Kekerasan Anak dan Keluarga
A
A
A
KEKERASAN pada anak di Indonesia semakin memprihatinkan baik secara kualitas maupun kuantitas. Pemerintah harus segera mencari solusi permanen terkait makin maraknya kekerasan pada anak yang terus terjadi di Tanah Air
Setidaknya ada tiga kejadian kekerasan pada anak dalam dua minggu terakhir yang benar-benar membuat bulu kuduk kita berdiri. Adalah Gio, bayi yang masih berusia 16 bulan di Kota Surabaya Jawa Timur terpaksa meregang nyawa setelah dibanting oleh ayah kandungnya. Sebelumnya, seorang ibu muda mengajak bunuh diri bayinya yang masih berusia 4 bulan dengan terjun dari lantai 10 di sebuah hotel di Pati, Jawa Tengah.
Yang juga tak kalah mengerikan terjadi di Cirebon, Jawa Barat. Seorang ayah tega membunuh anak kandungnya yang baru beruia 14 bulan dengan memberikan minuman susu yang dicampur racun tikus.
Tiga contoh kasus kekerasan anak di atas sudah bisa memberikan gambaran bagaimana masalah kekerasan pada anak ini sudah dalam taraf di luar nalar kita. Yang ironis lagi adalah kekerasan tersebut terjadi di dalam keluarga dan dilakukan oleh orang terdekatnya. Bayangkan, orang yang seharusnya sebagai pelindung malah menjadi ‘’penjagal’’ bagi sang anak. Kekerasaan anak di keluarga memang sangat sulit diketahui. Karena anak tak berdaya dan takut untuk lapor. Rata-rata masyarakat tahu ketika anak sudah menjadi korban.
Secara umum, ada banyak jenis kekerasan pada anak mulai kekerasan fisik (seperti memukul), kekerasan seksual, emosional (seperti merendahkan), pengabaian (tak ada tempat tinggal) hingga eksploitasi (pekerja anak). Dan diyakini kasus-kasus kekerasan anak dalam rumah tangga di Indonesia sangat banyak terjadi. Data yang dilansir oleh Global Report 2017: Ending Violence in Childhood menyebut sebanyak 73,7% anak berusia 1-14 tahun di Indonesia mengalami kekerasan berbagai jenis di rumah. Angka ini tentu mencengangkan dan wajib menjadi perhatian khusus kita semua terutama pemerintah dan lembaga-lembaga terkait yang seharusnya mencari solusi komprehensif untuk menghentikan kekerasan anak yang kian memprihatinkan ini. Tak berlebihan jika kekerasan anak ini sudah bisa dikategorikan masuk dalam kondisi darurat. Hal ini belum berbicara kekerasan pada anak yang dilakukan oleh masyarakat lingkungan di luar rumah baik di sekolah ataupun masyarakat umum.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyebut jumlah aduan kasus kekerasan pada anak yang diterima KPAI selama 2017 masih sangat tinggi, yakni 3.849 kasus. Tahun 2016, jumlah aduan yang masuk ke KPAI berjumlah 4.620 kasus. Secara kuantitas memang menurun, namun bukan berarti angka itu menunjukkan kasus kekerasan anak menurun. Sebab, saat ini banyak bermunculan lembaga-lembaga perlindungan anak di daerah. Para korban kekerasan pada anak dimungkinkan juga banyak ditangani oleh lembaga-lembaga baru di daerah tersebut. intinya adalah jumlah kekerasan apada anak masih sangat tinggi. kalau dipukul rata, jumlah setiap tahun angka kekerasan terhadap anak mencapai 3.700 dan rata-rata terjadi 15 kasus setiap harinya.
Ada banyak penyebab mengapa sampai terjadi kekerasan anak dalam keluarga mulai dari penyimpangan perilaku, stress yang berkepanjangan, beban masalah yang tak bisa dipecahkan selama bertahun-tahun, belum siap berumah tangga, pengaruh globalisasi hingga masalah ekonomi. Faktor yang terakhir paling sering menjadi alasan orang tua tega menganiaya anak kandungnya.
Berkaca pada hal-hal di atas, pemerintah harus cepat menangkap fenomena ini untuk selanjutnya dicarikan solusi yang komprehensif. Tanpa adanya solusi yang lengkap, kejadian kekerasan pada anak akan terus terulang. Dan secara jangka panjang, kekerasan anak ini akan mengancam tumbuhnya generasi penerus bangsa.
Di sisi lain, penanaman nilai-nilai moral dan agama sejak dini di keluarga sangat diperlukan untuk membentuk generasi kuat dan tangguh dalam menghadapi persaingan hidup yang makin kompleks. Di sini, orang tua pun dituntut memiliki kematangan emosional agar siap menyelesaikan setiap masalah yang timbul secara baik.
