Ritel Masih Musim Gugur
A
A
A
TAK kurang dari 50 gerai ritel diprediksi bakal tutup pada tahun ini. Apakah ini bagian dari kelanjutan musim gugur bisnis ritel yang terjadi pada tahun lalu? Para pengusaha ritel mencoba memperhalus bahasanya dengan menghindari istilah musim gugur, tetapi membahasakannya dengan penyebutan mengubah format bisnis dan relokasi. Pihak Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan bahwa jumlah gerai yang akan tutup tersebut masih sebuah prediksi, tetapi yang pasti semuanya anggota Aprindo.
Format bisnis baru sektor ritel seperti apa gerangan? Ketua Umum Aprindo Roy Mandey sedikit membuka rahasia bahwa format bisnisnya "disulap" menjadi gerai ritel mixed-use alias campuran. Jadi ke depan gerai ritel akan dilengkapi berbagai fasilitas berupa sarana hiburan hingga kuliner.
Namanya juga pengusaha harus pintar memutar otak untuk mencari peluang dengan membuat berbagai terobosan. Dengan mengusung format bisnis campuran para pengusaha ritel konvensional merasa lebih optimistis untuk bertarung dengan bisnis digital yang kian marak belakangan ini yang bakal menjadi ancaman serius ke depan.
Dengan menjalankan konsep mixed-use, gerai ritel tidak monoton lagi karena berpadu dengan sarana hiburan mulai dari bioskop, area permainan, restoran hingga kafe yang sekarang booming di tengah masyarakat. Gabungan berbagai fasilitas tersebut menjadi nilai tambah tersendiri bagi konsumen daripada harus berbelanja pada toko online. Dengan format bisnis campuran itu, pihak Aprindo optimistis pendapatan anggotanya bisa terdongkrak.
Merespons langkah pengusaha ritel untuk tetap survive di masa sulit ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita memberikan acungan jempol. Apa yang dilakukan pengusaha ritel yang tergabung di bawah payung Aprindo adalah sebuah langkah yang tepat.
Enggartiasto yang juga berdarah pengusaha menyatakan para pengusaha ritel konvensional memang tidak bisa diam di tempat kalau tidak ingin kehilangan konsumen. Apalagi gaya belanja masyarakat dewasa ini sudah terjadi pergeseran, misalnya masyarakat lebih senang belanja pengalaman ketimbang barang.
Bentuk konkret dari belanja pengalaman di antaranya liburan dan jalan-jalan alias wisata. Hal itu tecermin dari pertumbuhan angka signifikan untuk penumpang moda transportasi kereta api dan pesawat terbang serta tingkat keterisian hotel yang tinggi, terutama di daerah tujuan wisata.
Memang tahun lalu peruntungan nasib industri ritel di dalam negeri berada dalam kondisi sangat buruk bila dibandingkan dengan industri atau sektor bisnis lain yang juga mengalami pelambatan kinerja. Sejumlah peritel besar terpaksa harus menutup gerainya. Pelambatan pertumbuhan industri ritel sudah dideteksi pihak Aprindo sejak lima tahun sebelumnya.
Kecenderungan pertumbuhan industri ritel yang menurun sudah terlihat sejak 2013. Berdasarkan data Aprindo, pertumbuhan industri ritel baru menembus 3,7% pada semester pertama 2017 dan diperkirkan total pertumbuhan sepanjang tahun ini berada di kisaran 6% hingga 7%. Bandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya yang masih tercatat sebesar 10%.
Terganggunya pertumbuhan industri ritel belakangan ini ada yang mengaitkannya dengan perkembangan bisnis digital atau e-commerce yang menyedot perhatian masyarakat. Namun tudingan tersebut dibantah Chief Executive Officer (CEO) Tokopedia Wiliiam Tanuwijaya dengan menyodorkan angka bahwa transaksi e-commerce di Indonesia masih kecil, baru sekitar 1% dari total transaksi jual beli pada industri ritel seluruh Indonesia.
Bila dibandingkan dengan China, transaksi e-commerce di negeri ini belum ada apa-apanya. Transaksi e-commerce di Negeri Tirai Bambu tersebut sudah menembus angka 14%. Karena itu sulit untuk mengklaim bahwa bisnis digital telah membekukan gerai ritel konvensional.
Yang menarik dicermati, rontoknya industri ritel ternyata adalah persoalan global. Negara-negara terkenal dengan kehebatan bisnis ritelnya seperti Singapura, Amerika Serikat, dan Australia pun terpuruk. Bahkan lebih mengejutkan lagi peritel ternama Marks and Spencer asal Inggris mulai melepas kepemilikan gerai pada sejumlah negara.
