JK Minta Sanksi Kepada dr Terawan Dikaji Ulang
A
A
A
JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) meminta Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkaji ulang keputusan memecat Kepala RSPAD Gatot Soebroto Mayjen TNI Dr dr Terawan Agus Putranto Sp Rad (K) dari keanggotaan. Harapan ini disampaikan karena metode yang ditemukan Terawan telah banyak memberi manfaat kepada banyak orang.
JK mengaku termasuk mendapat manfaat dari terapi yang dilakukan Terawan. Bukan hanya dia, banyak menteri di kabinet saat ini juga pernah mendapatkan perawatan yang menggunakan metode Digital Subtraction Angiography (DSA) atau dikenal dengan cuci otak tersebut. "Ya tadi kami rapat kabinet, terbatas, ada 10 menteri. Saya tanya, ada berapa yang dirawat dr Terawan, dan dari 10 (menteri) itu ada enam, termasuk saya," kata Jusuf Kalla seusai menghadiri penyerahan bantuan di Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat, Jakarta, Jumat (6/4/2018).
Selain JK, sebelumnya banyak tokoh menyayangkan keputusan pemecatan Terawan. Beberapa nama yang sudah bersuara di antaranya mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie atau Ical, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Kemarin Wakil Ketua DPR Agus Hermanto juga menyampaikan aspirasi yang sama. Politikus Partai Demokrat itu juga mengaku pernah menjadi pasien Terawan dan mendapat hasil yang cukup menggembirakan. Menurut dia, selain di dalam negeri, metode DSA yang ditemukan Terawan juga mendapat pengakuan luar negeri.
"Rasanya kita sebagai bangsa Indonesia apabila ada masyarakat yang punya prestasi gemilang, diakui bukan hanya di Indonesia, di luar negeri pun sudah banyak yang mengakui, tentunya ini harusnya diberikan penghargaan dan diberikan hal yang terbaik, bukannya hambatan," kata Agus.
Seperti diketahui, Terawan mendapatkan sanksi pemecatan sementara per 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019 dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Dia dipecat karena dianggap melakukan pelanggaran etika kedokteran lantaran praktik kedokteran yang dilakukannya.
Bukan hanya itu, MKEK PB IDI juga mencabutkan izin praktiknya. Surat pemecatan dan pencabutan izin praktik yang ditandatangani Ketua MKEK IDI Prio Sidipratomo dalam surat PB IDI yang diperuntukkan ke Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Seluruh Indonesia (PDSRI) tertanggal 23 Maret 2018.
Sementara penemu rompi dan helm antikanker, Warsito Taruna, mengakui sulitnya menembus kekakuan dunia medis di Tanah Air. Dia bahkan menyarankan para inovator untuk berkarier di luar negeri terlebih dulu jika ada kesempatan. "Namun untuk inovator di dalam negeri, tidak bisa mengandalkan inovasi di bidang medis saja. Harus berinovasi di bidang lain agar bertahan," ujar dia.
Warsito sebelumnya pernah tersandung persoalan hampir sama. Penemu alat pembasmi sel kanker ECCT (Electro-Capacitive Cancer Therapy) yang sudah dipatenkan sejak 2012 dan membuat kliniknya dibanjiri pasien, harus hengkang keluar negeri karena kliniknya dicap ilegal oleh Kementerian Kesehatan.
Alasannya, temuannya belum memenuhi prosedur penelitian sebagaimana Nota Kesepakatan Bersama yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan/safety atau kemanfaatan/efficacy apabila di terapkan bagi manusia. Tak hanya itu, Kementerian Kesehatan menyatakan klinik riset kanker yang dikelola Warsito tidak masuk dalam jenis klinik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis klinik, yaitu klinik pratama dan klinik utama. Menurut dia, polemik dunia medis dengan inovator tidak akan terjadi jika pemerintah menerapkan Permenkes 1109/ Menkes/PER/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif di Pusat Layanan Kesehatan.
Dalam aturan itu disebutkan pengobatan komplementer-alternatif meliputi intervensi dan pikiran, sistem pelayanan pengobatan alternatif, cara penyembuhan manual, pengobatan farmakologi dan biologi, dite dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan, dan cara lain dalam diagnosis dan pengobatan. "Permenkes itu sudah sangat detail. Jadi, aturannya sudah ada. Seharusnya yang dilakukan Dokter Terawan tidak salah berdasarkan aturan itu," tandasnya.