Setidaknya ada tiga kejadian kekerasan pada anak dalam dua minggu terakhir yang benar-benar membuat bulu kuduk kita berdiri. Adalah Gio, bayi yang masih berusia 16 bulan di Kota Surabaya Jawa Timur terpaksa meregang nyawa setelah dibanting oleh ayah kandungnya. Sebelumnya, seorang ibu muda mengajak bunuh diri bayinya yang masih berusia 4 bulan dengan terjun dari lantai 10 di sebuah hotel di Pati, Jawa Tengah.
Yang juga tak kalah mengerikan terjadi di Cirebon, Jawa Barat. Seorang ayah tega membunuh anak kandungnya yang baru beruia 14 bulan dengan memberikan minuman susu yang dicampur racun tikus.
Tiga contoh kasus kekerasan anak di atas sudah bisa memberikan gambaran bagaimana masalah kekerasan pada anak ini sudah dalam taraf di luar nalar kita. Yang ironis lagi adalah kekerasan tersebut terjadi di dalam keluarga dan dilakukan oleh orang terdekatnya. Bayangkan, orang yang seharusnya sebagai pelindung malah menjadi ‘’penjagal’’ bagi sang anak. Kekerasaan anak di keluarga memang sangat sulit diketahui. Karena anak tak berdaya dan takut untuk lapor. Rata-rata masyarakat tahu ketika anak sudah menjadi korban.
Secara umum, ada banyak jenis kekerasan pada anak mulai kekerasan fisik (seperti memukul), kekerasan seksual, emosional (seperti merendahkan), pengabaian (tak ada tempat tinggal) hingga eksploitasi (pekerja anak). Dan diyakini kasus-kasus kekerasan anak dalam rumah tangga di Indonesia sangat banyak terjadi. Data yang dilansir oleh Global Report 2017: Ending Violence in Childhood menyebut sebanyak 73,7% anak berusia 1-14 tahun di Indonesia mengalami kekerasan berbagai jenis di rumah. Angka ini tentu mencengangkan dan wajib menjadi perhatian khusus kita semua terutama pemerintah dan lembaga-lembaga terkait yang seharusnya mencari solusi komprehensif untuk menghentikan kekerasan anak yang kian memprihatinkan ini. Tak berlebihan jika kekerasan anak ini sudah bisa dikategorikan masuk dalam kondisi darurat. Hal ini belum berbicara kekerasan pada anak yang dilakukan oleh masyarakat lingkungan di luar rumah baik di sekolah ataupun masyarakat umum.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyebut jumlah aduan kasus kekerasan pada anak yang diterima KPAI selama 2017 masih sangat tinggi, yakni 3.849 kasus. Tahun 2016, jumlah aduan yang masuk ke KPAI berjumlah 4.620 kasus. Secara kuantitas memang menurun, namun bukan berarti angka itu menunjukkan kasus kekerasan anak menurun. Sebab, saat ini banyak bermunculan lembaga-lembaga perlindungan anak di daerah. Para korban kekerasan pada anak dimungkinkan juga banyak ditangani oleh lembaga-lembaga baru di daerah tersebut. intinya adalah jumlah kekerasan apada anak masih sangat tinggi. kalau dipukul rata, jumlah setiap tahun angka kekerasan terhadap anak mencapai 3.700 dan rata-rata terjadi 15 kasus setiap harinya.
Ada banyak penyebab mengapa sampai terjadi kekerasan anak dalam keluarga mulai dari penyimpangan perilaku, stress yang berkepanjangan, beban masalah yang tak bisa dipecahkan selama bertahun-tahun, belum siap berumah tangga, pengaruh globalisasi hingga masalah ekonomi. Faktor yang terakhir paling sering menjadi alasan orang tua tega menganiaya anak kandungnya.
Berkaca pada hal-hal di atas, pemerintah harus cepat menangkap fenomena ini untuk selanjutnya dicarikan solusi yang komprehensif. Tanpa adanya solusi yang lengkap, kejadian kekerasan pada anak akan terus terulang. Dan secara jangka panjang, kekerasan anak ini akan mengancam tumbuhnya generasi penerus bangsa.
Di sisi lain, penanaman nilai-nilai moral dan agama sejak dini di keluarga sangat diperlukan untuk membentuk generasi kuat dan tangguh dalam menghadapi persaingan hidup yang makin kompleks. Di sini, orang tua pun dituntut memiliki kematangan emosional agar siap menyelesaikan setiap masalah yang timbul secara baik.
(mhd)