Justice Collaborator Jangan Jadi Alat Koruptor Ringankan Hukuman
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih jeli dalam mempertimbangkan status saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) yang diajukan terdakwa kasus dugaan korupsi e-KTP Setya Novanto.
Yenti mengatakan, salah satu hal yang harus dipertimbangkan KPK dalam memberikan status justice collaborator yakni bahwa penyidik bisa memeroleh keterangan lebih banyak untuk membongkar kasus korupsi e-KTP dari Setnov.
"JC (justice collaborator) diperlukan untuk membantu penyidik mengungkap pelaku lain yang tak bisa dibuka penyidik. Outputnya itu, paling tidak ada pelaku yang lebih besar," ujar Yenti kepada SINDOnews, Jumat (12/1/2018).
Perempuan yang juga anggota panitia seleksi pimpinan KPK itu mewanti-wanti agar status justice collaborator tidak dimanfaatkan untuk meringankan hukuman para koruptor.
"Status justice collaborator akan berdampak pada dakwaan, tuntutan, dan putusan ringan. Tentu itu yang dicari koruptor. Jangan sampai itu dijadikan upaya meringankan hukuman," ucap Yenti.
Seperti diketahui, terdakwa perkara dugaan korupsi e-KTP, Setya Novanto (Setnov) resmi mengajukan justice collaborator atau pelaku yang akan bekerja sama dengan KPK, Rabu 10 Januari 2018.
Sebagaimana hal tersebut diamini oleh Juru Bicara KPK, Febri Diansyah. Kata Febri, pihaknya memang telah menerima surat pengajuan JC tersebut dari tim kuasa hukum Setnov.
"Tadi saya cek permohonan JC sudah diajukan ke penyidik," ujar Febri di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, (10/1/2018).
Selanjutnya, sambung Febri, surat pengajuan justice collaborator dari pihak Setnov tersebut akan dipelajari oleh pimpinan dan penyidik KPK. Sebab, Setnov harus memenuhi persyaratan terlebih dahulu untuk mendapatkan status justice collaborator.
"Tentu nanti akan dibaca dan dipelajari dulu oleh tim dan dibahas bersama. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu," terangnya.
Yenti mengatakan, salah satu hal yang harus dipertimbangkan KPK dalam memberikan status justice collaborator yakni bahwa penyidik bisa memeroleh keterangan lebih banyak untuk membongkar kasus korupsi e-KTP dari Setnov.
"JC (justice collaborator) diperlukan untuk membantu penyidik mengungkap pelaku lain yang tak bisa dibuka penyidik. Outputnya itu, paling tidak ada pelaku yang lebih besar," ujar Yenti kepada SINDOnews, Jumat (12/1/2018).
Perempuan yang juga anggota panitia seleksi pimpinan KPK itu mewanti-wanti agar status justice collaborator tidak dimanfaatkan untuk meringankan hukuman para koruptor.
"Status justice collaborator akan berdampak pada dakwaan, tuntutan, dan putusan ringan. Tentu itu yang dicari koruptor. Jangan sampai itu dijadikan upaya meringankan hukuman," ucap Yenti.
Seperti diketahui, terdakwa perkara dugaan korupsi e-KTP, Setya Novanto (Setnov) resmi mengajukan justice collaborator atau pelaku yang akan bekerja sama dengan KPK, Rabu 10 Januari 2018.
Sebagaimana hal tersebut diamini oleh Juru Bicara KPK, Febri Diansyah. Kata Febri, pihaknya memang telah menerima surat pengajuan JC tersebut dari tim kuasa hukum Setnov.
"Tadi saya cek permohonan JC sudah diajukan ke penyidik," ujar Febri di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, (10/1/2018).
Selanjutnya, sambung Febri, surat pengajuan justice collaborator dari pihak Setnov tersebut akan dipelajari oleh pimpinan dan penyidik KPK. Sebab, Setnov harus memenuhi persyaratan terlebih dahulu untuk mendapatkan status justice collaborator.
"Tentu nanti akan dibaca dan dipelajari dulu oleh tim dan dibahas bersama. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu," terangnya.
(kri)