Pro-Kontra Ilmiah
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (Perdossi) Prof dr Moh Hasan Machfoed SpS (K) mengatakan, landasan ilmiah tentang metode cuci otak yang dilakukan dr Terawan Agus Putranto masih lemah. Kesimpulan itu diambil setelah mengkaji prosedur metode cuci otak yang diterapkan oleh dr Terawan yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah berdasarkan hasil disertasinya di Universitas Hasanuddin Makassar.
"Saya sebagai ketua umum PP Perdossi telah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa brain wash tidak memiliki landasan ilmiah kuat," kata Prof Hasan dalam pernyataannya di laman Bali Medical Journal.
Hasan menyatakan Dokter Terawan selama ini menggunakan metode cuci otak melalui DSA dengan menggunakan heparin sebagai obat yang disuntikkan intra-arterial keperedaran darah di otak guna mengobati stroke iskemik kronis. "Secara klinis, DSA dengan heparin hanya berfungsi sebagai sarana diagnosis untuk melihat deviasi pembuluh darah otak," kata Hasan.
Namun, Hasan telah melakukan penelitian yang hasilnya telah dipublikasikan di BAOJ Neurology Amerika Serikat bahwa terapi heparin pada stroke tidak memiliki landasan ilmiah kuat. Tidak sampai di situ, Prof Hasan dan rekan-rekannya juga mempelajari penelitian ilmiah dr Terawan yang dipublikasikan di Bali Medical Journal yang tentunya sama dengan hasil disertasi. "Dari hasil kajian itu, lagi-lagi disimpulkan bahwa hasil penelitian itu tidak memiliki landasan ilmiah," jelas Hasan.
Prof Hasan menyebutkan salah satu contoh di mana dr Terawan mengambil referensi dari penelitian Guggenmos yang dianggap keliru, karena perbaikan stroke menurut Guggenmos bisa dilakukan dengan implantasi microelectrodes di korteks. "Jadi, perbaikan stroke bukan karena heparin. Hal-hal yang tidak akurat semacam ini terjadi pada seluruh diskusi hasil penelitian. Itu sama artinya, bahwa tidak ada satu pun referensi yang men dukung hasil disertasi," kata Hasan.
Sebelumnya, Mayjen TNI dr Terawan Agus Putranto mengatakan dalam konferensi pers di RSPAD Gatot Subroto, Rabu (4/4), bahwa metode cuci otak melalui DSA yang dila kukannya telah dilakukan penelitian ilmiah bersama lima orang lainnya di Universitas Hasanuddin Makassar.
"Mengenai DSA, karena ini merupakan teknis medis menjadi tanggung jawab saya untuk saya jelaskan. DSA sudah saya disertasikan di Universitas Hasanuddin," kata Terawan. Dokter Irawan Yusuf yang merupakan promotor doktornya semasa di Unhas 2012 lalu, menilai kontroversi muncul karena selama ini teknologi biasa itu dipakai untuk diagnostik, bukan untuk terapi; dan di tangan dr Terawan itu dipakai untuk terapi.
Diketahui, dr Terawan menggunakan obat heparin, yaitu obat untuk mencegah pembekuan darah. Dokter Terawan menyuntikkannya guna menghilangkan penyumbat pembuluh darah; dengan hilangnya penyumbat darah tersebut maka aliran darah akan lancar ke otak hal itulah yang membuat kondisi pasien kembali normal.
Menurut Irawan, metode pengobatan dengan menggunakan heparin sendiri bukan lah satu-satunya tahap. Masih ada tahap pengobatan secara konvensional yaitu dengan diserahkannya kepada dokter ahli saraf untuk ditindaklanjuti. "Menjadi pertentangan ada lah seakan-akan heparin ini lah yang memperbaiki, karena heparin ini adalah untuk mencegah pembekuan darah," jelasnya di hadapan awak media saat konferensi pers di Gedung Rektorat Unhas, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jumat (6/4/2018).
