Fenomena Calon Tunggal
A
A
A
Komisi Pemilihan Umum (KPU) di 171 daerah resmi menutup pendaftaran pasangan calon untuk Pilkada Serentak 2018 pada pukul 24.00 tadi malam. Pendaftaran ini dibuka selama tiga hari, yakni sejak 8 Januari 2018. Satu fakta menarik muncul pada tahapan pendaftaran ini: kembali munculnya pasangan calon tunggal. Kejadian ini mengulang peristiwa yang terjadi pada dua pilkada serentak sebelumnya, yakni pada 2015 dan 2017.
Pada Pilkada 2015 yang digelar di 269 daerah, tiga daerah menggelar pilkada dengan hanya satu pasangan calon. Jumlah ini meningkat di pilkada serentak dua tahun berikutnya. Dari 101 daerah yang melakukan pemilihan, jumlah pasangan calon yang melawan kotak kosong menjadi sembilan pasangan.
Kali ini jumlah calon tunggal lebih banyak, data sementara ada 19 pasangan, atau meningkat lebih 100% dibanding tahun lalu. Tiga calon tunggal terdapat di Provinsi Banten, yakni Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kabupaten Lebak.
Di Kota Tangerang pasangan Arief Wismansyah-Sachrudin melenggang sendirian. Pasangan ini sama sekali tidak memiliki penantang karena 10 partai berkumpul mendukungnya. Bahkan ada dua partai nonparlemen yang ikut mendukung.
Di Kabupaten Tangerang, pasangan Ahmed Zaki Iskandar-Mad Romli juga tanpa penantang. Ahmed Zaki adalah bupati petahana. Pasangan ini memborong dukungan total 12 partai dengan total 50 kursi di DPRD. Setali tiga uang di Kabupaten Lebak. Pasangan petahana Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi juga tidak memiliki penantang.
Daerah lain yang juga calon tunggal antara lain Pidie Jaya (Aceh), Kerinci (Jambi), Kota Palembang, Kota Prabumilih (Sumatera Selatan), Purwakarta, Kota Banjar (Jawa Barat), Karanganyar (Jawa Tengah), Sinjai (Sulawesi Selatan), serta Puncak (Papua).
Fenomena calon tunggal pilkada menimbulkan polemik dan pro-kontra sejak 2015. Kondisi itu yang membuat sejumlah warga mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada September 2015, MK akhirnya memutuskan calon tunggal diperbolehkan di pilkada, namun KPU harus tetap berupaya menciptakan kontestasi, salah satunya dengan membuka kembali pendaftaran calon di daerah bersangkutan.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, ada tiga hari yang disediakan bagi partai politik yang belum memiliki calon untuk kembali membangun koalisi sebelum mendaftar ke KPU. Adapun daerah yang calonnya tunggal baru akan diumumkan KPU hari ini.
Seperti yang lalu-lalu, maraknya calon tunggal tak pelak menjadikan partai politik sebagai sasaran kritik. Partai dinilai terlalu pragmatis mengejar kemenangan dan kekuasaan dan mengabaikan kepentingan rakyat yang seyogianya diberi pilihan calon pemimpin. Hampir seluruh calon tunggal di pilkada adalah petahana yang berkuasa.
Lalu, bagaimana nasib rakyat di daerah yang tidak memiliki alternatif pilihan calon pemimpin? Katakanlah, ada yang tidak mendukung pasangan calon tunggal yang ada. Memang ada opsi yang disediakan bagi pemilih saat pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS), yakni “setuju” atau “tidak setuju” dengan pasangan calon yang gambarnya terpampang di kertas suara. Namun, belajar dari pengalaman sebelumnya, semua calon tunggal menang telak atas kotak kosong yang menjadi lawannya dengan perolehan suara meyakinkan, yakni di atas 60%.
Hingga pilkada serentak tahap ketiga pada 2018 ini, belum ada solusi konkret yang bisa disepakati pemerintah maupun DPR dalam upaya mencegah calon tunggal. Pemerintah saat mengajukan draf revisi UU Pilkada ke DPR pada 2016 lalu sempat memuat aturan sanksi bagi parpol yang tidak mengajukan calon. Itu diatur pada Pasal 203 ayat (5).
Pasal tersebut berbunyi: “Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik tidak mengajukan bakal Pasangan Calon, maka partai politik bersangkutan dikenakan sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya.” Namun, ketentuan ini mendapat penolakan dari fraksi-fraksi di Komisi II DPR sehingga pasal tersebut tidak jadi diundangkan.
