Bersama Rakyat Awasi Pemilu
A
A
A
Arafat
Direktur Sulawesi Tenggara Monitoring Demokrasi
TANGGAL pencoblosan Pilkada Serentak 2018 telah ditetapkan, yakni 27 Juni 2018. Pilkada ini akan diikuti 171 daerah yang terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Pilkada ini lebih besar dari sisi jumlah peserta dan jumlah pemilih yang akan terlibat bila dibandingkan dengan dua pilkada serentak sebelumnya yang digelar pada 2015 dan 2017.
Selain Komisi Pemilihan Umum (KPU), kesuksesan penyelanggaraan pilkada ini juga berkaitan dengan jalannya pengawasan yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Secara kelembagaan Bawaslu di pilkada kali ini memiliki sejumlah tantangan dalam menjalankan tugas berdasar amanat Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu.
Tantangan Bawaslu itu berkaitan dengan penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Tantangan yang dimaksud, pertama, Bawaslu beserta jajarannya harus mengawasi proses pilkada baik pemilihan gubernur, bupati maupun wali kota. Kedua, Bawaslu beserta jajarannya juga mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu 2019.
Ketiga, Bawaslu harus melaksanakan tahapan pengawasan Pilkada 2018 yang beririsan waktunya dengan tahapan pengawasan Pemilu 2019. Keempat, Bawaslu provinsi secara kelembagaan mengalami transisi karena terjadi pergantian/rekrutmen karena anggota yang sekarang masa jabatannya berakhir pada 2018.
Bawaslu provinsi dan panwaslu kabupaten/kota kini menjadi permanen. Bawaslu provinsi memiliki 5-7 personel, sedangkan Panwaslu kabupaten/kota 3-5 orang. Kelima, kesiapan sumber daya manusia pimpinan Bawaslu provinsi beserta sekretariat dalam menghadapi transisi peralihan tersebut.
Dari lima alasan itu, sangat penting untuk mengantisipasi secara efisien dan efektif dinamika eksternal kelembagaan. Efisien menurut Harington Emerson mengandung makna perbandingan terbaik antara input (masukan) dan output (hasil capaian) dengan menggunakan sumber daya yang ada. Sementara efektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang efeknya memengaruhi hasil atau berguna.
Dalam konteks Bawaslu, dikatakan efisien dan efektif ketika ada kontribusi yang nyata dan positif terhadap kelembagaan Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota dalam menghadapi dinamika eksternal yang begitu cepat berjalan terkait dengan pelaksanaan tahapan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Jika pembentukan Bawaslu provinsi dan Bawaslu kabupaten/kota tuntas diselesaikan oleh Bawaslu, secara kelembagaan pengawas pemilu di daerah ini akan diperhadapkan pada sejumlah hal. Pertama, kesiapan sumber daya manusia pimpinan Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota beserta jajaran sekretariat dalam hal mengelola kelembagaan secara kolektif kolegial dengan menjalankan fungsi-fungsi manajemen yang diperkenalkan GR Terry, yakni POAC: planning/perencanaan, organizing/organisasi, actuating/menggerakan, dan controling/kontrol.
Fungsi ini harus berjalan agar Bawaslu mampu menghadapi dinamika eksternal yang begitu cepat berjalan. Bagi Bawaslu, tahapan pilkada dan pemilu harus dijadikan sebagai dasar perencanaan. Tahapan pilkada dan pemilu merupakan bagian dari pengawasan oleh lembaga.
Sebagai contoh, pada tahapan pemutakhiran data pemilih, persiapan internal harus dilaksanakan dengan melakukan bimbingan teknis untuk memahami berbagai aturan teknis penyelenggaraan, baik yang tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) maupun aturan pengawasan pada Peraturan Bawaslu. Pedoman teknis ini harus dipahami oleh Bawaslu mulai tingkat provinsi hingga pengawas tingkat kelurahan/desa.
Kedua, menggelorakan secara kreatif slogan “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”. Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota wajib menerjemahkan secara cerdas dan kreatif model bentuk kegiatan pengawasan yang melibatkan masyarakat di luar yang sudah dilakukan Bawaslu RI.
Di Bawaslu pusat ada bentuk kegiatan berupa “Sahabat Bawaslu”, “Forum Thamrin 14”, dan kerja sama dengan pramuka secara khusus untuk menggalang dukungan partisipasi masyarakat (stakeholder). Tujuan membangun jaringan pengawasan partisipatif ini adalah agar fungsi pengawasan yang dilakukan Bawaslu mendapat dukungan penuh dari masyarakat.
Pelibatan masyarakat penting karena dengan personel yang terbatas, sangat mustahil Bawaslu dapat menyelesaikan semua masalah pilkada/pemilu. Semua jenjang mulai Bawaslu provinsi, kabupaten/kota, pengawas kecamatan hingga pengawas kelurahan/desa harus memiliki tempat kumpul/diskusi.
