Indonesia Pernah Dipuji PBB karena Hapus Pasal Penghinaan Presiden
A
A
A
JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mempersilakan jika DPR tetap akan memasukan pasal tentang penghinaan presiden dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Jimly yakin pasal itu akan dibatalkan jika ada pihak yang menggugat ke MK. "Terserah saja mereka (DPR-red) kalau mau dihidupkan lagi. Nanti pasal itu bisa dimatikan lagi oleh MK, kalau ada yang mengajukan (gugatan-red)," kata Jimly saat dihubungi SINDOnews, Selasa (6/2/2018).
Dia menegaskan pasal itu pernah digugat oleh para advokat dan masyarakat. Saat itu dia menjabat Ketua MK dan menyidangkan perkara tersebut. Saat itu, kata dia, pasal itu dibatalkan karena dinilai bertentangan dengan kontitusi.
Akibat dari putusan tersebut, Dewan HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang datang ke Jakarta menyampaikan pujiannya terhadap Indonesia.
Kemudian, kata dia, Kementerian Luar Negeri menyampaikan kepadanya bahwa Dewan HAM PBB memuji putusan tersebut. "Saya sampaikan, kami memutuskan itu bukan untuk mendapatkan pujian," ungkap Jimly. (Baca juga: Bila Revisi KUHP Disahkan, Kritik seperti Ketua BEM UI Bisa Kena Pidana )
Dia menjelaskan, putusan untuk menghapus pasal penghinaan presiden sudah sesuai pertimbangan matang dan cermat berdasarkan kewajiban konstitusi negara. Persoalannya saat ini, kata dia, justru ada sejumlah profesor hukum pidana yang membiarkan pasal itu dihidupkan kembali.
Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu mempertanyakan paradigma hukum yang dipakai para profesor yang dinilai setuju menghidupkan kembali pasal tersebut.
Dia berpendapat, jika semangat hukum adalah pidana maka akan banyak orang yang dipenjara. Kalau sudah demikian, menurut dia, penjara bukan lagi sebagai tempat untuk memperbaiki diri, melainkan tempat untuk berdendam. Sebab hukum sudah digunakan sebagai alat tekan kekuasaan. "Hukum kita itu cukup berdasarkan Pancasila," katanya.
Jimly yakin pasal itu akan dibatalkan jika ada pihak yang menggugat ke MK. "Terserah saja mereka (DPR-red) kalau mau dihidupkan lagi. Nanti pasal itu bisa dimatikan lagi oleh MK, kalau ada yang mengajukan (gugatan-red)," kata Jimly saat dihubungi SINDOnews, Selasa (6/2/2018).
Dia menegaskan pasal itu pernah digugat oleh para advokat dan masyarakat. Saat itu dia menjabat Ketua MK dan menyidangkan perkara tersebut. Saat itu, kata dia, pasal itu dibatalkan karena dinilai bertentangan dengan kontitusi.
Akibat dari putusan tersebut, Dewan HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang datang ke Jakarta menyampaikan pujiannya terhadap Indonesia.
Kemudian, kata dia, Kementerian Luar Negeri menyampaikan kepadanya bahwa Dewan HAM PBB memuji putusan tersebut. "Saya sampaikan, kami memutuskan itu bukan untuk mendapatkan pujian," ungkap Jimly. (Baca juga: Bila Revisi KUHP Disahkan, Kritik seperti Ketua BEM UI Bisa Kena Pidana )
Dia menjelaskan, putusan untuk menghapus pasal penghinaan presiden sudah sesuai pertimbangan matang dan cermat berdasarkan kewajiban konstitusi negara. Persoalannya saat ini, kata dia, justru ada sejumlah profesor hukum pidana yang membiarkan pasal itu dihidupkan kembali.
Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu mempertanyakan paradigma hukum yang dipakai para profesor yang dinilai setuju menghidupkan kembali pasal tersebut.
Dia berpendapat, jika semangat hukum adalah pidana maka akan banyak orang yang dipenjara. Kalau sudah demikian, menurut dia, penjara bukan lagi sebagai tempat untuk memperbaiki diri, melainkan tempat untuk berdendam. Sebab hukum sudah digunakan sebagai alat tekan kekuasaan. "Hukum kita itu cukup berdasarkan Pancasila," katanya.
(dam)