya 300-an dan rekomendasi ke KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) sudah hampir 150. Jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan money politics,” kata Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Dia mengatakan, 300-an itu merupakan laporan yang masuk ke Bawaslu. Bawaslu sudah memanggil pihak-pihak terlapor dan sudah dilakukan klarifikasi hingga akhirnya terdapat sekitar 150 rekomendasi Bawaslu yang sudah diserahkan kepada KASN.
“ASN-nya ada yang kepala dinas, pejabat struktural, staf. Campur-campur,” imbuhnya. Dia menjelaskan, pelanggaran netralitas ASN itu bisa berupa perbuatan atau kebijakan, tapi dari 300-an laporan tersebut yang paling banyak perihal perbuatan.
Misalnya ASN hadir dalam kampanye atau deklarasi pasangan calon (paslon) kepala daerah, melakukan seruan untuk memilih salah satu paslon atau membuat isyarat dengan memasang gambar angka yang merujuk pada salah satu paslon.
“Kalau kategori kebijakan, kami belum menemukan,” jelasnya. Menurut Fritz, ketidaknetralan ASN ini cenderung meningkat dari pilkada ke pilkada. Dan pada Pilkada 2018 ini cenderung meningkat sampai dengan akhir masa kampanye nanti. “Kampanye kan masih sampai Juni, bisa saja nanti angka itu akan semakin meningkat,” ujarnya.
Dia menangkap gelagat, meningkatnya ASN yang tidak netral ini bisa saja akibat faktor politik lokal di mana ASN tersebut takut tidak menjabat lagi kalau tidak mendukung salah satu paslon. Tentu saja Bawaslu terus berkoordinasi dengan KASN, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Itu jadi concern kita dengan KASN. KASN menyampaikan, dibutuhkan profesionalitas ASN,” katanya. Adapun mengenai money politics, lanjut Fritz, untuk saat ini masih sedikit laporan yang masuk dan kebanyakan ditolak di kepolisian.
Tapi nanti jelang pemungutan, kecenderungannya akan meningkat. Laporan yang masuk dan ditolak atau dibebaskan itu di Kendal dan Pangkal Pinang. “Ada juga satu daerah yang inkracht dipenjara 6 bulan,” sebutnya. Sementara itu Menpan-RB Asman Abnur menyebut sejak 2016 sampai Februari 2018 ini total pelanggaran netralitas mencapai 85 kasus.
Tahun ini ada tren peningkatan di mana pada Februari lalu sedikitnya 40 kasus pelanggaran netralitas ASN yang diproses oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Dia meyakini jumlah kasus yang diproses KASN jauh lebih sedikit daripada kasus yang terjadi di lapangan.
“Dari 40 kasus melibatkan 101 PNS. Pada pelaksanaan pilkada tahun ini ada 3 kasus di tingkatan provinsi. Sementara 37 kasus terjadi di kabupaten/ kota. Sampai sejauh ini baru dua kasus yang ditindaklanjuti,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria mengatakan, setiap minggu Komisi II turun ke daerah dan melakukan pengawasan rutin ke sejumlah daerah dan bertemu dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) serta Bawaslu dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Bahkan setiap anggota Komisi II memiliki tanggung jawab di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Bahkan Komisi II terus mengevaluasi dalam rapat di Komisi II, Kemendagri, Kemenpan-RB, KPU, dan Bawaslu.
“Pelanggaran ada saja, laporan juga sudah ada melalui Bawaslu. Bawaslu juga sudah merekomendasikan, menindak, dan mengeksekusi laporan tersebut,” kata Riza saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Menurut Riza, berdasarkan laporan Bawaslu, pelanggaran di pilkada yang paling banyak adalah ketidaknetralan PNS atau ASN, kemudian pelibatan anak-anak dalam kampanye dan money politics.
“Kita juga ingatkan Kemenpan dan Kemendagri soal netralitas PNS,” imbuhnya. Mengenai money politics , lanjut Riza, Komisi II sudah meningkatkan regulasi serta meningkatkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Bawaslu. Komisi II juga mendorong Bawaslu untuk bersikap netral, adil, dan berani.
Pihaknya pun terus menyampaikan dan mengingatkan perihal money politics di berbagai forum, begitu juga kepada Kemendagri dan Kemenpan-RB. “Kita berharap di 2018 ber kurang atau menurun. Terlebih banyak kasus korupsi dan OTT (operasi tangkap tangan) sejumlah kepala daerah,” ucapnya. (Kiswondari/ Dita Angga)
(nfl)