Pemerintah Diminta Tegas Sikapi Isu SARA di Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta tegas menegakkan hukum apabila ada pihak-pihak yang menggunakan isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) saat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018, dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019.
Pengajar Program Pascasarjana Kajian ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Prof Dr Bambang Widodo Umar mengatakan, secara umum demokrasi di Indonesia belum berjalan dengan baik.
Buktinya, kata dia, pilkada atau pilpres saat ini cenderung masih menonjol sebagai ajang perebutan kekuasaan, bukan ajang adu ide dan program pembangunan.
Alhasil, sambung dia, berbagai cara dilakukan oleh masing-masing kelompok untuk meraih kemenangan tanpa memikirkan dampak sosial kemasyarakatan yang timbul.
“Sebagai negara berideologi Pancasila dan memiliki Bhinneka Tunggal Ika seharusnya para penyelenggara negara mampu menekan pelaksana atau peserta (parpol-red) agar pilkada berjalan sesuai aturan yang berlaku dan telah disepakati untuk tidak melakukan cara-cara kotor,” tutur Bambang, di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Karena itu, lanjut Bambang, tindakan tegas penyelenggara pilkada harus diwujudkan dengan tidak menoleransi siapa pun peserta yang menyimpang dari aturan.
Dia menilai isu SARA menjadi momok paling berbahaya bagi keutuhan NKRI. Apalagi, kata dia, sekarang banyak kelompok yang memanfaatkan kecanggihan media sosial untuk menyebar propaganda, baik berupa narasi kekerasan, ujaran kebencian, maupun hoax.
“Gejolak masyarakat yang beberapa waktu lalu sempat naik tensinya akibat masih belum terwujudnya harapan besar bangsa ini yang dari dulu sampai kini belum terwujud, yaitu tatanan kehidupan bangsa dan negara yang harmoni sesuai karakteristik sosial, politik, hukum, dan ekonomi Indonesia,” tutur Bambang.
Dia mengatakan, kemajuan ilmu pengetahuan, terutama internet (dunia maya) merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari.
Sayangnya, kata dia, kemajuan teknologi belum sepenuhnya dimanfaatkan secara benar. Bahkan, ada sebagian orang yang menjadikan sebagai peluang yang mengarah terjadinya kontradiksi.
Bambang menilai kondisi itu bukan karena kesalahan sistem, tetapi ada pihak yang sengaja menyalahgunakan dunia maya untuk kepentingan kelompok tertentu yang sejauh ini belum ditindak secara tegas dan obyektif.
Kondisi tersebut, sambung dia, dimanfaatkan mereka untuk melakukan propaganda negatif di dunia maya, terutama yang menyangkut isu SARA.
Bambang berharap masyarakat memiliki kekebalan dari propaganda atau kampanye hitam dalam pilkada serentak nanti. Salah satu caranya memberi kepercayaan kepada para pimpinan nonformal di masyarakat seperti tokoh masyarakat, ketua adat untuk memperkuat nilai-nilai dan tradisi kepada warganya agar menjaga keharmonisan dan kedamaian, di samping terus memelihara dan merawat nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pengajar Program Pascasarjana Kajian ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Prof Dr Bambang Widodo Umar mengatakan, secara umum demokrasi di Indonesia belum berjalan dengan baik.
Buktinya, kata dia, pilkada atau pilpres saat ini cenderung masih menonjol sebagai ajang perebutan kekuasaan, bukan ajang adu ide dan program pembangunan.
Alhasil, sambung dia, berbagai cara dilakukan oleh masing-masing kelompok untuk meraih kemenangan tanpa memikirkan dampak sosial kemasyarakatan yang timbul.
“Sebagai negara berideologi Pancasila dan memiliki Bhinneka Tunggal Ika seharusnya para penyelenggara negara mampu menekan pelaksana atau peserta (parpol-red) agar pilkada berjalan sesuai aturan yang berlaku dan telah disepakati untuk tidak melakukan cara-cara kotor,” tutur Bambang, di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Karena itu, lanjut Bambang, tindakan tegas penyelenggara pilkada harus diwujudkan dengan tidak menoleransi siapa pun peserta yang menyimpang dari aturan.
Dia menilai isu SARA menjadi momok paling berbahaya bagi keutuhan NKRI. Apalagi, kata dia, sekarang banyak kelompok yang memanfaatkan kecanggihan media sosial untuk menyebar propaganda, baik berupa narasi kekerasan, ujaran kebencian, maupun hoax.
“Gejolak masyarakat yang beberapa waktu lalu sempat naik tensinya akibat masih belum terwujudnya harapan besar bangsa ini yang dari dulu sampai kini belum terwujud, yaitu tatanan kehidupan bangsa dan negara yang harmoni sesuai karakteristik sosial, politik, hukum, dan ekonomi Indonesia,” tutur Bambang.
Dia mengatakan, kemajuan ilmu pengetahuan, terutama internet (dunia maya) merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari.
Sayangnya, kata dia, kemajuan teknologi belum sepenuhnya dimanfaatkan secara benar. Bahkan, ada sebagian orang yang menjadikan sebagai peluang yang mengarah terjadinya kontradiksi.
Bambang menilai kondisi itu bukan karena kesalahan sistem, tetapi ada pihak yang sengaja menyalahgunakan dunia maya untuk kepentingan kelompok tertentu yang sejauh ini belum ditindak secara tegas dan obyektif.
Kondisi tersebut, sambung dia, dimanfaatkan mereka untuk melakukan propaganda negatif di dunia maya, terutama yang menyangkut isu SARA.
Bambang berharap masyarakat memiliki kekebalan dari propaganda atau kampanye hitam dalam pilkada serentak nanti. Salah satu caranya memberi kepercayaan kepada para pimpinan nonformal di masyarakat seperti tokoh masyarakat, ketua adat untuk memperkuat nilai-nilai dan tradisi kepada warganya agar menjaga keharmonisan dan kedamaian, di samping terus memelihara dan merawat nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
(dam)