Pilpres 2019, Gerindra Harus Pastikan PAN dan PKS Tak Berpaling
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sedang bekeliling menebar pidato-pidato serangan terhadap pemerintah dan elite. Berbagai topik dibicarakan, mulai dari hutang hingga biaya Asian Games.
Meski sedang sibuk melakukan safari politik dengan tema 'Prabowo Menyapa Rakyat', namun Gerindra tampaknya belum juga menunjukkan tanda-tanda akan mendeklarasikan secara resmi mengusung Prabowo Subianto.
Director Institute for Transformation Studies (Intrans), Endang Tirtana mengatakan, belum dideklarasikannya Prabowo sebagai calon presiden (Capres) 2019 hingga kini, Gerindra harus terus menjalin komunikasi dengan partai koalisi seperti PAN dan PKS.
"Gerindra harus benar-benar memastikan PAN dan PKS tidak berpaling, dan itu bukan dengan menimbang elektabilitas Prabowo melawan Jokowi, apalagi menunggu untuk memilih apakah mengusung Prabowo, Gatot atau Anies," kata Endang dalam siaran pers, Kamis (5/4/2018).
Pasalnya kata Endang, di kubu Joko Widodo (Jokowi), partai pendukung satu per satu sudah mengumumkan secara resmi dukungannya, terutama pasca Megawati Soekarnoputri mengumumkan dukungan PDIP pencalonan Jokowi sebagai Capres 2019.
"Ketidakpastian pencalonan Prabowo oleh Gerindra membuka ruang manuver politik di tubuh koalisi oposisi. Munculnya nama Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono, Muhaimin Iskandar, membuat konfigurasi politik semakin dinamis," ucapnya.
Dijelaskan Endang, karena menurut Undang-Undang (UU) Pemilu mensyaratkan jumlah 20% suara partai politik (parpol) untuk mengusung capres dan cawapres. Dengan hanya berbekal suara 11,81%, Gerindra harusnya agak khawatir dengan munculnya nama-nama baru tersebut.
"Gerindra butuh paling sedikit 9% untuk bisa mencalonkan Capres dan Cawapres. Dengan hanya didukung oleh PKS yang hanya 7,59% atau hanya didukung oleh PAN dengan suara 7,59%, posisi Gerindra tidak sekuat Jokowi dengan PDIP yang mengantongi suara 18,95%," ungkapnya.
"Gerindra bisa ditinggalkan setiap saat oleh partai-partai disekitarnya. Dengan kebutuhan 9% suara, posisi Gerindra sama dengan posisi PKS, PAN, PKB dan Demokrat," tambahnya.
Sementara sambung Endang, PKS tampaknya sudah pasang kuda-kuda dengan berbagai skenario. Sedangkan PKB sedang berputar-putar dengan mencalonkan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres, begitu juga Demokrat masih menunggu sinyal kuat dari PDIP mengenai tempat terbaik untuk AHY.
"Sementara di antara koalisi pendukung pemerintah, hanya PKB yang tampaknya punya peluang berpaling ke poros lain. Di tubuh koalisi oposisi PKS sudah meluncurkan 9 nama yang akan diusung sebagai capres dan cawapres," ungkapnya.
"Demokrat juga menikmati popularitas AHY dan modal suara 10,9% menggandeng PKB sudah mencukupi syarat Presidential Threshold 20% untuk mengusung sendiri capres dan cawapres," tandasnya.
Meski sedang sibuk melakukan safari politik dengan tema 'Prabowo Menyapa Rakyat', namun Gerindra tampaknya belum juga menunjukkan tanda-tanda akan mendeklarasikan secara resmi mengusung Prabowo Subianto.
Director Institute for Transformation Studies (Intrans), Endang Tirtana mengatakan, belum dideklarasikannya Prabowo sebagai calon presiden (Capres) 2019 hingga kini, Gerindra harus terus menjalin komunikasi dengan partai koalisi seperti PAN dan PKS.
"Gerindra harus benar-benar memastikan PAN dan PKS tidak berpaling, dan itu bukan dengan menimbang elektabilitas Prabowo melawan Jokowi, apalagi menunggu untuk memilih apakah mengusung Prabowo, Gatot atau Anies," kata Endang dalam siaran pers, Kamis (5/4/2018).
Pasalnya kata Endang, di kubu Joko Widodo (Jokowi), partai pendukung satu per satu sudah mengumumkan secara resmi dukungannya, terutama pasca Megawati Soekarnoputri mengumumkan dukungan PDIP pencalonan Jokowi sebagai Capres 2019.
"Ketidakpastian pencalonan Prabowo oleh Gerindra membuka ruang manuver politik di tubuh koalisi oposisi. Munculnya nama Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono, Muhaimin Iskandar, membuat konfigurasi politik semakin dinamis," ucapnya.
Dijelaskan Endang, karena menurut Undang-Undang (UU) Pemilu mensyaratkan jumlah 20% suara partai politik (parpol) untuk mengusung capres dan cawapres. Dengan hanya berbekal suara 11,81%, Gerindra harusnya agak khawatir dengan munculnya nama-nama baru tersebut.
"Gerindra butuh paling sedikit 9% untuk bisa mencalonkan Capres dan Cawapres. Dengan hanya didukung oleh PKS yang hanya 7,59% atau hanya didukung oleh PAN dengan suara 7,59%, posisi Gerindra tidak sekuat Jokowi dengan PDIP yang mengantongi suara 18,95%," ungkapnya.
"Gerindra bisa ditinggalkan setiap saat oleh partai-partai disekitarnya. Dengan kebutuhan 9% suara, posisi Gerindra sama dengan posisi PKS, PAN, PKB dan Demokrat," tambahnya.
Sementara sambung Endang, PKS tampaknya sudah pasang kuda-kuda dengan berbagai skenario. Sedangkan PKB sedang berputar-putar dengan mencalonkan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres, begitu juga Demokrat masih menunggu sinyal kuat dari PDIP mengenai tempat terbaik untuk AHY.
"Sementara di antara koalisi pendukung pemerintah, hanya PKB yang tampaknya punya peluang berpaling ke poros lain. Di tubuh koalisi oposisi PKS sudah meluncurkan 9 nama yang akan diusung sebagai capres dan cawapres," ungkapnya.
"Demokrat juga menikmati popularitas AHY dan modal suara 10,9% menggandeng PKB sudah mencukupi syarat Presidential Threshold 20% untuk mengusung sendiri capres dan cawapres," tandasnya.
(maf)