Penyair: Puisi Sukmawati Sentimentil dan Cacat Intelektual
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Kesenian Banten, Chavchay Syaifullah angkat bicara soal puisi Sukmawati Soekarnoputri yang membandingkan konde dengan cadar dan kidung dengan azan.
Chavchay yang seorang penyair ini menjelaskan, puisi sejatinya merupakan ekspresi berbahasa yang paripurna. Sebab dia mengeksplorasi makna bahasa dan rasa bahasa.
Makna pun tidak hanya denotatif, namun puisi memberi ruang bagi makna-makna konotatif. Maka imajinasi bertemu dengan metafora untuk menyingkap realitas yang dihadapi dan dialami penyair.
Namun demikian, kata Chavchay, hasil puisi dari penyair satu dengan lainnya bisa berbeda meskipun menulis dengan objek yang sama. "Yang membedakan hasilnya antara lain tingkat kedalaman pengetahuan dan pengalaman," kata Chavchay kepada SINDOnews, Rabu (4/4/2018).
Chavchay menilai puisi yang ditulis Sukmawati terlihat masih belum punya greget secara bahasa. Imajinasinya masih rendah. Garapan metaforanya belum mendalam.
Perbandingan materi atau isu dalam puisinya bahkan cenderung sesat. Sehingga ada distorsi peran puisi yang secara umum diketahui warga sastra, bahkan terlihat puisi Sukmawati berpotensi propaganda sosial keagamaan.
Sebagai contoh, papar Chvacay, membandingkan cadar dan konde serta kidung dan azan adalah cacat intelektual yang cukup serius.
"Sukmawati terlihat kurang mendalam dan luas dalam melihat tema puisinya, jadi terlihat masih sentimentil," ucap Chavchay.
Chavchay berdoa semoga Sukmawati tetap semangat menulis puisi dan harus rajin bertanya soal puisi dan banyak membaca khazanah kebudayaan dan keagamaan, terutama syariat Islam.
Chavchay yang seorang penyair ini menjelaskan, puisi sejatinya merupakan ekspresi berbahasa yang paripurna. Sebab dia mengeksplorasi makna bahasa dan rasa bahasa.
Makna pun tidak hanya denotatif, namun puisi memberi ruang bagi makna-makna konotatif. Maka imajinasi bertemu dengan metafora untuk menyingkap realitas yang dihadapi dan dialami penyair.
Namun demikian, kata Chavchay, hasil puisi dari penyair satu dengan lainnya bisa berbeda meskipun menulis dengan objek yang sama. "Yang membedakan hasilnya antara lain tingkat kedalaman pengetahuan dan pengalaman," kata Chavchay kepada SINDOnews, Rabu (4/4/2018).
Chavchay menilai puisi yang ditulis Sukmawati terlihat masih belum punya greget secara bahasa. Imajinasinya masih rendah. Garapan metaforanya belum mendalam.
Perbandingan materi atau isu dalam puisinya bahkan cenderung sesat. Sehingga ada distorsi peran puisi yang secara umum diketahui warga sastra, bahkan terlihat puisi Sukmawati berpotensi propaganda sosial keagamaan.
Sebagai contoh, papar Chvacay, membandingkan cadar dan konde serta kidung dan azan adalah cacat intelektual yang cukup serius.
"Sukmawati terlihat kurang mendalam dan luas dalam melihat tema puisinya, jadi terlihat masih sentimentil," ucap Chavchay.
Chavchay berdoa semoga Sukmawati tetap semangat menulis puisi dan harus rajin bertanya soal puisi dan banyak membaca khazanah kebudayaan dan keagamaan, terutama syariat Islam.
(dam)