Fahri Hamzah Nilai Pasal Penghinaan Presiden Tak Perlu Masuk KUHP
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai Pasal Penghinaan Presiden tidak perlu dimasukkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menghapus pasal itu dalam KUHP pada tahun 2006 lalu.
"Enggak perlu dimasukan lagi," ujar Fahri Hamzah di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (2/2/2018).
Lagipula, dia berpendapat bahwa manusia bukan lah simbol negara. Dia menjelaskan, yang dimaksud simbol negara adalah Bendera Merah Putih danGgaruda Pancasila. Hua hal itu dinilainya tidak boleh dihina.
"Kalau manusia, presiden itu objek kritik, tapi kalau ada yang hina presiden lapor saja secara pribadi, saya secara pribadi dihina, jangan dia jadi lambang negara, enggak bisa begitu dong," tuturnya.
Maka itu, dia tidak sepakat dengan draf revisi KUHP yang kembali mencantumkan Pasal Penghinaan Presiden itu. "Enggak perlu, sudah enggak ada itu, enggak boleh begitu-begitu lagi, jangan terlalu mensakral-sakralkan lah," pungkasnya.
Diketahui, Pasal Penghinaan Presiden masuk dalam draf revisi KUHP. Pasal 263 ayat (1) dalam draf revisi KUHP itu menyebutkan bahwa setiap orang yang dimuka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Lalu, Pasal 263 ayat (2) menyebutkan bahwa tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum demi kebenaran atau pembelaan diri. Kemudian, Pasal 264 dalam draf revisi KUHP itu menyebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
"Enggak perlu dimasukan lagi," ujar Fahri Hamzah di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (2/2/2018).
Lagipula, dia berpendapat bahwa manusia bukan lah simbol negara. Dia menjelaskan, yang dimaksud simbol negara adalah Bendera Merah Putih danGgaruda Pancasila. Hua hal itu dinilainya tidak boleh dihina.
"Kalau manusia, presiden itu objek kritik, tapi kalau ada yang hina presiden lapor saja secara pribadi, saya secara pribadi dihina, jangan dia jadi lambang negara, enggak bisa begitu dong," tuturnya.
Maka itu, dia tidak sepakat dengan draf revisi KUHP yang kembali mencantumkan Pasal Penghinaan Presiden itu. "Enggak perlu, sudah enggak ada itu, enggak boleh begitu-begitu lagi, jangan terlalu mensakral-sakralkan lah," pungkasnya.
Diketahui, Pasal Penghinaan Presiden masuk dalam draf revisi KUHP. Pasal 263 ayat (1) dalam draf revisi KUHP itu menyebutkan bahwa setiap orang yang dimuka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Lalu, Pasal 263 ayat (2) menyebutkan bahwa tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum demi kebenaran atau pembelaan diri. Kemudian, Pasal 264 dalam draf revisi KUHP itu menyebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(kri)