Wapres JK Minta Malaysia Hukum Tegas Penganiaya Adelina
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah meminta Malaysia menegakkan hukum terhadap penganiaya Adelina Lisao yang meninggal dunia. Adelina diduga tewas akibat dianiaya oleh majikannya di Malaysia.
"Kami turut berduka cita tentu. Dan, kedua kami minta itu pelaksanaan hukum yang harus dipertegas oleh Pemerintah Malaysia. Menlu kita sudah berhubungan dengan sana. Kalau perlu, saya pun akan berhubungan dengan Pemerintah Pak Najib untuk mempertegas hukumannya kepada siapa pun, dan jangan terjadi lagi," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta. Minggu (18/2/2018).
Adelina sempat diselamatkan polisi, wartawan, tetangga, dan anggota dewan pada Sabtu (10/2/2018) menyusul dugaan dianiaya berulang-ulang oleh majikannya. Namun, dia meninggal dunia pada Minggu (11/2/2018) pukul 16.45 waktu setempat saat dirawat di Rumah Sakit Bukit Mertajam. Ketika ditemukan di rumah majikannya di Taman Kota Permai, kepala dan wajahnya terluka parah, selain mengalami infeksi luka pada tangan dan kakinya. Kondisinya terungkap setelah polisi dilapori seorang tetangga korban.
Di sisi lain, Sejumlah kalangan meminta pemerintah mengevaluasi regulasi pengiriman pekerja migran. Terbukti bahwa Adelina Jemira Sau merupakan pekerja migran ilegal di Malaysia sehingga rentan mengalami kekerasan harus menjadi momentum evaluasi. Anggota Komisi IX DPR Irma Chaniago berpendapat, kasus yang menimpa TKI Adelina adalah masalah klasik. Dia juga mengkritisi kinerja atase ketenagakerjaan (atnaker) di Malaysia yang tidak memverifikasi para TKI yang bekerja di Malaysia. Menurutnya atnaker seharusnya memverifikasi TKI mulai dari agensi hingga rumah majikan tempat dia bekerja.
"Atnaker jangan cuma kerja di atas meja. Ini kebanyakan (atnaker) tak tahu sehingga baru saat kejadian ketahuannya. Kontrol kita kurang ketat," sebutnya.
Irma melanjutkan, pintu-pintu keberangkatan TKI ilegal juga harus diawasi dengan ketat. Baik oleh BNP2TKI, kepolisian, Imigrasi maupun TNI. Komunikasi bilateral dengan Pemerintah Malaysia juga harus dilakukan agar tidak lagi ada TKI ilegal yang keluar masuk dengan mudah ke kedua negara.
Irma berpendapat, moratorium bukan jawaban permasalahan TKI ilegal. Sebab, meski Timur Tengah sudah ditutup, masih saja ada ribuan TKI ilegal yang bekerja di sana. Intinya adalah regulasi dan komitmen pemerintah untuk melindungi TKI harus dibuktikan. "Saya sendiri tidak setuju moratorium. Kita tetap butuh pasar kerja di luar negeri karena lapangan kerja di dalam negeri sempit. Tinggal dimaksimalkan saja regulasi dan komitmen pemerintahnya," katanya.
Irma juga mendesak Kementerian Ketenagakerjaan untuk segera membuat peraturan turunan dari UU Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Menurut dia, biasanya masa transisi UU baru adalah satu tahun, tapi dengan adanya kasus Adelina dia berharap Kemenaker bisa mempercepat aturan turunannya. Sebab peraturan turunan itu bisa menjadi petunjuk pelaksanaan bagi kementerian terkait untuk merealisasi amanat UU tersebut.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy juga mengatakan, regulasi dan persyaratan yang sudah ada sering kali memberatkan para pekerja migran. Alhasil mereka memilih menggunakan cara-cara ilegal demi bisa bekerja di luar negeri. "Dengan iming-iming penghasilan besar yang akan didapat, mereka akhirnya tergiur dengan jalan ini. Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang kebijakannya," tegas Imelda, Minggu (18/2/2018).
