Mewaspadai Budaya Plutokrasi
A
A
A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur
ORANG miskin tidak hanya mengalami diskriminasi layanan di dunia pendidikan dan kesehatan. Di bidang politik juga terjadi hambatan bagi orang miskin untuk berkiprah. Hal itu karena untuk berpolitik seseorang harus menyediakan biaya super besar. Biaya politik yang tinggi (hight cost), terutama terjadi sejak era pemilihan umum (pemilu) secara langsung, baik untuk anggota legislatif, kepala daerah, maupun presiden. Persoalan biaya yang besar jelas menjadi halangan bagi orang miskin untuk mengikuti proses politik di legislatif dan eksekutif.
Karena itu, tidak berlebihan jika ada pesan bernada kritik sosial bahwa orang miskin dilarang sekolah dan dilarang sakit. Bahkan seiring dengan besarnya biaya yang dibutuhkan, orang miskin juga dilarang berpolitik.
Pesan itu jelas tergambar dalam proses pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018. Banyak calon dalam pilkada mengeluhkan besarnya biaya politik yang harus ditanggung. Biaya politik terutama untuk membayar kebutuhan mahar politik, logistik, tim sukses, bantuan, dan kampanye selama pencalonan.
Pada konteks itu dapat dipahami jika pasangan calon yang maju dalam pilkada umumnya merupakan figur-figur populer dan “bergizi”. Mereka berasal dari politikus mapan, pengusaha, artis, hartawan, dan tokoh masyarakat. Sepanjang era reformasi peranan calon legislatif dan eksekutif yang populer lagi bergizi juga sangat dominan. Dampaknya, kader partai yang telah berpeluh keringat harus tersisih karena kalah bersaing dengan pendatang baru yang lebih populer dan bergizi.
Kecenderungan partai untuk merekrut calon legislatif (caleg) nonkader yang populer dan bergizi jelas menyisakan pertanyaan. Apalagi fenomena itu bukan hanya terjadi dalam penentuan caleg. Pengusungan figur nonkader dalam pilkada juga sering terjadi. Dalam kondisi ini publik menyoal sistem pengaderan partai.
Sebab partai sejatinya memiliki tanggung jawab melakukan kaderisasi. Harapannya, pada saat pemilu legislatif, pilkada, dan pemilihan presiden, partai tidak kekurangan kader untuk dicalonkan.
Partai juga memiliki tanggung jawab melakukan pendidikan politik kepada masyarakat agar menjadi pemilih yang cerdas. Untuk menjalankan tugas mulia itu, setiap partai digelontorkan anggaran besar dari pemerintah.
Namun secara jujur harus diakui, mayoritas partai hanya bekerja lima tahun sekali, yakni menjelang pelaksanaan pemilu. Dampaknya, partai mengalami kebingungan tatkala penentuan calon dalam pemilihan legislatif dan pilkada. Termasuk juga pemenuhan kuota 30% untuk caleg perempuan. Hal itu menunjukkan program kaderisasi di partai memang tidak berjalan.
Semangat partai mengusung figur nonkader dalam pencalonan legislatif dan pilkada dengan pertimbangan popularitas dan “gizi” pada saatnya bisa mengancam sistem demokrasi. Karena lembaga-lembaga publik di negeri ini, terutama legislatif dan eksekutif, pasti akan dikuasai oleh kelompok elite, populer, dan hartawan.
Persoalan menjadi semakin kompleks jika mereka tidak memiliki kompetensi dan jejak rekam yang baik. Kekhawatiran terhadap kondisi itu pernah dikemukakan Kevin Phillips dalam Wealth and Democracy; A Political History of the American Rich (2002).
Dalam karyanya, Kevin menegaskan, kini ada kecenderungan rezim politik dan kekuasaan digerakkan oleh kelompok orang kaya. Rezim politik dan kekuasaan pun dibangun dengan menggunakan logika the rule of the rich. Keberlangsungan suatu rezim didasarkan pada keinginan orang-orang kaya.
Logika the rule of the rich meniscayakan bahwa orang yang tidak memiliki uang tidak boleh bermimpi menjadi pejabat publik. Hal itu karena untuk menjadi pejabat publik seseorang harus menyiapkan dana besar.
Praktik politik yang mengandalkan kekuatan uang itulah dikatakan Kevin sebagai budaya plutokrasi.
Dalam bahasa Yunani, kata plutokrasi terdiri atas ploutos (kekayaan) dan kratos (kekuasaan). Dengan demikian dapat dipahami bahwa plutokrasi merujuk pada sistem pemerintahan yang digerakkan kelompok elite lagi berharta.