Tempat itu bisa dalam bentuk media center pojok pengawasan, sehingga tidak ada jarak antara Bawaslu secara kelembagaan dengan rakyat dalam melakukan pengawasan. Implikasi kedekatan tersebut akan meningkatkan kepercayaan dan akuntabilitas pengawasan yang dilakukan serta mendorong tegaknya keadilan pada pelaksanaan pilkada dan pemilu.
Ketiga, pengelolaan digitalisasi kelembagaan penting agar akses informasi apa saja yang dibutuhkan publik bisa ter-updated seiring kerja-kerja pengawasan berbasis tahapan yang berlangsung di seluruh jenjang, mulai provinsi sampai tingkat kelurahan/desa.
Penutup
Kesiapan Bawaslu dalam mewujudkan poin-poin yang disebutkan di atas sangat penting agar pengawasan berjalan baik dan keadilan dalam pelaksanaan pilkada/pemilu bisa tercipta. Penulis secara khusus memberi perhatian kepada Bawaslu tiga provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Aceh, dan Sulawesi Tenggara. Pada tiga provinsi ini terjadi transisi keanggotaan dan dilakukan rekrutmen pimpinan baru hanya 2–3 bulan menjelang hari H pencoblosan pilkada pada 27 Juni 2018.
Tiga hal yang penting untuk menjadi perhatian. Pertama, menjadi kewajiban pimpinan Bawaslu dan pihak sekretariat untuk bisa berjalan seiring dalam melakukan penataan organisasi. Pimpinan Bawaslu harus menjalankan fungsi-fungsi manajemen dengan model kepemimpinan kolektif kolegial. Jika sinergi pimpinan Bawaslu dengan jajaran kesekretariatan baik, hal itu akan berimplikasi positif pada kinerja jajaran tingkat bawah, yakni pada Bawaslu kabupaten/kota.
Kedua, peraturan teknis dalam bentuk PKPU dan Peraturan Bawaslu harus menjadi pegangan wajib setiap personel dalam melakukan pengawasan. Ketiga, perlu memperkuat manajerial hierarki pengawasan sampai tingkat kelurahan/desa dengan tujuan agar partisipasi pengawasan masyarakat bisa bergerak sesuai dengan tingkatannya.
Direktur Sulawesi Tenggara Monitoring Demokrasi
TANGGAL pencoblosan Pilkada Serentak 2018 telah ditetapkan, yakni 27 Juni 2018. Pilkada ini akan diikuti 171 daerah yang terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Pilkada ini lebih besar dari sisi jumlah peserta dan jumlah pemilih yang akan terlibat bila dibandingkan dengan dua pilkada serentak sebelumnya yang digelar pada 2015 dan 2017.
Selain Komisi Pemilihan Umum (KPU), kesuksesan penyelanggaraan pilkada ini juga berkaitan dengan jalannya pengawasan yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Secara kelembagaan Bawaslu di pilkada kali ini memiliki sejumlah tantangan dalam menjalankan tugas berdasar amanat Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu.
Tantangan Bawaslu itu berkaitan dengan penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Tantangan yang dimaksud, pertama, Bawaslu beserta jajarannya harus mengawasi proses pilkada baik pemilihan gubernur, bupati maupun wali kota. Kedua, Bawaslu beserta jajarannya juga mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu 2019.
Ketiga, Bawaslu harus melaksanakan tahapan pengawasan Pilkada 2018 yang beririsan waktunya dengan tahapan pengawasan Pemilu 2019. Keempat, Bawaslu provinsi secara kelembagaan mengalami transisi karena terjadi pergantian/rekrutmen karena anggota yang sekarang masa jabatannya berakhir pada 2018.
Bawaslu provinsi dan panwaslu kabupaten/kota kini menjadi permanen. Bawaslu provinsi memiliki 5-7 personel, sedangkan Panwaslu kabupaten/kota 3-5 orang. Kelima, kesiapan sumber daya manusia pimpinan Bawaslu provinsi beserta sekretariat dalam menghadapi transisi peralihan tersebut.
Dari lima alasan itu, sangat penting untuk mengantisipasi secara efisien dan efektif dinamika eksternal kelembagaan. Efisien menurut Harington Emerson mengandung makna perbandingan terbaik antara input (masukan) dan output (hasil capaian) dengan menggunakan sumber daya yang ada. Sementara efektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang efeknya memengaruhi hasil atau berguna.