Dia juga memandang perlunya penyederhanaan proses pendaftaran, termasuk di dalamnya durasi waktu dan besaran biaya. Untuk mendaftar sebagai asisten rumah tangga, seorang calon pekerja migran harus menyiapkan uang sebesar Rp8 juta atau USD 600 dan membutuhkan waktu selama tiga sampai empat bulan. Biaya sebesar ini setara dengan dua pertiga upah minimum tahunan di banyak kota di Pulau Jawa. Hal ini tentu saja menciptakan beban finansial bagi para calon pekerja migran.
Rumitnya regulasi juga membuat mereka "terpaksa" bergantung kepada para calo atau agen yang tidak jarang hanya mengeksploitasi mereka tanpa memperhatikan tiap prosedur yang harus dijalankan. Imelda menambahkan, penelitian CIPS menunjukkan agen membebankan biaya tertentu kepada para calon pekerja migran yang sebenarnya adalah untuk memenuhi biaya prosedural yang ditetapkan pemerintah.
Selain itu pemerintah harus menyederhanakan prosedur pendaftaran dan meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan para calon pekerja migran. Pemerintah bisa memaksimalkan peran puskesmas dengan memperbolehkan para calon pekerja migran menjalani tes kesehatan sebagai bagian dari persyaratan pendaftaran. Durasi pelatihan yang berlangsung selama dua bulan seharusnya dikurangi agar mereka tidak kehilangan potensi pendapatan.
"Sangat disayangkan dengan apa yang terjadi kepada Adelina Sau. Kasus ini seharusnya bisa menjadi contoh nyata bagi pemerintah agar memperkuat perlindungan para pekerja migran di luar negeri. Sekalipun hal ini mungkin tidak dapat meringankan duka dari keluarga Adelina, setidaknya kebijakan yang baru ini dapat memberikan rasaamandanperlindunganbagi para pekerja migran Indonesia lainnya," paparnya.
"Kami turut berduka cita tentu. Dan, kedua kami minta itu pelaksanaan hukum yang harus dipertegas oleh Pemerintah Malaysia. Menlu kita sudah berhubungan dengan sana. Kalau perlu, saya pun akan berhubungan dengan Pemerintah Pak Najib untuk mempertegas hukumannya kepada siapa pun, dan jangan terjadi lagi," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta. Minggu (18/2/2018).
Adelina sempat diselamatkan polisi, wartawan, tetangga, dan anggota dewan pada Sabtu (10/2/2018) menyusul dugaan dianiaya berulang-ulang oleh majikannya. Namun, dia meninggal dunia pada Minggu (11/2/2018) pukul 16.45 waktu setempat saat dirawat di Rumah Sakit Bukit Mertajam. Ketika ditemukan di rumah majikannya di Taman Kota Permai, kepala dan wajahnya terluka parah, selain mengalami infeksi luka pada tangan dan kakinya. Kondisinya terungkap setelah polisi dilapori seorang tetangga korban.
Di sisi lain, Sejumlah kalangan meminta pemerintah mengevaluasi regulasi pengiriman pekerja migran. Terbukti bahwa Adelina Jemira Sau merupakan pekerja migran ilegal di Malaysia sehingga rentan mengalami kekerasan harus menjadi momentum evaluasi. Anggota Komisi IX DPR Irma Chaniago berpendapat, kasus yang menimpa TKI Adelina adalah masalah klasik. Dia juga mengkritisi kinerja atase ketenagakerjaan (atnaker) di Malaysia yang tidak memverifikasi para TKI yang bekerja di Malaysia. Menurutnya atnaker seharusnya memverifikasi TKI mulai dari agensi hingga rumah majikan tempat dia bekerja.