Dia juga menilai Terawan terlalu banyak mengeluarkan pernyataan, dengan mengatakan bahwa metodenya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Hal itulah yang juga dipandang dr Irawan sebagai kesalahan.
JK mengaku termasuk mendapat manfaat dari terapi yang dilakukan Terawan. Bukan hanya dia, banyak menteri di kabinet saat ini juga pernah mendapatkan perawatan yang menggunakan metode Digital Subtraction Angiography (DSA) atau dikenal dengan cuci otak tersebut. "Ya tadi kami rapat kabinet, terbatas, ada 10 menteri. Saya tanya, ada berapa yang dirawat dr Terawan, dan dari 10 (menteri) itu ada enam, termasuk saya," kata Jusuf Kalla seusai menghadiri penyerahan bantuan di Kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat, Jakarta, Jumat (6/4/2018).
Selain JK, sebelumnya banyak tokoh menyayangkan keputusan pemecatan Terawan. Beberapa nama yang sudah bersuara di antaranya mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie atau Ical, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Kemarin Wakil Ketua DPR Agus Hermanto juga menyampaikan aspirasi yang sama. Politikus Partai Demokrat itu juga mengaku pernah menjadi pasien Terawan dan mendapat hasil yang cukup menggembirakan. Menurut dia, selain di dalam negeri, metode DSA yang ditemukan Terawan juga mendapat pengakuan luar negeri.
"Rasanya kita sebagai bangsa Indonesia apabila ada masyarakat yang punya prestasi gemilang, diakui bukan hanya di Indonesia, di luar negeri pun sudah banyak yang mengakui, tentunya ini harusnya diberikan penghargaan dan diberikan hal yang terbaik, bukannya hambatan," kata Agus.
Seperti diketahui, Terawan mendapatkan sanksi pemecatan sementara per 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019 dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Dia dipecat karena dianggap melakukan pelanggaran etika kedokteran lantaran praktik kedokteran yang dilakukannya.
Bukan hanya itu, MKEK PB IDI juga mencabutkan izin praktiknya. Surat pemecatan dan pencabutan izin praktik yang ditandatangani Ketua MKEK IDI Prio Sidipratomo dalam surat PB IDI yang diperuntukkan ke Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Seluruh Indonesia (PDSRI) tertanggal 23 Maret 2018.
Sementara penemu rompi dan helm antikanker, Warsito Taruna, mengakui sulitnya menembus kekakuan dunia medis di Tanah Air. Dia bahkan menyarankan para inovator untuk berkarier di luar negeri terlebih dulu jika ada kesempatan. "Namun untuk inovator di dalam negeri, tidak bisa mengandalkan inovasi di bidang medis saja. Harus berinovasi di bidang lain agar bertahan," ujar dia.
Warsito sebelumnya pernah tersandung persoalan hampir sama. Penemu alat pembasmi sel kanker ECCT (Electro-Capacitive Cancer Therapy) yang sudah dipatenkan sejak 2012 dan membuat kliniknya dibanjiri pasien, harus hengkang keluar negeri karena kliniknya dicap ilegal oleh Kementerian Kesehatan.
Alasannya, temuannya belum memenuhi prosedur penelitian sebagaimana Nota Kesepakatan Bersama yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan/safety atau kemanfaatan/efficacy apabila di terapkan bagi manusia. Tak hanya itu, Kementerian Kesehatan menyatakan klinik riset kanker yang dikelola Warsito tidak masuk dalam jenis klinik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis klinik, yaitu klinik pratama dan klinik utama. Menurut dia, polemik dunia medis dengan inovator tidak akan terjadi jika pemerintah menerapkan Permenkes 1109/ Menkes/PER/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif di Pusat Layanan Kesehatan.
Dalam aturan itu disebutkan pengobatan komplementer-alternatif meliputi intervensi dan pikiran, sistem pelayanan pengobatan alternatif, cara penyembuhan manual, pengobatan farmakologi dan biologi, dite dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan, dan cara lain dalam diagnosis dan pengobatan. "Permenkes itu sudah sangat detail. Jadi, aturannya sudah ada. Seharusnya yang dilakukan Dokter Terawan tidak salah berdasarkan aturan itu," tandasnya.