Kelompok ini membentuk budaya serba uang dalam menyelesaikan semua urusan, termasuk politik, kekuasaan, dan hukum. Jika mengamati dinamika politik, rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wajah politik kita telah diwarnai budaya plutokrasi. Wajah politik masa depan tampaknya juga masih akan dipimpin rezim berbudaya plutokrasi.
Semestinya tidak ada yang salah dengan keterlibatan kaum elite-kaya dalam politik. Hal itu karena semua anak bangsa memiliki hak sama untuk berpolitik sehingga bisa dicalonkan sebagai presiden, wakil presiden, kepala daerah, wakil kepala daerah, dan anggota legislatif.
Hal yang menjadi masalah adalah tatkala uang menjadi panglima dalam proses-proses politik dan penentuan kebijakan. Persyaratan kemampuan minimal dana yang harus dimiliki caleg saat mendaftar ke partai peserta pemilu menjadi bukti betapa uang masih menjadi penentu. Begitu juga dengan kewajiban membayar “mahar” pada partai pengusung bagi calon yang maju dalam pilkada.
Budaya politik plutokrasi semakin melapangkan jalan bagi pemilik modal untuk menjadi pejabat publik. Budaya politik serba uang mengakibatkan setiap calon yang sukses meraih kekuasaan mengalami disorientasi.
Hampir dapat dipastikan bahwa yang pertama dipikirkan tatkala kekuasaan di tangan adalah mengembalikan modal. Persoalan pemenuhan janji saat berkampanye untuk sementara waktu harus diabaikan selama modal belum kembali.
Bermula dari pemikiran inilah budaya korup kian marak terjadi di lembaga-lembaga publik. Karena itu, jangan heran jika setiap saat diberitakan ada pejabat publik terjaring operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika budaya politik di negeri tercinta semakin kolutif dan koruptif, maka masih layakkah kita mempercayakan persoalan hajat hidup rakyat pada figur-figur yang hanya mengandalkan popularitas dan uang?
Rasanya sudah waktunya kita berubah menjadi pemilih yang cerdas. Karena itu, jangan mudah terpesona oleh popularitas. Jangan pula memilih karena uang. Pada saatnya kita harus berkomitmen untuk memilih calon anggota legislatif dan kepala daerah yang berintegritas. Mari bersama mewaspadai munculnya rezim berbudaya plutokrasi.
Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur
ORANG miskin tidak hanya mengalami diskriminasi layanan di dunia pendidikan dan kesehatan. Di bidang politik juga terjadi hambatan bagi orang miskin untuk berkiprah. Hal itu karena untuk berpolitik seseorang harus menyediakan biaya super besar. Biaya politik yang tinggi (hight cost), terutama terjadi sejak era pemilihan umum (pemilu) secara langsung, baik untuk anggota legislatif, kepala daerah, maupun presiden. Persoalan biaya yang besar jelas menjadi halangan bagi orang miskin untuk mengikuti proses politik di legislatif dan eksekutif.
Karena itu, tidak berlebihan jika ada pesan bernada kritik sosial bahwa orang miskin dilarang sekolah dan dilarang sakit. Bahkan seiring dengan besarnya biaya yang dibutuhkan, orang miskin juga dilarang berpolitik.
Pesan itu jelas tergambar dalam proses pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018. Banyak calon dalam pilkada mengeluhkan besarnya biaya politik yang harus ditanggung. Biaya politik terutama untuk membayar kebutuhan mahar politik, logistik, tim sukses, bantuan, dan kampanye selama pencalonan.
Pada konteks itu dapat dipahami jika pasangan calon yang maju dalam pilkada umumnya merupakan figur-figur populer dan “bergizi”. Mereka berasal dari politikus mapan, pengusaha, artis, hartawan, dan tokoh masyarakat. Sepanjang era reformasi peranan calon legislatif dan eksekutif yang populer lagi bergizi juga sangat dominan. Dampaknya, kader partai yang telah berpeluh keringat harus tersisih karena kalah bersaing dengan pendatang baru yang lebih populer dan bergizi.
Kecenderungan partai untuk merekrut calon legislatif (caleg) nonkader yang populer dan bergizi jelas menyisakan pertanyaan. Apalagi fenomena itu bukan hanya terjadi dalam penentuan caleg. Pengusungan figur nonkader dalam pilkada juga sering terjadi. Dalam kondisi ini publik menyoal sistem pengaderan partai.
Sebab partai sejatinya memiliki tanggung jawab melakukan kaderisasi. Harapannya, pada saat pemilu legislatif, pilkada, dan pemilihan presiden, partai tidak kekurangan kader untuk dicalonkan.
