Sudah Ada UU ITE, Tak Perlu Ada Lagi Pasal Penghinaan Presiden
A
A
A
JAKARTA - DPR dan Pemerintah sedang berupaya menghidupkan kembali pasal Penghinaan Presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam draf revisi tercantum Pasal 263 Ayat 1 yang berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Direktur Bhineka Institute, Ridwan Darmawan menilai, upaya menghidupkan kembali pasal yang disebutnya pasal karet (haatzai artikelen) merupakan sebuah kemunduran bahkan fatal bagi demokrasi. Menurutnya,langkah Mahkamah Kontitusi (MK) yang menghapus pasal ini merupakan putusan fenomenal.
"Oleh karenanya jika hari ini parlemen kembali akan memasukkan pasal muatan Haatzai artikelen kembali dalam RKUHP, jelas mempunyai makna berlipat," kata Ridwan saat dihubungi SINDOnews, Kamis (8/2/2018).
Pertama, dijelaskan Ridwan, dihidupkannya lagi pasal ini dianggap penghinaan terhadap lembaga negara seperti MK, di mana putusan MK itu bersifat final dan mengikat.
Sehingga pasal yang telah di putus MK bertentangan dengan Konstitusi, tidak dapat di hidupkan kembali tanpa adanya beberapa parameter yang valid untuk itu, misal ada keadaan baru, katakanlah revolusi atau mungkin reformasi jilid II, itu mungkin bisa di hidupkan kembali.
Kedua lanjut dia, pembatalan pasal itu, oleh MK, jelas merujuk pada Konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum, prasyarat negara hukum modern, tentu menjunjung tinggi asas equality before the law, persamaan di depan hukum bagi siapapun, tidak terkecuali Presiden sekalipun.
"Nah inilah kemudian pasal hatzai artikelen memposisikan Presiden sebagai orang yang sangat istimewa di dalam penegakan hukum, semangat nya tentu semangat kolonial dan Orde baru yang hegemonik, rakyat adalah budak, Raja adalah segalanya, kondisi ini tidak lagi sesuai dengan keadaan hari ini, maka sudah layak memang pasal itu dihapuskan dan tidak di hidup kan kembali," ujarnya.
Ridwan menuturkan, pengalamannya sebagai advokat yang mendampingi dua aktivis UIN Jakarta yang disangka 'menghina presiden atau kepala negara yakni Bay Harkat Firdaus alias Jhonday dan Fahrurrahman alias Paung bahwa argumen kekuasaan saat itu untuk menangkap keduanya dianggap tidak tepat. Sebab, pasal itu karet yang bisa dimainkan penguasa sesuka hati dengan mengabaikan kebebasan berpendapat di muka umum.
Menurutnya, pasal ini tak perlu dihidupkan lagi setelah lahir Undang-undang yang dianggapnya hampir serupa dari sisi tindakan hukumnya yakni UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
Dia mengungkapkan bahwa Pasal 27 Ayat 3 yang ada dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menjadi momok yang mengerikan bagi kehidupan berdemokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Menurutnya, 'pasal karet' tersebut justru menjadi perusak tegaknya demokrasi di Indonesia. "Inilah era baru penegakan hukum sipil yang justru lebih berbobot daya rusaknya bagi tegasnya demokratisasi pasca dihapuskannya pasal hatzai artikelen di dalam KUHP oleh MK," ungkapnya.
Dia menyebutkan, Pasal 27 Ayat 3 UU ITE ini juga lebih luas cakupan atau pengaturan mengenai pencemaran nama baik atau penghinaannya dibandingkan dengan KUHP yang secara jelas bahwa perbuatan penghinaan oleh seseorang harus ditujukan langsung kepada seseorang dan merupakan delik aduan.
"Sementara perumusan UU ITE hanya menyatakan bahwa orang yang melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik dapat dipidana," ujar Magister Hukum Unpam ini.
Dia menjelaskan, sejauh penelitian dan penelusuran yang pernah dilakukannya pada medio Mei 2015 lalu, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara dalam sebuah diskusi di Jakarta waktu itu sudah melansir hingga saat itu sudah ada 74 orang yang jadi korban UU ITE.
"Bahkan hingga saat ini menurut berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, sudah ada 186 orang yang jadi korban UU ITE Pasal 27 Ayat 3," ungkapnya.
Oleh karena itu, mantan Aktivis 98 ini mendesak kepada penyelenggara negara untuk segera merevisi dan atau membatalkan pemberlakuan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE karena telah dijadikan sebagai alat untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat yang resah dan gelisah atas kondisi kehidupan sosial politik di sekitarnya.