"Atnaker jangan cuma kerja di atas meja. Ini kebanyakan (atnaker) tak tahu sehingga baru saat kejadian ketahuannya. Kontrol kita kurang ketat," sebutnya.
Irma melanjutkan, pintu-pintu keberangkatan TKI ilegal juga harus diawasi dengan ketat. Baik oleh BNP2TKI, kepolisian, Imigrasi maupun TNI. Komunikasi bilateral dengan Pemerintah Malaysia juga harus dilakukan agar tidak lagi ada TKI ilegal yang keluar masuk dengan mudah ke kedua negara.
Irma berpendapat, moratorium bukan jawaban permasalahan TKI ilegal. Sebab, meski Timur Tengah sudah ditutup, masih saja ada ribuan TKI ilegal yang bekerja di sana. Intinya adalah regulasi dan komitmen pemerintah untuk melindungi TKI harus dibuktikan. "Saya sendiri tidak setuju moratorium. Kita tetap butuh pasar kerja di luar negeri karena lapangan kerja di dalam negeri sempit. Tinggal dimaksimalkan saja regulasi dan komitmen pemerintahnya," katanya.
Irma juga mendesak Kementerian Ketenagakerjaan untuk segera membuat peraturan turunan dari UU Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Menurut dia, biasanya masa transisi UU baru adalah satu tahun, tapi dengan adanya kasus Adelina dia berharap Kemenaker bisa mempercepat aturan turunannya. Sebab peraturan turunan itu bisa menjadi petunjuk pelaksanaan bagi kementerian terkait untuk merealisasi amanat UU tersebut.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy juga mengatakan, regulasi dan persyaratan yang sudah ada sering kali memberatkan para pekerja migran. Alhasil mereka memilih menggunakan cara-cara ilegal demi bisa bekerja di luar negeri. "Dengan iming-iming penghasilan besar yang akan didapat, mereka akhirnya tergiur dengan jalan ini. Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang kebijakannya," tegas Imelda, Minggu (18/2/2018).
Dia juga memandang perlunya penyederhanaan proses pendaftaran, termasuk di dalamnya durasi waktu dan besaran biaya. Untuk mendaftar sebagai asisten rumah tangga, seorang calon pekerja migran harus menyiapkan uang sebesar Rp8 juta atau USD 600 dan membutuhkan waktu selama tiga sampai empat bulan. Biaya sebesar ini setara dengan dua pertiga upah minimum tahunan di banyak kota di Pulau Jawa. Hal ini tentu saja menciptakan beban finansial bagi para calon pekerja migran.
Rumitnya regulasi juga membuat mereka "terpaksa" bergantung kepada para calo atau agen yang tidak jarang hanya mengeksploitasi mereka tanpa memperhatikan tiap prosedur yang harus dijalankan. Imelda menambahkan, penelitian CIPS menunjukkan agen membebankan biaya tertentu kepada para calon pekerja migran yang sebenarnya adalah untuk memenuhi biaya prosedural yang ditetapkan pemerintah.
Selain itu pemerintah harus menyederhanakan prosedur pendaftaran dan meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan para calon pekerja migran. Pemerintah bisa memaksimalkan peran puskesmas dengan memperbolehkan para calon pekerja migran menjalani tes kesehatan sebagai bagian dari persyaratan pendaftaran. Durasi pelatihan yang berlangsung selama dua bulan seharusnya dikurangi agar mereka tidak kehilangan potensi pendapatan.
"Sangat disayangkan dengan apa yang terjadi kepada Adelina Sau. Kasus ini seharusnya bisa menjadi contoh nyata bagi pemerintah agar memperkuat perlindungan para pekerja migran di luar negeri. Sekalipun hal ini mungkin tidak dapat meringankan duka dari keluarga Adelina, setidaknya kebijakan yang baru ini dapat memberikan rasaamandanperlindunganbagi para pekerja migran Indonesia lainnya," paparnya.
(amm)