OTT Lagi, OTT Lagi

Jum'at, 02 Maret 2018 - 01:05 WIB
OTT Lagi, OTT Lagi
OTT Lagi, OTT Lagi
A A A
Meski sudah banyak pejabat negara yang tertangkap tangan melakukan korupsi, hal itu tidak membuat yang lain menjadi takut. Terbukti, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra. Pemerintah dan aparat hukum tampaknya harus mencari terobosan lain untuk meng­henti­kan korupsi di negara ini.

Beberapa tahun lalu, OTT yang dilakukan KPK menjadi sebuah barang mahal yang beritanya sangat menghebohkan. Begitu ada kabar OTT dari KPK, hampir semua media massa langsung mem-blow up-nya karena beritanya memang dinantikan masyarakat. Namun, saat ini respons media massa termasuk juga masyarakat, jauh berkurang atas berita OTT yang dilakukan KPK. Hal ini terjadi karena hampir setiap pekan KPK melakukan OTT kasus korupsi. Sasarannya kebanyakan kepala-kepala daerah mulai bupati, wali kota, hingga setingkat gubernur.

Banyaknya OTT yang dilakukan KPK terhadap kepala daerah ini akhirnya menimbulkan sejumlah spekulasi di masyarakat. Pertama, banyaknya OTT terhadap kepala daerah karena kehebatan lembaga antirasuah tersebut dalam mengendus kasus dugaan korupsi ter­utama di daerah-daerah. Dalam perspektif ini, kita patut berbangga karena KPK semakin bertaji dalam melaksanakan tugasnya mem­berantas korupsi di Indonesia yang memang sudah membudaya. Kita juga sangat mengharapkan KPK lebih banyak lagi menangkapi para pejabat negara yang masih berani menggarong uang rakyat.

Spekulasi kedua yang muncul berlawanan dengan yang pertama. Ada apa dengan KPK yang tiba-tiba begitu agresif dan rajin dalam menangkapi para kepala daerah? Sedikitnya ada enam kepala daerah ditangkap pada 2018 ini. Fenomena ini menimbulkan banyak tanda tanya. Apalagi, saat ini kita sedang menghadapi momentum pilkada serentak. Mengapa tidak dari dulu KPK gencar melakukan OTT kepala daerah?

Ada sebagian suara miring yang menuding bahwa apa yang dilakukan KPK ini seperti “pesanan” dari pihak tertentu untuk kepentingan pilkada serentak. Pasalnya, sebagian kepala daerah yang tertangkap ikut pilkada serentak. Kalau ini yang terjadi, tentu kita patut bersedih. Bagaimanapun, publik masih sangat berharap pada KPK bisa memberantas korupsi di Tanah Air. Masalahnya, dua lembaga penegak hukum lainnya yakni Polri dan kejaksaan, belum bisa menunjukkan performanya dalam pemberantasan korupsi.

Ketiga, spekulasi lain yang muncul akibat kebijakan KPK yang “tiba-tiba” gemar berburu kepala daerah ini terkait ketidakmam­pu­annya dalam mengungkap atau menuntaskan kasus-kasus besar. Tudingan ini cukup beralasan karena banyak kasus besar atau melibatkan kasus yang melibatkan “orang berpengaruh” yang tidak selesai atau jalan di tempat. Salah satunya saja kasus BLBI. Benarkah demikian?
Sebagian kalangan mungkin menilai banyaknya OTT merupa­kan prestasi bagi KPK. Namun, tidak salah juga kalangan lain jika berpendapat makin banyaknya OTT berarti kegagalan bagi KPK dalam upaya pencegahan korupsi. KPK yang sudah berdiri sejak 2002 dinilai telah gagal dalam menimbulkan efek jera bagi pejabat negara untuk takut korupsi.

Yang jelas, berbagai spekulasi di atas harus segera dijawab KPK. Jangan sampai harapan masyarakat terhadap KPK pupus hanya gara-gara spekulasi yang berkembang. Tentu jawaban yang dinanti masyarakat bukan sebatas pernyataan lewat konferensi pers. Pernyataan saja tidak akan cukup untuk menghentikan berbagai spekulasi yang telah berkembang di masyarakat. Namun, pembuktian bahwa KPK merupakan lembaga yang benar-benar kredibel harus dibuktikan melalui hasil penyelidikan dan penyidikannya. Salah satunya lewat penuntasan kasus-kasus besar yang sudah lama dinanti oleh publik. OTT ke seluruh penjuru Tanah Air boleh tetap digencarkan, namun kasus-kasus besar harus tetap menjadi prioritas penanganan. Percuma KPK dibentuk kalau hanya mampu mengusut kasus-kasus daerah yang bahwa barang buktinya tidak sampai Rp1 miliar.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5675 seconds (0.1#10.140)