Partai juga memiliki tanggung jawab melakukan pendidikan politik kepada masyarakat agar menjadi pemilih yang cerdas. Untuk menjalankan tugas mulia itu, setiap partai digelontorkan anggaran besar dari pemerintah.
Namun secara jujur harus diakui, mayoritas partai hanya bekerja lima tahun sekali, yakni menjelang pelaksanaan pemilu. Dampaknya, partai mengalami kebingungan tatkala penentuan calon dalam pemilihan legislatif dan pilkada. Termasuk juga pemenuhan kuota 30% untuk caleg perempuan. Hal itu menunjukkan program kaderisasi di partai memang tidak berjalan.
Semangat partai mengusung figur nonkader dalam pencalonan legislatif dan pilkada dengan pertimbangan popularitas dan “gizi” pada saatnya bisa mengancam sistem demokrasi. Karena lembaga-lembaga publik di negeri ini, terutama legislatif dan eksekutif, pasti akan dikuasai oleh kelompok elite, populer, dan hartawan.
Persoalan menjadi semakin kompleks jika mereka tidak memiliki kompetensi dan jejak rekam yang baik. Kekhawatiran terhadap kondisi itu pernah dikemukakan Kevin Phillips dalam Wealth and Democracy; A Political History of the American Rich (2002).
Dalam karyanya, Kevin menegaskan, kini ada kecenderungan rezim politik dan kekuasaan digerakkan oleh kelompok orang kaya. Rezim politik dan kekuasaan pun dibangun dengan menggunakan logika the rule of the rich. Keberlangsungan suatu rezim didasarkan pada keinginan orang-orang kaya.
Logika the rule of the rich meniscayakan bahwa orang yang tidak memiliki uang tidak boleh bermimpi menjadi pejabat publik. Hal itu karena untuk menjadi pejabat publik seseorang harus menyiapkan dana besar.
Praktik politik yang mengandalkan kekuatan uang itulah dikatakan Kevin sebagai budaya plutokrasi.
Dalam bahasa Yunani, kata plutokrasi terdiri atas ploutos (kekayaan) dan kratos (kekuasaan). Dengan demikian dapat dipahami bahwa plutokrasi merujuk pada sistem pemerintahan yang digerakkan kelompok elite lagi berharta.
Kelompok ini membentuk budaya serba uang dalam menyelesaikan semua urusan, termasuk politik, kekuasaan, dan hukum. Jika mengamati dinamika politik, rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wajah politik kita telah diwarnai budaya plutokrasi. Wajah politik masa depan tampaknya juga masih akan dipimpin rezim berbudaya plutokrasi.
Semestinya tidak ada yang salah dengan keterlibatan kaum elite-kaya dalam politik. Hal itu karena semua anak bangsa memiliki hak sama untuk berpolitik sehingga bisa dicalonkan sebagai presiden, wakil presiden, kepala daerah, wakil kepala daerah, dan anggota legislatif.
Hal yang menjadi masalah adalah tatkala uang menjadi panglima dalam proses-proses politik dan penentuan kebijakan. Persyaratan kemampuan minimal dana yang harus dimiliki caleg saat mendaftar ke partai peserta pemilu menjadi bukti betapa uang masih menjadi penentu. Begitu juga dengan kewajiban membayar “mahar” pada partai pengusung bagi calon yang maju dalam pilkada.
Budaya politik plutokrasi semakin melapangkan jalan bagi pemilik modal untuk menjadi pejabat publik. Budaya politik serba uang mengakibatkan setiap calon yang sukses meraih kekuasaan mengalami disorientasi.
Hampir dapat dipastikan bahwa yang pertama dipikirkan tatkala kekuasaan di tangan adalah mengembalikan modal. Persoalan pemenuhan janji saat berkampanye untuk sementara waktu harus diabaikan selama modal belum kembali.
Bermula dari pemikiran inilah budaya korup kian marak terjadi di lembaga-lembaga publik. Karena itu, jangan heran jika setiap saat diberitakan ada pejabat publik terjaring operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika budaya politik di negeri tercinta semakin kolutif dan koruptif, maka masih layakkah kita mempercayakan persoalan hajat hidup rakyat pada figur-figur yang hanya mengandalkan popularitas dan uang?
Rasanya sudah waktunya kita berubah menjadi pemilih yang cerdas. Karena itu, jangan mudah terpesona oleh popularitas. Jangan pula memilih karena uang. Pada saatnya kita harus berkomitmen untuk memilih calon anggota legislatif dan kepala daerah yang berintegritas. Mari bersama mewaspadai munculnya rezim berbudaya plutokrasi.
(sms)