SBY Disebut di Sidang E-KTP, Demokrat: Hindari Politisasi Kepentingan
A
A
A
JAKATA - Partai Demokrat menegaskan program pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang digarap saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan pengejawantahan Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto menyikapi pernyataan Mirwan Amir yang menyebut nama SBY dalam sidang lanjutan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (25/1/2018). (Baca juga: Nama SBY Disebut dalam Sidang Setya Novanto )
Agus mengatakan, Undang-Undang tahun 2006 dan UU 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dengan terang dan jelas menyebut penduduk hanya diperbolehkan memiliki satu KTP yang tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Program e-KTP, kata Agus, dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP.
Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Fakta tersebut, lanjut Agus, memberi peluang penduduk yang ingin berbuat curang, misalnya untuk menghindari pajak, memperlancar korupsi atau kejahatan lainnya.
"Oleh karena itu, Kemendagri menerapkan suatu sistem informasi kependudukan yang berbasiskan teknologi, yaitu kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-el," ucap Agus melalui keterangan tertulis, Jumat (26/1/2018).
Untuk pelaksanaan tehnis, tutur Agus, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan.
Agus mengatakan, penerbitan perpres tentang penerapan e-KTP tersebut merupakan bagian dari upaya Presiden melaksanakan amanah Undang Undang.
"Landasan kebijakan e-KTP loud and clear. Apabila Presiden tidak melaksanakan kewajiban UU berarti Presiden melanggar UU dan bisa diminta pertanggungjawabannya secara kelembagaan," ucap Agus.
Jika kemudian ada penyimpangan dan pelanggaran atau korupsi di dalam pengadaannya, kata Agus, kini sepenuhnya menjadi ranah hukum yang harus diusut tuntas, tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih, harus transparan, akuntabel dan profesional.
"Hindari politik kepentingan," kata Agus.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto menyikapi pernyataan Mirwan Amir yang menyebut nama SBY dalam sidang lanjutan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (25/1/2018). (Baca juga: Nama SBY Disebut dalam Sidang Setya Novanto )
Agus mengatakan, Undang-Undang tahun 2006 dan UU 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dengan terang dan jelas menyebut penduduk hanya diperbolehkan memiliki satu KTP yang tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Program e-KTP, kata Agus, dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP.
Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Fakta tersebut, lanjut Agus, memberi peluang penduduk yang ingin berbuat curang, misalnya untuk menghindari pajak, memperlancar korupsi atau kejahatan lainnya.
"Oleh karena itu, Kemendagri menerapkan suatu sistem informasi kependudukan yang berbasiskan teknologi, yaitu kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-el," ucap Agus melalui keterangan tertulis, Jumat (26/1/2018).
Untuk pelaksanaan tehnis, tutur Agus, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan.
Agus mengatakan, penerbitan perpres tentang penerapan e-KTP tersebut merupakan bagian dari upaya Presiden melaksanakan amanah Undang Undang.
"Landasan kebijakan e-KTP loud and clear. Apabila Presiden tidak melaksanakan kewajiban UU berarti Presiden melanggar UU dan bisa diminta pertanggungjawabannya secara kelembagaan," ucap Agus.
Jika kemudian ada penyimpangan dan pelanggaran atau korupsi di dalam pengadaannya, kata Agus, kini sepenuhnya menjadi ranah hukum yang harus diusut tuntas, tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih, harus transparan, akuntabel dan profesional.
"Hindari politik kepentingan," kata Agus.
(dam)