UU MD3 Dinilai Bertentangan dengan UUD 1945
A
A
A
JAKARTA - Pasal 122 huruf k Undang-Undang (UU) tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang disahkan dalam rapat paripurna DPR Senin 12 Februari 2018 dinilai bertentangan dengan prinsip keterwakilan rakyat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Maka itu, pasal tersebut digugat Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pasal yang menyangkut ketika DPR bisa melakukan langkah hukum kepada warga negara. Ini yang kemudian kita gugat karena bertentangan dengan prinsip keterwakilan rakyat dalam UUD," ujar Kuasa Hukum FKHK, Irman Putra Sidin dalam diskusi Polemik MNC Trijaya Network Bertajuk 'Benarkah DPR Gak Mau Dikritik?' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2/2018).
Adapun Pasal 122 huruf K itu menyebutkan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan dapat melaporkan orang, perseorang, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR ke kepolisian.
"Rakyat masa harus berhadapan dengan institusi yang dia pilih sendiri yaitu DPR karena adanya interaksi. Entah interaksi apa sehingga harus berhadapan dengan institusi besar seperti DPR," tutur pakar hukum tata negara ini.
Selain Pasal 122 huruf k, FKHK juga menggugat Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, serta Pasal 245 ayat (1). Pasal 73 itu menyebutkan bahwa Polri wajib mengikuti perintah DPR untuk memanggil paksa seseorang yang mangkir dari panggilan DPR, bahkan polisi disebutkan berhak melakukan penahanan.
"Kenapa warga negara harus dipanggil paksa. Kecuali dalam konteks tertentu. Kalau memanggil warga negara kan itu tugas DPR dalam mendengar aspirasi rakyatnya," tegasnya.
"Pasal yang menyangkut ketika DPR bisa melakukan langkah hukum kepada warga negara. Ini yang kemudian kita gugat karena bertentangan dengan prinsip keterwakilan rakyat dalam UUD," ujar Kuasa Hukum FKHK, Irman Putra Sidin dalam diskusi Polemik MNC Trijaya Network Bertajuk 'Benarkah DPR Gak Mau Dikritik?' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2/2018).
Adapun Pasal 122 huruf K itu menyebutkan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan dapat melaporkan orang, perseorang, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR ke kepolisian.
"Rakyat masa harus berhadapan dengan institusi yang dia pilih sendiri yaitu DPR karena adanya interaksi. Entah interaksi apa sehingga harus berhadapan dengan institusi besar seperti DPR," tutur pakar hukum tata negara ini.
Selain Pasal 122 huruf k, FKHK juga menggugat Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, serta Pasal 245 ayat (1). Pasal 73 itu menyebutkan bahwa Polri wajib mengikuti perintah DPR untuk memanggil paksa seseorang yang mangkir dari panggilan DPR, bahkan polisi disebutkan berhak melakukan penahanan.
"Kenapa warga negara harus dipanggil paksa. Kecuali dalam konteks tertentu. Kalau memanggil warga negara kan itu tugas DPR dalam mendengar aspirasi rakyatnya," tegasnya.
(kri)