Pasal Penghinaan Presiden Bentuk Penjajahan terhadap Rakyat
A
A
A
JAKARTA - Wacana pemerintah membangkitkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dinilai sebagai bentuk penjajahan terhadap rakyat.
Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang menilai pasal penghinaan terhadap presiden merupakan pasal peninggalan Belanda, yang ditujukan untuk penghinaan kepada pemimpin-pemimpin kolonial, ratu Belanda, Gubernur Jenderal dan lain-lain.
"Pasal ini memang digunakan bukan di Belanda, tapi di negara-negara jajahan, jadi kalau pasal ini hidup itu sama dengan presiden itu menganggap dirinya penjajah dan rakyat itu yang dijajah," ucap Fahri di GEdung DPR, Jakarta, kemarin.
Dia menegaskan, rencana penghidupan kembali pasal penghinaan presiden sebagai kemunduran yang luar biasa.
"Penghidupan pasal tersebut harus dihentikan, karena sama saja memutarbalik jarum jam peradaban demokrasi kita jauh ke belakang, mudah-mudahan Pak Jokowi paham bahwa ini kesalahan yang fatal," jelasnya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan, Panitia Kerja RKUHP masih membahas pasal penghinaan kepala negara. Dia meminta panja mencari formulasi terbaik atas pasal yang kini menjadi polemik di masyarakat itu.
Dia optimis ada solusi bagi polemik di tengah masyarakat itu. "Kami harapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa dicapai rumusan yang baik yang disepakati antara pemerintah dan DPR tanpa mengesampingkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara," ucapnya di Gedung DPR.
Sementara itu, Anggota Panja RKUHP Adies Kadir menyatakan saat ini masih ada beberapa polemik bahasan didalam panja. Menurutnya ada dua hal yang masih menjadi masalah pertama soal tata bahasa yang masih perlu dibaiki dalam UU dan lama hukuman.
"Itu masih kita minta supaya dipelajari kembali. Memang untuk pasal penghinaan presiden ini masuk di delik aduan. Bukan delik umum atau biasa. Dan diperbolehkan melapor yakni langsung dengan yang bersangkutan," jelasnya.
"Jadi presiden dan wapres apabila merasa dicemarkan nama baik, beliau harus melapor sendiri. Bukan orang lain. Kita minta pemerintah mempertimbangkan ancaman hukuman yang lima tahun," tambahnya.
Diketahui, DPR dan pemerintah sepakat pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden masuk ke dalam RKUHP. Pasal ini tetap dipertahankan meski sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahkan, pasal terkait penghinaan presiden ini diperluas di pasal selanjutnya dengan mengatur penghinaan melalui teknologi informasi. Dimana, berdasarkan Pasal 263 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara.
Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang menilai pasal penghinaan terhadap presiden merupakan pasal peninggalan Belanda, yang ditujukan untuk penghinaan kepada pemimpin-pemimpin kolonial, ratu Belanda, Gubernur Jenderal dan lain-lain.
"Pasal ini memang digunakan bukan di Belanda, tapi di negara-negara jajahan, jadi kalau pasal ini hidup itu sama dengan presiden itu menganggap dirinya penjajah dan rakyat itu yang dijajah," ucap Fahri di GEdung DPR, Jakarta, kemarin.
Dia menegaskan, rencana penghidupan kembali pasal penghinaan presiden sebagai kemunduran yang luar biasa.
"Penghidupan pasal tersebut harus dihentikan, karena sama saja memutarbalik jarum jam peradaban demokrasi kita jauh ke belakang, mudah-mudahan Pak Jokowi paham bahwa ini kesalahan yang fatal," jelasnya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan, Panitia Kerja RKUHP masih membahas pasal penghinaan kepala negara. Dia meminta panja mencari formulasi terbaik atas pasal yang kini menjadi polemik di masyarakat itu.
Dia optimis ada solusi bagi polemik di tengah masyarakat itu. "Kami harapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa dicapai rumusan yang baik yang disepakati antara pemerintah dan DPR tanpa mengesampingkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara," ucapnya di Gedung DPR.
Sementara itu, Anggota Panja RKUHP Adies Kadir menyatakan saat ini masih ada beberapa polemik bahasan didalam panja. Menurutnya ada dua hal yang masih menjadi masalah pertama soal tata bahasa yang masih perlu dibaiki dalam UU dan lama hukuman.
"Itu masih kita minta supaya dipelajari kembali. Memang untuk pasal penghinaan presiden ini masuk di delik aduan. Bukan delik umum atau biasa. Dan diperbolehkan melapor yakni langsung dengan yang bersangkutan," jelasnya.
"Jadi presiden dan wapres apabila merasa dicemarkan nama baik, beliau harus melapor sendiri. Bukan orang lain. Kita minta pemerintah mempertimbangkan ancaman hukuman yang lima tahun," tambahnya.
Diketahui, DPR dan pemerintah sepakat pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden masuk ke dalam RKUHP. Pasal ini tetap dipertahankan meski sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahkan, pasal terkait penghinaan presiden ini diperluas di pasal selanjutnya dengan mengatur penghinaan melalui teknologi informasi. Dimana, berdasarkan Pasal 263 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara.
Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
(maf)