Ke depan, masyarakat seyogianya bisa dijamin haknya untuk memilih dan memilah calon kepala daerah yang dinilai layak memimpin daerahnya. Karena itu, calon tunggal seharusnya bisa dihindari. Sudah saatnya partai politik bersikap dewasa, salah satunya dengan bersedia dijatuhi sanksi jika memilih abstain atau tidak mendukung calon di pilkada. Selain itu perlu dipikirkan pembatasan dukungan parpol terhadap calon. Jika ini terjadi, potensi calon tunggal bisa lebih bisa diperkecil.
Pada Pilkada 2015 yang digelar di 269 daerah, tiga daerah menggelar pilkada dengan hanya satu pasangan calon. Jumlah ini meningkat di pilkada serentak dua tahun berikutnya. Dari 101 daerah yang melakukan pemilihan, jumlah pasangan calon yang melawan kotak kosong menjadi sembilan pasangan.
Kali ini jumlah calon tunggal lebih banyak, data sementara ada 19 pasangan, atau meningkat lebih 100% dibanding tahun lalu. Tiga calon tunggal terdapat di Provinsi Banten, yakni Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kabupaten Lebak.
Di Kota Tangerang pasangan Arief Wismansyah-Sachrudin melenggang sendirian. Pasangan ini sama sekali tidak memiliki penantang karena 10 partai berkumpul mendukungnya. Bahkan ada dua partai nonparlemen yang ikut mendukung.
Di Kabupaten Tangerang, pasangan Ahmed Zaki Iskandar-Mad Romli juga tanpa penantang. Ahmed Zaki adalah bupati petahana. Pasangan ini memborong dukungan total 12 partai dengan total 50 kursi di DPRD. Setali tiga uang di Kabupaten Lebak. Pasangan petahana Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi juga tidak memiliki penantang.
Daerah lain yang juga calon tunggal antara lain Pidie Jaya (Aceh), Kerinci (Jambi), Kota Palembang, Kota Prabumilih (Sumatera Selatan), Purwakarta, Kota Banjar (Jawa Barat), Karanganyar (Jawa Tengah), Sinjai (Sulawesi Selatan), serta Puncak (Papua).
Fenomena calon tunggal pilkada menimbulkan polemik dan pro-kontra sejak 2015. Kondisi itu yang membuat sejumlah warga mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada September 2015, MK akhirnya memutuskan calon tunggal diperbolehkan di pilkada, namun KPU harus tetap berupaya menciptakan kontestasi, salah satunya dengan membuka kembali pendaftaran calon di daerah bersangkutan.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, ada tiga hari yang disediakan bagi partai politik yang belum memiliki calon untuk kembali membangun koalisi sebelum mendaftar ke KPU. Adapun daerah yang calonnya tunggal baru akan diumumkan KPU hari ini.
Seperti yang lalu-lalu, maraknya calon tunggal tak pelak menjadikan partai politik sebagai sasaran kritik. Partai dinilai terlalu pragmatis mengejar kemenangan dan kekuasaan dan mengabaikan kepentingan rakyat yang seyogianya diberi pilihan calon pemimpin. Hampir seluruh calon tunggal di pilkada adalah petahana yang berkuasa.
Lalu, bagaimana nasib rakyat di daerah yang tidak memiliki alternatif pilihan calon pemimpin? Katakanlah, ada yang tidak mendukung pasangan calon tunggal yang ada. Memang ada opsi yang disediakan bagi pemilih saat pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS), yakni “setuju” atau “tidak setuju” dengan pasangan calon yang gambarnya terpampang di kertas suara. Namun, belajar dari pengalaman sebelumnya, semua calon tunggal menang telak atas kotak kosong yang menjadi lawannya dengan perolehan suara meyakinkan, yakni di atas 60%.
Hingga pilkada serentak tahap ketiga pada 2018 ini, belum ada solusi konkret yang bisa disepakati pemerintah maupun DPR dalam upaya mencegah calon tunggal. Pemerintah saat mengajukan draf revisi UU Pilkada ke DPR pada 2016 lalu sempat memuat aturan sanksi bagi parpol yang tidak mengajukan calon. Itu diatur pada Pasal 203 ayat (5).
Pasal tersebut berbunyi: “Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik tidak mengajukan bakal Pasangan Calon, maka partai politik bersangkutan dikenakan sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya.” Namun, ketentuan ini mendapat penolakan dari fraksi-fraksi di Komisi II DPR sehingga pasal tersebut tidak jadi diundangkan.
Ke depan, masyarakat seyogianya bisa dijamin haknya untuk memilih dan memilah calon kepala daerah yang dinilai layak memimpin daerahnya. Karena itu, calon tunggal seharusnya bisa dihindari. Sudah saatnya partai politik bersikap dewasa, salah satunya dengan bersedia dijatuhi sanksi jika memilih abstain atau tidak mendukung calon di pilkada. Selain itu perlu dipikirkan pembatasan dukungan parpol terhadap calon. Jika ini terjadi, potensi calon tunggal bisa lebih bisa diperkecil.
(pur)