Dalam konteks Bawaslu, dikatakan efisien dan efektif ketika ada kontribusi yang nyata dan positif terhadap kelembagaan Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota dalam menghadapi dinamika eksternal yang begitu cepat berjalan terkait dengan pelaksanaan tahapan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Jika pembentukan Bawaslu provinsi dan Bawaslu kabupaten/kota tuntas diselesaikan oleh Bawaslu, secara kelembagaan pengawas pemilu di daerah ini akan diperhadapkan pada sejumlah hal. Pertama, kesiapan sumber daya manusia pimpinan Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota beserta jajaran sekretariat dalam hal mengelola kelembagaan secara kolektif kolegial dengan menjalankan fungsi-fungsi manajemen yang diperkenalkan GR Terry, yakni POAC: planning/perencanaan, organizing/organisasi, actuating/menggerakan, dan controling/kontrol.
Fungsi ini harus berjalan agar Bawaslu mampu menghadapi dinamika eksternal yang begitu cepat berjalan. Bagi Bawaslu, tahapan pilkada dan pemilu harus dijadikan sebagai dasar perencanaan. Tahapan pilkada dan pemilu merupakan bagian dari pengawasan oleh lembaga.
Sebagai contoh, pada tahapan pemutakhiran data pemilih, persiapan internal harus dilaksanakan dengan melakukan bimbingan teknis untuk memahami berbagai aturan teknis penyelenggaraan, baik yang tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) maupun aturan pengawasan pada Peraturan Bawaslu. Pedoman teknis ini harus dipahami oleh Bawaslu mulai tingkat provinsi hingga pengawas tingkat kelurahan/desa.
Kedua, menggelorakan secara kreatif slogan “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”. Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota wajib menerjemahkan secara cerdas dan kreatif model bentuk kegiatan pengawasan yang melibatkan masyarakat di luar yang sudah dilakukan Bawaslu RI.
Di Bawaslu pusat ada bentuk kegiatan berupa “Sahabat Bawaslu”, “Forum Thamrin 14”, dan kerja sama dengan pramuka secara khusus untuk menggalang dukungan partisipasi masyarakat (stakeholder). Tujuan membangun jaringan pengawasan partisipatif ini adalah agar fungsi pengawasan yang dilakukan Bawaslu mendapat dukungan penuh dari masyarakat.
Pelibatan masyarakat penting karena dengan personel yang terbatas, sangat mustahil Bawaslu dapat menyelesaikan semua masalah pilkada/pemilu. Semua jenjang mulai Bawaslu provinsi, kabupaten/kota, pengawas kecamatan hingga pengawas kelurahan/desa harus memiliki tempat kumpul/diskusi.
Tempat itu bisa dalam bentuk media center pojok pengawasan, sehingga tidak ada jarak antara Bawaslu secara kelembagaan dengan rakyat dalam melakukan pengawasan. Implikasi kedekatan tersebut akan meningkatkan kepercayaan dan akuntabilitas pengawasan yang dilakukan serta mendorong tegaknya keadilan pada pelaksanaan pilkada dan pemilu.
Ketiga, pengelolaan digitalisasi kelembagaan penting agar akses informasi apa saja yang dibutuhkan publik bisa ter-updated seiring kerja-kerja pengawasan berbasis tahapan yang berlangsung di seluruh jenjang, mulai provinsi sampai tingkat kelurahan/desa.
Penutup
Kesiapan Bawaslu dalam mewujudkan poin-poin yang disebutkan di atas sangat penting agar pengawasan berjalan baik dan keadilan dalam pelaksanaan pilkada/pemilu bisa tercipta. Penulis secara khusus memberi perhatian kepada Bawaslu tiga provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Aceh, dan Sulawesi Tenggara. Pada tiga provinsi ini terjadi transisi keanggotaan dan dilakukan rekrutmen pimpinan baru hanya 2–3 bulan menjelang hari H pencoblosan pilkada pada 27 Juni 2018.
Tiga hal yang penting untuk menjadi perhatian. Pertama, menjadi kewajiban pimpinan Bawaslu dan pihak sekretariat untuk bisa berjalan seiring dalam melakukan penataan organisasi. Pimpinan Bawaslu harus menjalankan fungsi-fungsi manajemen dengan model kepemimpinan kolektif kolegial. Jika sinergi pimpinan Bawaslu dengan jajaran kesekretariatan baik, hal itu akan berimplikasi positif pada kinerja jajaran tingkat bawah, yakni pada Bawaslu kabupaten/kota.
Kedua, peraturan teknis dalam bentuk PKPU dan Peraturan Bawaslu harus menjadi pegangan wajib setiap personel dalam melakukan pengawasan. Ketiga, perlu memperkuat manajerial hierarki pengawasan sampai tingkat kelurahan/desa dengan tujuan agar partisipasi pengawasan masyarakat bisa bergerak sesuai dengan tingkatannya.
(thm)