Pro-Kontra Ilmiah
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (Perdossi) Prof dr Moh Hasan Machfoed SpS (K) mengatakan, landasan ilmiah tentang metode cuci otak yang dilakukan dr Terawan Agus Putranto masih lemah. Kesimpulan itu diambil setelah mengkaji prosedur metode cuci otak yang diterapkan oleh dr Terawan yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah berdasarkan hasil disertasinya di Universitas Hasanuddin Makassar.
"Saya sebagai ketua umum PP Perdossi telah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa brain wash tidak memiliki landasan ilmiah kuat," kata Prof Hasan dalam pernyataannya di laman Bali Medical Journal.
Hasan menyatakan Dokter Terawan selama ini menggunakan metode cuci otak melalui DSA dengan menggunakan heparin sebagai obat yang disuntikkan intra-arterial keperedaran darah di otak guna mengobati stroke iskemik kronis. "Secara klinis, DSA dengan heparin hanya berfungsi sebagai sarana diagnosis untuk melihat deviasi pembuluh darah otak," kata Hasan.
Namun, Hasan telah melakukan penelitian yang hasilnya telah dipublikasikan di BAOJ Neurology Amerika Serikat bahwa terapi heparin pada stroke tidak memiliki landasan ilmiah kuat. Tidak sampai di situ, Prof Hasan dan rekan-rekannya juga mempelajari penelitian ilmiah dr Terawan yang dipublikasikan di Bali Medical Journal yang tentunya sama dengan hasil disertasi. "Dari hasil kajian itu, lagi-lagi disimpulkan bahwa hasil penelitian itu tidak memiliki landasan ilmiah," jelas Hasan.
Prof Hasan menyebutkan salah satu contoh di mana dr Terawan mengambil referensi dari penelitian Guggenmos yang dianggap keliru, karena perbaikan stroke menurut Guggenmos bisa dilakukan dengan implantasi microelectrodes di korteks. "Jadi, perbaikan stroke bukan karena heparin. Hal-hal yang tidak akurat semacam ini terjadi pada seluruh diskusi hasil penelitian. Itu sama artinya, bahwa tidak ada satu pun referensi yang men dukung hasil disertasi," kata Hasan.
Sebelumnya, Mayjen TNI dr Terawan Agus Putranto mengatakan dalam konferensi pers di RSPAD Gatot Subroto, Rabu (4/4), bahwa metode cuci otak melalui DSA yang dila kukannya telah dilakukan penelitian ilmiah bersama lima orang lainnya di Universitas Hasanuddin Makassar.
"Mengenai DSA, karena ini merupakan teknis medis menjadi tanggung jawab saya untuk saya jelaskan. DSA sudah saya disertasikan di Universitas Hasanuddin," kata Terawan. Dokter Irawan Yusuf yang merupakan promotor doktornya semasa di Unhas 2012 lalu, menilai kontroversi muncul karena selama ini teknologi biasa itu dipakai untuk diagnostik, bukan untuk terapi; dan di tangan dr Terawan itu dipakai untuk terapi.
Diketahui, dr Terawan menggunakan obat heparin, yaitu obat untuk mencegah pembekuan darah. Dokter Terawan menyuntikkannya guna menghilangkan penyumbat pembuluh darah; dengan hilangnya penyumbat darah tersebut maka aliran darah akan lancar ke otak hal itulah yang membuat kondisi pasien kembali normal.
Menurut Irawan, metode pengobatan dengan menggunakan heparin sendiri bukan lah satu-satunya tahap. Masih ada tahap pengobatan secara konvensional yaitu dengan diserahkannya kepada dokter ahli saraf untuk ditindaklanjuti. "Menjadi pertentangan ada lah seakan-akan heparin ini lah yang memperbaiki, karena heparin ini adalah untuk mencegah pembekuan darah," jelasnya di hadapan awak media saat konferensi pers di Gedung Rektorat Unhas, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jumat (6/4/2018).
Dia juga menilai Terawan terlalu banyak mengeluarkan pernyataan, dengan mengatakan bahwa metodenya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Hal itulah yang juga dipandang dr Irawan sebagai kesalahan.
(amm)