Jumlah Napi Terus Meningkat, Lapas Overkapasitas
A
A
A
JAKARTA - Jumlah tahanan di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) meningkat tajam. Berdasarkan sistem database Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah narapidana dan tahanan yang menghuni lapas maupun rutan saat ini mencapai 246.389 orang.
Angka itu diperkirakan akan terus bertambah. Sementara kapasitas hunian lapas dan rutan seluruh Indonesia hanya menampung 123.025 orang. Dengan demikian, kondisi hunian lapas dan rutan saat ini sudah kelebihan kapasitas 200%. "Angkanya sangat cepat yang saya lihat belakangan ini. Jadi, kalau 2.000 per bulan masuk ke lapas dan rutan, berarti per tahun ada 24.000," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat menjadi pembicara kunci "Seminar Nasional Pembimbing Kemasyarakatan dan Pidana Alternatif" Ikatan Pembimbing Kemasyarakatan Indonesia (IPKEMINDO) di Gedung Kemenkumham Jakarta, Kamis (19/4/2018).
Di sisi lain, kemampuan finansial APBN juga tidak akan mampu membangun rutan atau lapas baru jika jumlah tahanan terus bertambah seperti ini. "Kalau kita andaikan membangun untuk 1.000 orang hunian itu, berapa ratus miliar hanya untuk fisik, belum prasarananya, belum manusianya. Bisa sampai berapa ratus miliar," ujarnya.
Yasonna mengatakan, jika tren tersebut terus menerus terjadi tanpa ada suatu perubahan besar, khususnya terkait kondisi lapas, diperkirakan dalam lima tahun ke depan akan terjadi 'bom waktu' di lapas. Dengan kondisi kelebihan penghunian mengakibatkan pemenuhan hak narapidana dan tahanan pun jadi tidak optimal. Pasalnya, sarana dan prasarana serta sumber daya pemenuhan kebutuhan tidak sebanding dengan jumlah narapidana dan tahanan yang ada.
Yasonna mencanangkan agar terpidana dengan kasus ringan tidak perlu mendapat hukuman kurungan penjara. Dia juga berharap Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHAP) yang sedang di rancang pemerintah dan DPR bisa membantu mengurangi jumlah narapidana. "Maka kita bersyukur DPR dan pemerintah sedang membahas RUU KUHAP dan berharap agar diberi ruang restorative justice dan kebijakan pidana alternatif, di mana konsepnya nanti pidana-pidana kecil nggak usah ke dalam (penjara), bikin sumpek saja," katanya.
Selain untuk mengurangi jumlah tahanan di lapas, Yasonna khawatir, jika para terpidana dengan hukuman kecil akan bertambah buruk perilakunya karena terpengaruh narapidana lainnya. Yasonna mengatakan, saat ini pihaknya sedang mempelajari konsep-konsep hukuman nonpenjara dari negara-negara lain. Nanti jika RUU KUHAP telah selesai akan ada peraturan turunan yang membahas program tersebut.
"Mereka bisa melakukan kerja sosial sapu jalan atau kerja di mana. Nanti kita buat peraturan pemerintah (PP) mengenai itu, tapi programnya harus dimasukkan ke KUHAP dulu. Bila perlu, kita belajar dari negara-negara yang sukses menerapkan ini," katanya.
Mengatasi kelebihan kapasitas, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Ma'mun mengatakan, institusi pemasyarakatan harus siap melakukan perubahan ke depan, yakni pergeseran pidana penjara ke arah pidana alternatif. "Bukan hanya terjebak dalam segala permasalahan yang berlarut-larut. Perubahan paradigma pemidanaan berupaya menggeser pidana penjara ke arah pidana-pidana alternatif perlu diantisipasi oleh pemasyarakatan," kata Ma'mun.
Ma'mun mengatakan, perlu ada "special treatment" yang dibutuhkan untuk penanganan narapidana berisiko tinggi serta upaya optimalisasi "open camp" sebagai salah satu terobosan guna mengurai kepadatan penghuni di dalam blok hunian. Sekaligus optimalisasi pelaksanaan program pembinaan yang selama ini sangat sulit dilakukan dengan alasan penghuni yang padat.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati berpendapat, menambah jumlah penjara sebenarnya bukanlah jawaban atas kondisi lapas yang penuh sesak. Menurutnya, kebanyakan penghuni lapas adalah orang sebenarnya tidak perlu dipenjarakan, seperti narapidana terkait kasus narkotika serta narapidana kasus perdata seperti utang. Bahkan, sudah banyak pengamat dan ahli hukum mengkritisi penggunaan UU Narkotika untuk memidanakan pengguna narkotika yang seharusnya direhabilitasi bukan dipenjarakan.
Asfinawati menjelaskan, berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, orang yang tidak sanggup membayar kewajiban perdata seperti utang, tidak bisa dipidanakan. "Ini dua kasus yang membuat penjara penuh. Tetapi polisi, jaksa penuntut, dan hakim tidak memiliki perspektif sama dengan orang-orang yang mengelola lapas. Ini sebetulnya tugas pemerintah supaya ada pemahaman sama di penegak hukum untuk tidak memenuhi penjara," kata Asfinawati dalam siaran persnya, Kamis (19/4/2018).