Jadi agar sebuah bisnis survive memang selalu dibutuhkan inovasi dan kreativitas seraya menyesuaikan diri dengan perkembangan pola hidup masyarakat. Saatnya pengusaha Indonesia mandiri dalam kondisi sesulit apa pun karena di balik kesulitan selalu terdapat peluang.
Format bisnis baru sektor ritel seperti apa gerangan? Ketua Umum Aprindo Roy Mandey sedikit membuka rahasia bahwa format bisnisnya "disulap" menjadi gerai ritel mixed-use alias campuran. Jadi ke depan gerai ritel akan dilengkapi berbagai fasilitas berupa sarana hiburan hingga kuliner.
Namanya juga pengusaha harus pintar memutar otak untuk mencari peluang dengan membuat berbagai terobosan. Dengan mengusung format bisnis campuran para pengusaha ritel konvensional merasa lebih optimistis untuk bertarung dengan bisnis digital yang kian marak belakangan ini yang bakal menjadi ancaman serius ke depan.
Dengan menjalankan konsep mixed-use, gerai ritel tidak monoton lagi karena berpadu dengan sarana hiburan mulai dari bioskop, area permainan, restoran hingga kafe yang sekarang booming di tengah masyarakat. Gabungan berbagai fasilitas tersebut menjadi nilai tambah tersendiri bagi konsumen daripada harus berbelanja pada toko online. Dengan format bisnis campuran itu, pihak Aprindo optimistis pendapatan anggotanya bisa terdongkrak.
Merespons langkah pengusaha ritel untuk tetap survive di masa sulit ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita memberikan acungan jempol. Apa yang dilakukan pengusaha ritel yang tergabung di bawah payung Aprindo adalah sebuah langkah yang tepat.
Enggartiasto yang juga berdarah pengusaha menyatakan para pengusaha ritel konvensional memang tidak bisa diam di tempat kalau tidak ingin kehilangan konsumen. Apalagi gaya belanja masyarakat dewasa ini sudah terjadi pergeseran, misalnya masyarakat lebih senang belanja pengalaman ketimbang barang.
Bentuk konkret dari belanja pengalaman di antaranya liburan dan jalan-jalan alias wisata. Hal itu tecermin dari pertumbuhan angka signifikan untuk penumpang moda transportasi kereta api dan pesawat terbang serta tingkat keterisian hotel yang tinggi, terutama di daerah tujuan wisata.
Memang tahun lalu peruntungan nasib industri ritel di dalam negeri berada dalam kondisi sangat buruk bila dibandingkan dengan industri atau sektor bisnis lain yang juga mengalami pelambatan kinerja. Sejumlah peritel besar terpaksa harus menutup gerainya. Pelambatan pertumbuhan industri ritel sudah dideteksi pihak Aprindo sejak lima tahun sebelumnya.
Kecenderungan pertumbuhan industri ritel yang menurun sudah terlihat sejak 2013. Berdasarkan data Aprindo, pertumbuhan industri ritel baru menembus 3,7% pada semester pertama 2017 dan diperkirkan total pertumbuhan sepanjang tahun ini berada di kisaran 6% hingga 7%. Bandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya yang masih tercatat sebesar 10%.
Terganggunya pertumbuhan industri ritel belakangan ini ada yang mengaitkannya dengan perkembangan bisnis digital atau e-commerce yang menyedot perhatian masyarakat. Namun tudingan tersebut dibantah Chief Executive Officer (CEO) Tokopedia Wiliiam Tanuwijaya dengan menyodorkan angka bahwa transaksi e-commerce di Indonesia masih kecil, baru sekitar 1% dari total transaksi jual beli pada industri ritel seluruh Indonesia.
Bila dibandingkan dengan China, transaksi e-commerce di negeri ini belum ada apa-apanya. Transaksi e-commerce di Negeri Tirai Bambu tersebut sudah menembus angka 14%. Karena itu sulit untuk mengklaim bahwa bisnis digital telah membekukan gerai ritel konvensional.
Yang menarik dicermati, rontoknya industri ritel ternyata adalah persoalan global. Negara-negara terkenal dengan kehebatan bisnis ritelnya seperti Singapura, Amerika Serikat, dan Australia pun terpuruk. Bahkan lebih mengejutkan lagi peritel ternama Marks and Spencer asal Inggris mulai melepas kepemilikan gerai pada sejumlah negara.
Jadi agar sebuah bisnis survive memang selalu dibutuhkan inovasi dan kreativitas seraya menyesuaikan diri dengan perkembangan pola hidup masyarakat. Saatnya pengusaha Indonesia mandiri dalam kondisi sesulit apa pun karena di balik kesulitan selalu terdapat peluang.
(whb)