Revisi KUHP Berpotensi Ancam Orang Kritis dan Jurnalis
A
A
A
JAKARTA - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini dibahas DPR menjadi pembicaraan publik. Revisi undang-undang tersebut menjadi sorotan karena di dalamnya terdapat pasal yang memancing pro dan kontra.
Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) menilai banyak aturan dalam draf KUHP yang berpotensi membungkam kemerdekaan pers, demokrasi, dan hak asasi manusia.
"Berdasarkan telaah sejumlah pasal dalam draf revisi RUU KUHP tersebut, KPJKB berpendapat bahwa DPR dan pemerintah harus menunda pengesahannya," kata Koordinator Relawan KPJKB, Upi Asmaradhana dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Selasa (14/2/2018).
Menurut Upi, pasal-pasal dalam revisi KUHP mengancam kemerdekaan dan sikap kritis para jurnalis.Tidak hanya itu, kata dia, jurnalis rawan dikriminalisasi serta mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap warga.
"Dapat memberangus proses berdemokrasi," tandasnya.
Dia menilai spririt revisi KUHP tidak melindungi rakyat, namun justru hendak melindungi penguasa. "Tak sejalan dengan spirit UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," tutur Upi.
Pasal-pasal dimaksud, antara lain Pasal 309 ayat 1 perihal “Berita Bohong”. Adapun Pasal 309 ayat 1 berbunyi Setiap orang yang menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".
"Penjelasan frasa 'mengakibatkan keonaran' pada ayat 1 tersebut berpotensi multitafsir dan sangat rentan untuk mengkriminalisasi jurnalis yang kesehariannya mencari berita," tutur Upi.
Kriminalisasi itu dicontohkannya bisa terjadi ketika jurnalis membuat berita berdasarkan informasi dari narasumbernya.
"Ketika berita tersebut sudah dipublikasikan dan ternyata narasumber tidak akurat atau tidak betul memberi informasinya, maka jurnalis yang akan dianggap memberitakan kebohongan. Sehingga bisa jadi alasan jurnalis tersebut dikriminalisasi," katanya.
Kemudian Pasal 328-329 perihal contempt of court. Pasal 329 huruf d berbunyi mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak Hakim dalam sidang pengadilan.
Menurut Upi, pasal ini bisa menjadi alat mengkriminalkan jurnalis yang meliput di pengadilan. Sebab, sambung dia, hakim atau pihak mana pun bisa memperkarakan karya jurnalistik dengan alasan memengaruhi integritas hakim karena berita yang dipublikasikan dianggap tidak sesuai dengan yang mereka inginkan.
KPJKB juga menyoroti Pasal 262-264 tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wapres. Pasal tersebut dinilainya sebagai sebuah kemunduran.
Pasal 262 berbunyi setiap orang yang menyerang diri Presiden dan Wakil Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Kemudian Pasal 263 ayat 1 berbunyi setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp300 juta.
Sementara itu Pasal 264 menyebutkan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp 300 juta).
"Jika revisi KUHP memuat kembali pasal penghinaan terhadap kepala negara maka hal itu sama saja mematikan kebebasan berekspresi dan berpendapat serta memberangus orang-orang kritis," tutur Upi.
Menurut dia, mengkritik Presiden dan Wapres nantinya akan menjadi momok yang sangat menakutkan.
"Pasal penghinaan presiden dalam revisi KUHP akan mengekang rakyat untuk menyatakan pendapat. Juga berpotensi menjadi alat bagi penguasa untuk merepresi siapa pun yang menjadi lawan politiknya, " tutur upi.
Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) menilai banyak aturan dalam draf KUHP yang berpotensi membungkam kemerdekaan pers, demokrasi, dan hak asasi manusia.
"Berdasarkan telaah sejumlah pasal dalam draf revisi RUU KUHP tersebut, KPJKB berpendapat bahwa DPR dan pemerintah harus menunda pengesahannya," kata Koordinator Relawan KPJKB, Upi Asmaradhana dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Selasa (14/2/2018).
Menurut Upi, pasal-pasal dalam revisi KUHP mengancam kemerdekaan dan sikap kritis para jurnalis.Tidak hanya itu, kata dia, jurnalis rawan dikriminalisasi serta mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap warga.
"Dapat memberangus proses berdemokrasi," tandasnya.
Dia menilai spririt revisi KUHP tidak melindungi rakyat, namun justru hendak melindungi penguasa. "Tak sejalan dengan spirit UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," tutur Upi.
Pasal-pasal dimaksud, antara lain Pasal 309 ayat 1 perihal “Berita Bohong”. Adapun Pasal 309 ayat 1 berbunyi Setiap orang yang menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".
"Penjelasan frasa 'mengakibatkan keonaran' pada ayat 1 tersebut berpotensi multitafsir dan sangat rentan untuk mengkriminalisasi jurnalis yang kesehariannya mencari berita," tutur Upi.
Kriminalisasi itu dicontohkannya bisa terjadi ketika jurnalis membuat berita berdasarkan informasi dari narasumbernya.
"Ketika berita tersebut sudah dipublikasikan dan ternyata narasumber tidak akurat atau tidak betul memberi informasinya, maka jurnalis yang akan dianggap memberitakan kebohongan. Sehingga bisa jadi alasan jurnalis tersebut dikriminalisasi," katanya.
Kemudian Pasal 328-329 perihal contempt of court. Pasal 329 huruf d berbunyi mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak Hakim dalam sidang pengadilan.
Menurut Upi, pasal ini bisa menjadi alat mengkriminalkan jurnalis yang meliput di pengadilan. Sebab, sambung dia, hakim atau pihak mana pun bisa memperkarakan karya jurnalistik dengan alasan memengaruhi integritas hakim karena berita yang dipublikasikan dianggap tidak sesuai dengan yang mereka inginkan.
KPJKB juga menyoroti Pasal 262-264 tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wapres. Pasal tersebut dinilainya sebagai sebuah kemunduran.
Pasal 262 berbunyi setiap orang yang menyerang diri Presiden dan Wakil Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Kemudian Pasal 263 ayat 1 berbunyi setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp300 juta.
Sementara itu Pasal 264 menyebutkan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp 300 juta).
"Jika revisi KUHP memuat kembali pasal penghinaan terhadap kepala negara maka hal itu sama saja mematikan kebebasan berekspresi dan berpendapat serta memberangus orang-orang kritis," tutur Upi.
Menurut dia, mengkritik Presiden dan Wapres nantinya akan menjadi momok yang sangat menakutkan.
"Pasal penghinaan presiden dalam revisi KUHP akan mengekang rakyat untuk menyatakan pendapat. Juga berpotensi menjadi alat bagi penguasa untuk merepresi siapa pun yang menjadi lawan politiknya, " tutur upi.
(dam)