Agama dan Budaya adalah Ruh Pancasila, Tak Perlu Dipertentangkan

Jum'at, 13 April 2018 - 15:16 WIB
Agama dan Budaya adalah...
Agama dan Budaya adalah Ruh Pancasila, Tak Perlu Dipertentangkan
A A A
JAKARTA - Indonesia adalah negara beragama dan berbudaya yang selama ini menjadi ruh ideologi bangsa ini, yaitu Pancasila.

Oleh karena itu, agama dan budaya dinilai tidak perlu dipertentangkan atau dibenturkan, tetapi harus dilestarikan agar bangsa ini selalu menjadi bangsa yang harmoni dan damai.

Hal itu diungkapkan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof Dr Syaiful Bakhri di Jakarta, Rabu 11 April 2018. “Agama itu sangat mulia karena titah Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan budaya mengandung nilai-nilai luhur dan kearifan lokal bangsa Indonesia dengan segala keberagamannya. Perpaduan itulah yang menjadi sebuah kekuatan dalam Pancasila sebagai fundamental bernegara kita yang syarat dengan harmoni,” tuturnya.

Dia mengajak seluruh pihak untuk menjaga harmonisasi dan perdamaian dengan tidak terpancing melakukan hal-hal yang mengancam disharmonisasi bangsa.

Apalagi, kata dia, bangsa Indonesia tengah menatap tahun politik dengan akan digelarnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018, Pemilu Legislatif (Pileg), dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019.

Seperti kasus kontroversi puisi yang dibacakan putri Proklamator Sukmawati Soekarnoputri, Syaiful Bakhri menilai, isu utama yang langsung muncul adalah narasi penistaan agama.

Padahal kalau ditelaah lagi, sambung dia, ada beberapa narasi lain sebagai dampak dari kontroversi tersebut, yaitu kontradiksi agama dan budaya.

Dia menduga dua entitas yang dalam khazanah Nusantara menjadi peradaban Indonesia itu sengaja dibenturkan. Agama seolah terpisah, bahkan bertentangan dengan budaya, begitu juga sebaliknya.

“Karena itulah integrasi agama dan budaya perlu dikuatkan kembali dengan pandangan bahwa agama memberi ruh relijius pada budaya dan budaya memberi ruang kontekstualisasi ajaran agama. Keduanya tidak bisa dicampuradukkan, tetapi tidak bisa dipisahkan apalagi dipertentangkan. Menjadi relijius tidak berarti menanggalkan budaya, dan menjadi berbudaya tidak berarti bertentangan (menistakan) agama,” tuturnya.

Menurut dia, sangat tidak elegan bila ada kelompok atau golongan yang sengaja membentur-benturkan masalah ini yang bisa menimbulkan kegaduhan. Apalagi benturan-benturan itu akhirnya bermuara di ranah hukum.

Menurut dia, bila semua dikembalikan ke Pancasila, penyelesaiannya akan lebih mudah, yaitu dengan musyawarah dan mufakat, seperti tertuang dalam sila keempat.

Dia menilai, konflik apa pun jika segala sesuatunya diserahkan pada proses hukum maka tidak akan tercapai perdamaian. Kalau tidak tercapai perdamaian, maka itu akan mengingkari asas Pancasila.

Padahal pada sila pertama Pancasila, kata dia, disebutkan semua orang harus berbasis pada Ketuhanan yang Maha Esa. Kemudian sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ada kalimat adil, setiap tujuan hukum itu adil.

“Tapi kalau adil dalam hukum, siapa yang menang dia mendapatkan keadilan. Jadi adil dalam perspektif hukum banyak yang tidak adil. Tapi keadilan yang dimaknai Pancasila itu indah sekali. Inilah yang harus menjadi pegangan seluruh masyarakat agar kita tidak mudah dipecah belah,” ungkapnya.

Syaiful mengungkapkan, musyawarah dan mufakat adalah solusi terbaik menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat, sesuai dengan ideologi negara ini. Kalau hal itu terus dilakukan maka setiap masalah penyelesaiannya tidak harus pengadilan.

“Masa kalau orang sudah minta maaf, tidak dimaafkan. Allah Maha Pemaaf atau Tuhan yang dimaknai apa pun oleh agama-agama yang ada, semuanya punya sifat pemaaf. Jadi tidak ada sifat benci dan menghukum, mengapa kita serahkan pada mekanisme menghukum yang bisa berujung pada disharmonisasi,” tuturnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0776 seconds (0.1#10.140)