Pers Diingatkan untuk Terus Sebarkan Jurnalisme Damai
A
A
A
JAKARTA - Pers atau media memiliki sejarah panjang dan andil besar dalam membangun Republik Indonesia ini.
Oleh karena itu, media harus bisa mewujudkan jurnalisme yang damai dengan menyebar informasi yang benar kepada publik agar persatuan bangsa terjaga dengan baik.
“Pers harus memahami kontrak sosial politik yang dilakukan bangsa Indonesia, yakni memegang Pancasila dan UUD 194 sebagai landasan dan pedoman hidup. Juga memahami pergerakan perjuangan nasional dengan selalu bersama-sama dalam membangun dan memperkuat persatuan bangsa,” tutur anggota Dewan Pers, Nezar Patria kepada wartawan, Kamis 8 Februari 2018.
Menurut Nezar, tantangan terbesar jurnalisme saat ini munculnya banyak berita palsu atau hoax. “Apalagi dunia internet sekarang ini ada banyak media-media baru yang muncul yang berawal atau bekerja seakan-akan mereka adalah media jurnalistik. Tetapi kalau kita lihat produknya secara seksama itu tidak memenuhi standar jurnalisme yang profesional dan tidak memenuhi kode etik jurnalistik,” tutur Nezar.
Dia mencontohkan sekarang ini banyak media yang muncul justru untuk mengacaukan informasi, mendistorsi informasi dengan motif-motif tertentu. Seperti media yang berupaya menggalang opini yang salah tentang suatu hal. Lalu ada juga media yang punya tujuan yang ingin menggoyang NKRI atau menggoyang sendi-sendi fundamental hubungan berbangsa dan bernegara seperti isu yang menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Ini yang selama ini harus kita cermati dan berbahaya. Tentu saja hoax atau berita palsu itu tidak pernah sejalan dengan jurnalisme damai. Padahal jurnalisme damai itu menginginkan para pembaca dengan menyimak karya-karya jurnalisme damai di mana pembaca ingin mendapatkan perspektif yang mendinginkan konflik, mendapat perspektif yang lebih luas bahwa konflik itu merugikan banyak pihak,” tutur Nezar.
Menurut dia, berita hoax termasuk media yang memuat konten radikal akan membuat hubungan antar kelompok itu menjadi rusak. Dia mengatakan, korban dari berita hoax itu bukan hanya kedua belah pihak yang berkonflik, tetapi juga yang tidak terlibat.
Media, sambung Nezar, sejatinya bebas untuk mengekspresikan pendapat dan cara pandang politiknya sejauh tidak menyerukan kekerasan atau menghasut orang untuk melakukan tindak kekerasan.
“Kalau mereka ingin menyampaikan gagasan politik atau pandangannya itu bisa disampaikan kepada orang lain. Sejauh itu berada dalam kesepakatan bersama yang diatur oleh undang-undang dan sebagainya termasuk dalam platform yang sama-sama kita sepakati, yaitu Pancasila dan UUD 1945, saya kira tidak ada masalah,” tutur Nezar.
Peran pemerintah, kata dia, juga diperlukan untuk mengantisipasi berita hoax dan media yang kerap menyebarkan isu perpecahan di masyarakat.
Oleh karena itu, media harus bisa mewujudkan jurnalisme yang damai dengan menyebar informasi yang benar kepada publik agar persatuan bangsa terjaga dengan baik.
“Pers harus memahami kontrak sosial politik yang dilakukan bangsa Indonesia, yakni memegang Pancasila dan UUD 194 sebagai landasan dan pedoman hidup. Juga memahami pergerakan perjuangan nasional dengan selalu bersama-sama dalam membangun dan memperkuat persatuan bangsa,” tutur anggota Dewan Pers, Nezar Patria kepada wartawan, Kamis 8 Februari 2018.
Menurut Nezar, tantangan terbesar jurnalisme saat ini munculnya banyak berita palsu atau hoax. “Apalagi dunia internet sekarang ini ada banyak media-media baru yang muncul yang berawal atau bekerja seakan-akan mereka adalah media jurnalistik. Tetapi kalau kita lihat produknya secara seksama itu tidak memenuhi standar jurnalisme yang profesional dan tidak memenuhi kode etik jurnalistik,” tutur Nezar.
Dia mencontohkan sekarang ini banyak media yang muncul justru untuk mengacaukan informasi, mendistorsi informasi dengan motif-motif tertentu. Seperti media yang berupaya menggalang opini yang salah tentang suatu hal. Lalu ada juga media yang punya tujuan yang ingin menggoyang NKRI atau menggoyang sendi-sendi fundamental hubungan berbangsa dan bernegara seperti isu yang menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Ini yang selama ini harus kita cermati dan berbahaya. Tentu saja hoax atau berita palsu itu tidak pernah sejalan dengan jurnalisme damai. Padahal jurnalisme damai itu menginginkan para pembaca dengan menyimak karya-karya jurnalisme damai di mana pembaca ingin mendapatkan perspektif yang mendinginkan konflik, mendapat perspektif yang lebih luas bahwa konflik itu merugikan banyak pihak,” tutur Nezar.
Menurut dia, berita hoax termasuk media yang memuat konten radikal akan membuat hubungan antar kelompok itu menjadi rusak. Dia mengatakan, korban dari berita hoax itu bukan hanya kedua belah pihak yang berkonflik, tetapi juga yang tidak terlibat.
Media, sambung Nezar, sejatinya bebas untuk mengekspresikan pendapat dan cara pandang politiknya sejauh tidak menyerukan kekerasan atau menghasut orang untuk melakukan tindak kekerasan.
“Kalau mereka ingin menyampaikan gagasan politik atau pandangannya itu bisa disampaikan kepada orang lain. Sejauh itu berada dalam kesepakatan bersama yang diatur oleh undang-undang dan sebagainya termasuk dalam platform yang sama-sama kita sepakati, yaitu Pancasila dan UUD 1945, saya kira tidak ada masalah,” tutur Nezar.
Peran pemerintah, kata dia, juga diperlukan untuk mengantisipasi berita hoax dan media yang kerap menyebarkan isu perpecahan di masyarakat.
(dam)