Angka itu diperkirakan akan terus bertambah. Sementara kapasitas hunian lapas dan rutan seluruh Indonesia hanya menampung 123.025 orang. Dengan demikian, kondisi hunian lapas dan rutan saat ini sudah kelebihan kapasitas 200%. "Angkanya sangat cepat yang saya lihat belakangan ini. Jadi, kalau 2.000 per bulan masuk ke lapas dan rutan, berarti per tahun ada 24.000," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat menjadi pembicara kunci "Seminar Nasional Pembimbing Kemasyarakatan dan Pidana Alternatif" Ikatan Pembimbing Kemasyarakatan Indonesia (IPKEMINDO) di Gedung Kemenkumham Jakarta, Kamis (19/4/2018).
Di sisi lain, kemampuan finansial APBN juga tidak akan mampu membangun rutan atau lapas baru jika jumlah tahanan terus bertambah seperti ini. "Kalau kita andaikan membangun untuk 1.000 orang hunian itu, berapa ratus miliar hanya untuk fisik, belum prasarananya, belum manusianya. Bisa sampai berapa ratus miliar," ujarnya.
Yasonna mengatakan, jika tren tersebut terus menerus terjadi tanpa ada suatu perubahan besar, khususnya terkait kondisi lapas, diperkirakan dalam lima tahun ke depan akan terjadi 'bom waktu' di lapas. Dengan kondisi kelebihan penghunian mengakibatkan pemenuhan hak narapidana dan tahanan pun jadi tidak optimal. Pasalnya, sarana dan prasarana serta sumber daya pemenuhan kebutuhan tidak sebanding dengan jumlah narapidana dan tahanan yang ada.
Yasonna mencanangkan agar terpidana dengan kasus ringan tidak perlu mendapat hukuman kurungan penjara. Dia juga berharap Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHAP) yang sedang di rancang pemerintah dan DPR bisa membantu mengurangi jumlah narapidana. "Maka kita bersyukur DPR dan pemerintah sedang membahas RUU KUHAP dan berharap agar diberi ruang restorative justice dan kebijakan pidana alternatif, di mana konsepnya nanti pidana-pidana kecil nggak usah ke dalam (penjara), bikin sumpek saja," katanya.
Selain untuk mengurangi jumlah tahanan di lapas, Yasonna khawatir, jika para terpidana dengan hukuman kecil akan bertambah buruk perilakunya karena terpengaruh narapidana lainnya. Yasonna mengatakan, saat ini pihaknya sedang mempelajari konsep-konsep hukuman nonpenjara dari negara-negara lain. Nanti jika RUU KUHAP telah selesai akan ada peraturan turunan yang membahas program tersebut.
"Mereka bisa melakukan kerja sosial sapu jalan atau kerja di mana. Nanti kita buat peraturan pemerintah (PP) mengenai itu, tapi programnya harus dimasukkan ke KUHAP dulu. Bila perlu, kita belajar dari negara-negara yang sukses menerapkan ini," katanya.
Mengatasi kelebihan kapasitas, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Ma'mun mengatakan, institusi pemasyarakatan harus siap melakukan perubahan ke depan, yakni pergeseran pidana penjara ke arah pidana alternatif. "Bukan hanya terjebak dalam segala permasalahan yang berlarut-larut. Perubahan paradigma pemidanaan berupaya menggeser pidana penjara ke arah pidana-pidana alternatif perlu diantisipasi oleh pemasyarakatan," kata Ma'mun.
Ma'mun mengatakan, perlu ada "special treatment" yang dibutuhkan untuk penanganan narapidana berisiko tinggi serta upaya optimalisasi "open camp" sebagai salah satu terobosan guna mengurai kepadatan penghuni di dalam blok hunian. Sekaligus optimalisasi pelaksanaan program pembinaan yang selama ini sangat sulit dilakukan dengan alasan penghuni yang padat.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati berpendapat, menambah jumlah penjara sebenarnya bukanlah jawaban atas kondisi lapas yang penuh sesak. Menurutnya, kebanyakan penghuni lapas adalah orang sebenarnya tidak perlu dipenjarakan, seperti narapidana terkait kasus narkotika serta narapidana kasus perdata seperti utang. Bahkan, sudah banyak pengamat dan ahli hukum mengkritisi penggunaan UU Narkotika untuk memidanakan pengguna narkotika yang seharusnya direhabilitasi bukan dipenjarakan.
Asfinawati menjelaskan, berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, orang yang tidak sanggup membayar kewajiban perdata seperti utang, tidak bisa dipidanakan. "Ini dua kasus yang membuat penjara penuh. Tetapi polisi, jaksa penuntut, dan hakim tidak memiliki perspektif sama dengan orang-orang yang mengelola lapas. Ini sebetulnya tugas pemerintah supaya ada pemahaman sama di penegak hukum untuk tidak memenuhi penjara," kata Asfinawati dalam siaran persnya, Kamis (19/4/2018).
(amm)