Permohonan Justice Collaborator Setnov Dinilai Karena Terdesak
A
A
A
JAKARTA - Keinginan mantan Ketua DPR Setya Novanto menjadi justice collaborator dalam kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dinilai karena terdesak. Maka itu, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai upaya Setya Novanto menjadi justice collaborator tidak cukup meyakinkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pasalnya, nama yang disebutkan Setya Novanto masih sumir. "Informasi yang hanya katanya, katanya tidak pantas menjadi justice collaborator. Saya rasa KPK sangat tepat kalau menolak permintaan itu. Itu karena sudah terdesak aja," ujar Sebastian Salang di Jakarta, Selasa (27/2/2018).
Lagipula, kata dia, seharusnya Setya Novanto dari awal jika serius ingin membantu KPK untuk membongkar kasus proyek E-KTP tersebut. Sehingga, penyelidikannya menjadi mudah. Namun faktanya, pria yang akrab disapa Setnov itu justru menghindar dan selalu mencari celah agar lolos dari jeratan hukum.
"Bukan karena terdesak dan asal ingin mengurangi hukuman. Supaya dianggap membongkar kasus, dia menyebut nama orang lain yang sangat sumir dan ngarang. Itu bukan justice collaborator namanya," katanya.
Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus mengingatkan KPK agar tidak terkecoh dengan permohonan justice collaborator Setnpv itu. KPK diminta agar fokus membongkar semua aspek pidana yang muncul dalam dugaan korupsi e-KTP yang disangkakan kepada Setnov.
Sangkaan tidak saja pada pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, tetapi juga pada dugaan tindak pidana korupsi sebagai pemberi atau penerima suap. Kemudian dalam dugaan Tinda Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus e-KTP dan keterlibatan istri, anak dan menantu atau keponakannya.
"KPK tidak boleh terkecoh dengan manuver Setya Novanto untuk JC tetapi informasi yang diberikan itu hanya bersifat katanya atau dengar dari cerita Nazaruddin yang dalam banyak hal hanya bersifat imajinasi atau halusinasi," kata Petrus.
Pasalnya, nama yang disebutkan Setya Novanto masih sumir. "Informasi yang hanya katanya, katanya tidak pantas menjadi justice collaborator. Saya rasa KPK sangat tepat kalau menolak permintaan itu. Itu karena sudah terdesak aja," ujar Sebastian Salang di Jakarta, Selasa (27/2/2018).
Lagipula, kata dia, seharusnya Setya Novanto dari awal jika serius ingin membantu KPK untuk membongkar kasus proyek E-KTP tersebut. Sehingga, penyelidikannya menjadi mudah. Namun faktanya, pria yang akrab disapa Setnov itu justru menghindar dan selalu mencari celah agar lolos dari jeratan hukum.
"Bukan karena terdesak dan asal ingin mengurangi hukuman. Supaya dianggap membongkar kasus, dia menyebut nama orang lain yang sangat sumir dan ngarang. Itu bukan justice collaborator namanya," katanya.
Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus mengingatkan KPK agar tidak terkecoh dengan permohonan justice collaborator Setnpv itu. KPK diminta agar fokus membongkar semua aspek pidana yang muncul dalam dugaan korupsi e-KTP yang disangkakan kepada Setnov.
Sangkaan tidak saja pada pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, tetapi juga pada dugaan tindak pidana korupsi sebagai pemberi atau penerima suap. Kemudian dalam dugaan Tinda Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus e-KTP dan keterlibatan istri, anak dan menantu atau keponakannya.
"KPK tidak boleh terkecoh dengan manuver Setya Novanto untuk JC tetapi informasi yang diberikan itu hanya bersifat katanya atau dengar dari cerita Nazaruddin yang dalam banyak hal hanya bersifat imajinasi atau halusinasi," kata Petrus.
(kri)