Dalam draf revisi tercantum Pasal 263 Ayat 1 yang berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Direktur Bhineka Institute, Ridwan Darmawan menilai, upaya menghidupkan kembali pasal yang disebutnya pasal karet (haatzai artikelen) merupakan sebuah kemunduran bahkan fatal bagi demokrasi. Menurutnya,langkah Mahkamah Kontitusi (MK) yang menghapus pasal ini merupakan putusan fenomenal.
"Oleh karenanya jika hari ini parlemen kembali akan memasukkan pasal muatan Haatzai artikelen kembali dalam RKUHP, jelas mempunyai makna berlipat," kata Ridwan saat dihubungi SINDOnews, Kamis (8/2/2018).
Pertama, dijelaskan Ridwan, dihidupkannya lagi pasal ini dianggap penghinaan terhadap lembaga negara seperti MK, di mana putusan MK itu bersifat final dan mengikat.
Sehingga pasal yang telah di putus MK bertentangan dengan Konstitusi, tidak dapat di hidupkan kembali tanpa adanya beberapa parameter yang valid untuk itu, misal ada keadaan baru, katakanlah revolusi atau mungkin reformasi jilid II, itu mungkin bisa di hidupkan kembali.
Kedua lanjut dia, pembatalan pasal itu, oleh MK, jelas merujuk pada Konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum, prasyarat negara hukum modern, tentu menjunjung tinggi asas equality before the law, persamaan di depan hukum bagi siapapun, tidak terkecuali Presiden sekalipun.
"Nah inilah kemudian pasal hatzai artikelen memposisikan Presiden sebagai orang yang sangat istimewa di dalam penegakan hukum, semangat nya tentu semangat kolonial dan Orde baru yang hegemonik, rakyat adalah budak, Raja adalah segalanya, kondisi ini tidak lagi sesuai dengan keadaan hari ini, maka sudah layak memang pasal itu dihapuskan dan tidak di hidup kan kembali," ujarnya.
Ridwan menuturkan, pengalamannya sebagai advokat yang mendampingi dua aktivis UIN Jakarta yang disangka 'menghina presiden atau kepala negara yakni Bay Harkat Firdaus alias Jhonday dan Fahrurrahman alias Paung bahwa argumen kekuasaan saat itu untuk menangkap keduanya dianggap tidak tepat. Sebab, pasal itu karet yang bisa dimainkan penguasa sesuka hati dengan mengabaikan kebebasan berpendapat di muka umum.
Menurutnya, pasal ini tak perlu dihidupkan lagi setelah lahir Undang-undang yang dianggapnya hampir serupa dari sisi tindakan hukumnya yakni UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
Dia mengungkapkan bahwa Pasal 27 Ayat 3 yang ada dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menjadi momok yang mengerikan bagi kehidupan berdemokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Menurutnya, 'pasal karet' tersebut justru menjadi perusak tegaknya demokrasi di Indonesia. "Inilah era baru penegakan hukum sipil yang justru lebih berbobot daya rusaknya bagi tegasnya demokratisasi pasca dihapuskannya pasal hatzai artikelen di dalam KUHP oleh MK," ungkapnya.
Dia menyebutkan, Pasal 27 Ayat 3 UU ITE ini juga lebih luas cakupan atau pengaturan mengenai pencemaran nama baik atau penghinaannya dibandingkan dengan KUHP yang secara jelas bahwa perbuatan penghinaan oleh seseorang harus ditujukan langsung kepada seseorang dan merupakan delik aduan.
"Sementara perumusan UU ITE hanya menyatakan bahwa orang yang melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik dapat dipidana," ujar Magister Hukum Unpam ini.
Dia menjelaskan, sejauh penelitian dan penelusuran yang pernah dilakukannya pada medio Mei 2015 lalu, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara dalam sebuah diskusi di Jakarta waktu itu sudah melansir hingga saat itu sudah ada 74 orang yang jadi korban UU ITE.
"Bahkan hingga saat ini menurut berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, sudah ada 186 orang yang jadi korban UU ITE Pasal 27 Ayat 3," ungkapnya.
Oleh karena itu, mantan Aktivis 98 ini mendesak kepada penyelenggara negara untuk segera merevisi dan atau membatalkan pemberlakuan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE karena telah dijadikan sebagai alat untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat yang resah dan gelisah atas kondisi kehidupan sosial politik di sekitarnya.
(maf)