Pemerintah Dinilai Belum Mampu Lindungi Pekerja Migran Perempuan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dinilai belum mampu melindungi pekerja migran perempuan. Sederet regulasi yang dibuat pemerintah dan juga kesepakatan multilateral terkait ketenagakerjaan dianggap belum mampu melindungi pahlawan devisa. Kematian Adelina Jamirah Sau baru-baru ini dinilai menjadi bukti.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy mengatakan, perlindungan untuk perempuan pekerja migran masih belum maksimal. Padahal, kata dia, remitansi yang mereka hasilkan mampu menggerakkan perekonomian dan membawa manfaat untuk anggota keluarganya.
Menurut dia, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mengedepankan sensitivitas gender dan berbasis hak asasi manusia (HAM). “Kebijakan yang mengedepankan sensitivitas gender dan berbasis HAM harus dimulai dari pendaftaran, perekrutan, pelatihan, pemberangkatan hingga penempatan," tutur Imelda dalam siaran pers CIPS kepada SINDOnews, Kamis (8/3/2018).
Dia menilai kebijakan tersebut idealnya memberikan kemudahan sekaligus perlindungan terhadap pekerja migran perempuan. Yang terjadi saat ini, sambung Imelda, para calon pekerja migran rentan terhadap berbagai tindak kriminal dan kekerasan serta minim edukasi mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja.
Dia menambahkan, regulasi yang dibuat harus mempromosikan gender-equality. Hal ini perlu agar para pekerja migran perempuan tidak mengalami diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan karena identitasnya sebagai perempuan.
Menurut dia, perlindungan lainnya yang dapat diberikan kepada para pekerja migran perempuan di luar negeri adalah dibentuknya program konseling atau mentoring di setiap negara tempat para pekerja migran ditempatkan.
Melalui program ini, lanjut Imeda, diharapkan para pekerja migran perempuan bisa mendapatkan solusi atas masalah yang dialaminya sedini mungkin. Dengan begitu, kata dia, pihak kedutaan besar juga bisa melakukan pemetaan dan mendapatkan informasi mengenai para pekerja migran perempuan.
“Kalau jadi diberlakukan, sosialisasi terhadap kebijakan dan juga program konseling atau mentoring juga harus dilakukan kepada pihak yang mempekerjakan mereka. Sehingga para perempuan pekerja migran bisa mendapatkan haknya akan edukasi dan informasi,” tutur Imelda.
Berdasarkan data Migrant Care, kematian Adelina menambah panjang daftar pekerja migran yang meninggal dari 2013 hingga Februari 2018. Hingga saat ini jumlahnya sudah mencapai 192 orang. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlidungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), antara 2011 hingga Januari 2018, sebanyak 60% pekerja migran yang ditempatkan di luar negeri adalah perempuan.
Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret diharapkan bisa menjadi momentum perubahan bagi para perempuan di dunia.
Menurut Imelda, perempuan masih sering menjadi objek dari tindak kekerasan, tindak kriminal dan pihak yang dirugikan bersama dengan anak-anak dalam situasi tertentu, seperti perang, pelecehan seksual dan perdagangan manusia.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy mengatakan, perlindungan untuk perempuan pekerja migran masih belum maksimal. Padahal, kata dia, remitansi yang mereka hasilkan mampu menggerakkan perekonomian dan membawa manfaat untuk anggota keluarganya.
Menurut dia, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mengedepankan sensitivitas gender dan berbasis hak asasi manusia (HAM). “Kebijakan yang mengedepankan sensitivitas gender dan berbasis HAM harus dimulai dari pendaftaran, perekrutan, pelatihan, pemberangkatan hingga penempatan," tutur Imelda dalam siaran pers CIPS kepada SINDOnews, Kamis (8/3/2018).
Dia menilai kebijakan tersebut idealnya memberikan kemudahan sekaligus perlindungan terhadap pekerja migran perempuan. Yang terjadi saat ini, sambung Imelda, para calon pekerja migran rentan terhadap berbagai tindak kriminal dan kekerasan serta minim edukasi mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja.
Dia menambahkan, regulasi yang dibuat harus mempromosikan gender-equality. Hal ini perlu agar para pekerja migran perempuan tidak mengalami diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan karena identitasnya sebagai perempuan.
Menurut dia, perlindungan lainnya yang dapat diberikan kepada para pekerja migran perempuan di luar negeri adalah dibentuknya program konseling atau mentoring di setiap negara tempat para pekerja migran ditempatkan.
Melalui program ini, lanjut Imeda, diharapkan para pekerja migran perempuan bisa mendapatkan solusi atas masalah yang dialaminya sedini mungkin. Dengan begitu, kata dia, pihak kedutaan besar juga bisa melakukan pemetaan dan mendapatkan informasi mengenai para pekerja migran perempuan.
“Kalau jadi diberlakukan, sosialisasi terhadap kebijakan dan juga program konseling atau mentoring juga harus dilakukan kepada pihak yang mempekerjakan mereka. Sehingga para perempuan pekerja migran bisa mendapatkan haknya akan edukasi dan informasi,” tutur Imelda.
Berdasarkan data Migrant Care, kematian Adelina menambah panjang daftar pekerja migran yang meninggal dari 2013 hingga Februari 2018. Hingga saat ini jumlahnya sudah mencapai 192 orang. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlidungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), antara 2011 hingga Januari 2018, sebanyak 60% pekerja migran yang ditempatkan di luar negeri adalah perempuan.
Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret diharapkan bisa menjadi momentum perubahan bagi para perempuan di dunia.
Menurut Imelda, perempuan masih sering menjadi objek dari tindak kekerasan, tindak kriminal dan pihak yang dirugikan bersama dengan anak-anak dalam situasi tertentu, seperti perang, pelecehan seksual dan perdagangan manusia.
(dam)