Jokowi Diminta Tolak Usulan Jenderal Polisi Jadi Plt Gubernur
A
A
A
JAKARTA - Rencana penunjukan dua perwira tinggi Polri untuk menjadi pelaksana tugas (plt) gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara menjadi perhatian publik dan menimbulkan prokontra.
Seperti diberitakan sebelumnya, dua perwira tinggi Polri, yakni Inspektur Jenderal Polisi M Iriawan diusulkan menjadi plt gubernur Jawa Barat (Jabar) dan Inspektur Jenderal Polisi Martuani Sormin sebagai plt gubernur Sumatera Utara (Sumut).
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mempertanyakan alasan di balik rencana menunjuk dua pati Polri menjadi plt gubernur.
Pertama, saat ini gubernur yang menjabat di dua provinsi tersebut bukan kontestan. "Itu artinya tak ada kekosongan kekuasaan yang mengharuskan Mendagri menunjuk plt," kata Adi saat dihubungi SINDOnews, Jumat (26/1/2018).
Kedua, kata dia, jika alasannya karena faktor kemananan lantas kenapa penunjukkan jenderal polisi menjadi plt gubernur hanya di Jabar dan Sumut. "Kenapa hanya Jabar dan Sumut?" katanya. (Baca juga: Jenderal Polisi Akan Menjadi Plt Gubernur Jabar dan Sumut )
Menurut dia, Mendagri harus menjelaskan secara transparan kepada publik mengenai alasan penunjukkan plt gubernur untuk dua provinsi tersebut.
Ketiga, sambung dia, Mendagri harusnya belajar dari Pilkada Jakarta yang menyeramkan tapi tidak terjadi kerusuhan. Padahal, kata dia, plt gubernur Jakarta saat itu bukan jenderal aktif, tapi dari kalangan sipil.
Menurut Adi, bukan jaminan plt gubernur dari kalangan polisi akan membuat pilkada berlangsung aman. Dia menilai pilkada bukan semata soal keamanan, melainkan juga persoalan budaya politik yang matang.
"Bisa dicek, pilkada kita sudah maju, nyaris tak ada letupan sekalipun tensi persaingannya mengeras. Saya Justru khawatir, hadirnya plt dari kalangan polisi hanya akan memanaskan suhu politik setempat," ujar Adi.
Keempat, kata Adi, jangan sampai ada kesan Mendagri tidak percaya kepada birokrasi. Padahal banyak birokrasi di bawah kementerian yang layak menjadi plt gubernur, bukan malah menunjuk dari kalangan eksternal.
Kelima, tambah Adi, publik waswas penunjukan plt gubernur dari kepolisian hanya akan membuka ruang kembalinya polisi dalam politik, semacam dualisme fungsi kepolisian.
Padahal, negara ini sudah bersusah payah mengembalikan polisi dan TNI ke barak setelah keadaan aman.
Apalagi, kata dia, dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) disebutkan abdi negara harus netral.
Oleh karena itu, kata dia, ASN harus dijauhkan dari anasir-anasir yang berpotensi menyeret ASN seperti polisi tergoda ke politik. "Oleh sebab itu, melihat kondisi yang ada, sepertinya Jokowi harus menolak usulan dua jenderal aktif polisi ini untuk jadi plt Gubernur. Jika pun harus ada plt, masih banyak dari kalangan birokrasi yang layak untuk jadi plt," tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, dua perwira tinggi Polri, yakni Inspektur Jenderal Polisi M Iriawan diusulkan menjadi plt gubernur Jawa Barat (Jabar) dan Inspektur Jenderal Polisi Martuani Sormin sebagai plt gubernur Sumatera Utara (Sumut).
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno mempertanyakan alasan di balik rencana menunjuk dua pati Polri menjadi plt gubernur.
Pertama, saat ini gubernur yang menjabat di dua provinsi tersebut bukan kontestan. "Itu artinya tak ada kekosongan kekuasaan yang mengharuskan Mendagri menunjuk plt," kata Adi saat dihubungi SINDOnews, Jumat (26/1/2018).
Kedua, kata dia, jika alasannya karena faktor kemananan lantas kenapa penunjukkan jenderal polisi menjadi plt gubernur hanya di Jabar dan Sumut. "Kenapa hanya Jabar dan Sumut?" katanya. (Baca juga: Jenderal Polisi Akan Menjadi Plt Gubernur Jabar dan Sumut )
Menurut dia, Mendagri harus menjelaskan secara transparan kepada publik mengenai alasan penunjukkan plt gubernur untuk dua provinsi tersebut.
Ketiga, sambung dia, Mendagri harusnya belajar dari Pilkada Jakarta yang menyeramkan tapi tidak terjadi kerusuhan. Padahal, kata dia, plt gubernur Jakarta saat itu bukan jenderal aktif, tapi dari kalangan sipil.
Menurut Adi, bukan jaminan plt gubernur dari kalangan polisi akan membuat pilkada berlangsung aman. Dia menilai pilkada bukan semata soal keamanan, melainkan juga persoalan budaya politik yang matang.
"Bisa dicek, pilkada kita sudah maju, nyaris tak ada letupan sekalipun tensi persaingannya mengeras. Saya Justru khawatir, hadirnya plt dari kalangan polisi hanya akan memanaskan suhu politik setempat," ujar Adi.
Keempat, kata Adi, jangan sampai ada kesan Mendagri tidak percaya kepada birokrasi. Padahal banyak birokrasi di bawah kementerian yang layak menjadi plt gubernur, bukan malah menunjuk dari kalangan eksternal.
Kelima, tambah Adi, publik waswas penunjukan plt gubernur dari kepolisian hanya akan membuka ruang kembalinya polisi dalam politik, semacam dualisme fungsi kepolisian.
Padahal, negara ini sudah bersusah payah mengembalikan polisi dan TNI ke barak setelah keadaan aman.
Apalagi, kata dia, dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) disebutkan abdi negara harus netral.
Oleh karena itu, kata dia, ASN harus dijauhkan dari anasir-anasir yang berpotensi menyeret ASN seperti polisi tergoda ke politik. "Oleh sebab itu, melihat kondisi yang ada, sepertinya Jokowi harus menolak usulan dua jenderal aktif polisi ini untuk jadi plt Gubernur. Jika pun harus ada plt, masih banyak dari kalangan birokrasi yang layak untuk jadi plt," tuturnya.
(dam)