Dana Hibah-Bansos Rentan Dikapitalisasi untuk Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Dana hibah/bansos rentan dipolitisasi menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang digelar 27 Juni 2018. Anggaran ini dinilai efektif untuk mendulang suara saat pilkada digelar.
Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan bahwa alokasi dana hibah/bansos memang mudah dipolitisasi untuk pilkada, terutama bagi petahana. "Target sasaran dalam anggaran ini memang subjektif. Jadi memang sangat mudah menentukan siapa penerimanya," kata Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng, Kamis (4/1/2018).
Anggaran ini, menurut dia, memang cukup efektif mengapitalisaasi suara lantaran langsung menyentuh masyarakat. Apalagi penerima dana hibah/bansos biasanya akan difokuskan pada kantong-kantong suara yang mendukung. "Cukup efektif membeli suara di wilayah-wilayah yang dianggap potensial mendukung. Termasuk juga kelompok tertentu atau tim sukses yang pernah berjasa," tuturnya.
Terlebih lagi bila dibandingkan dengan anggaran lain, mekanisme pertanggungjawaban hibah/bansos tidak seketat alokasi lain dalam APBD. Satu tahun sebelumnya sudah diplot siapa saja yang menerima hibah/bansos baik titipan kepala daerah, DPRD ataupun satuan kerja perangkat daerah (SKPD). "Tentu kepala daerah jatahnya akan lebih banyak. Penerima saya kira sudah diplot. Jadi proposal hanya akal-akalan saja," lanjutnya.
Endi juga menuturkan bahwa ada kecenderungan para petahana sudah memanfaatkan anggaran hibah/bansos untuk kapitalisasi suara sejak dua tahun sebelum pilkada. Hal ini guna merawat konstituen yang akan semakin terkena dampak jor-joran jelang pelaksanaan. "Jika Pilkada 2018 Juni nanti, perkiraan saya sejak Februari, Maret, April sampai Mei sudah jor-joran dibelanjakan," ungkapnya.
Dia mengatakan Kemendagri harusnya lebih memperketat evaluasi RAPBD terkait anggaran hibah/bansos jelang pilkada ini. Menurutnya jika tidak masuk akal sudah seharusnya Kemendagri langsung mencoretnya. "Jadi sudah dideteksi sejak awal. Kalau politis dan tidak masuk akan langsung disemprit. Termasuk juga memperkuat pengawasan melalui pertanggung jawaban yang lebih ketat dan lebih transparan," katanya.
Meskipun sangat politis, Endi mengakui bahwa anggaran ini legal karena diperbolehkan untuk dianggarkan. Dia menilai seharusnya jelang pilkada anggaran hibah/bansos distop sampai satu tahu setelah pilkada. Hal ini menghindari kapitalisasi uang negara untuk meraup suara. "Kecuali memang jika ada kejadian luar biasa. Seperti bencana alam," tuturnya.
Sementara itu, Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis (CBA) Jajang Nurjaman mengatakan, dari kajian CBA, anggaran hibah/bansos di 154 kota/kabupaten sebesar Rp6.390.872.803.436. Besaran anggaran tersebut tidak diimbangi dengan serapan anggaran maksimal. Hal itu terlihat dari capaian serapan anggaran pada semester satu yang cukup rendah (lihat tabel grafis).
"Pemerintah daerah terkesan sengaja menggenjot sisa anggaran hibah dan bansos di tiga bulan terakhir. Hal ini patut menjadi perhatian serius bagi publik, khususnya penegak hukum," ungkapnya.
Dia pun mendorong satgas politik uang yang dibentuk Polri dan KPK untuk mengamankan daerah-daerah yang merelasisasi dana hibah dan bansos di akhir tahun. Pasalnya patut dicurigai adanya dana hibah dan bansos sebagai amunisi untuk pilkada. Sebelumnya Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin mengatakan telah terjadi kenaikan dana hibah/bansos yang berlebihan di beberapa daerah.
Dia menyebutkan dalam evaluasi tersebut ditemukan daerah yang menaikan anggaran hibahnya sebanyak 50% dari tahun sebelumnya. "Hibah/bansos menjadi catatan kami. (Pos anggaran) ini meningkat drastis," katanya.
Syarifuddin enggan menyebutkan daerah mana saja yang mengalami peningkatan alokasi hibah/bansos. Dia juga membantah bahwa kenaikan dana hibah/bansos terjadi pada daerah-daerah peserta pilkada serentak 2018. "Kalau berlebihan pasti kita ingatkan," ungkapnya.
Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan bahwa alokasi dana hibah/bansos memang mudah dipolitisasi untuk pilkada, terutama bagi petahana. "Target sasaran dalam anggaran ini memang subjektif. Jadi memang sangat mudah menentukan siapa penerimanya," kata Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng, Kamis (4/1/2018).
Anggaran ini, menurut dia, memang cukup efektif mengapitalisaasi suara lantaran langsung menyentuh masyarakat. Apalagi penerima dana hibah/bansos biasanya akan difokuskan pada kantong-kantong suara yang mendukung. "Cukup efektif membeli suara di wilayah-wilayah yang dianggap potensial mendukung. Termasuk juga kelompok tertentu atau tim sukses yang pernah berjasa," tuturnya.
Terlebih lagi bila dibandingkan dengan anggaran lain, mekanisme pertanggungjawaban hibah/bansos tidak seketat alokasi lain dalam APBD. Satu tahun sebelumnya sudah diplot siapa saja yang menerima hibah/bansos baik titipan kepala daerah, DPRD ataupun satuan kerja perangkat daerah (SKPD). "Tentu kepala daerah jatahnya akan lebih banyak. Penerima saya kira sudah diplot. Jadi proposal hanya akal-akalan saja," lanjutnya.
Endi juga menuturkan bahwa ada kecenderungan para petahana sudah memanfaatkan anggaran hibah/bansos untuk kapitalisasi suara sejak dua tahun sebelum pilkada. Hal ini guna merawat konstituen yang akan semakin terkena dampak jor-joran jelang pelaksanaan. "Jika Pilkada 2018 Juni nanti, perkiraan saya sejak Februari, Maret, April sampai Mei sudah jor-joran dibelanjakan," ungkapnya.
Dia mengatakan Kemendagri harusnya lebih memperketat evaluasi RAPBD terkait anggaran hibah/bansos jelang pilkada ini. Menurutnya jika tidak masuk akal sudah seharusnya Kemendagri langsung mencoretnya. "Jadi sudah dideteksi sejak awal. Kalau politis dan tidak masuk akan langsung disemprit. Termasuk juga memperkuat pengawasan melalui pertanggung jawaban yang lebih ketat dan lebih transparan," katanya.
Meskipun sangat politis, Endi mengakui bahwa anggaran ini legal karena diperbolehkan untuk dianggarkan. Dia menilai seharusnya jelang pilkada anggaran hibah/bansos distop sampai satu tahu setelah pilkada. Hal ini menghindari kapitalisasi uang negara untuk meraup suara. "Kecuali memang jika ada kejadian luar biasa. Seperti bencana alam," tuturnya.
Sementara itu, Koordinator Investigasi Center for Budget Analysis (CBA) Jajang Nurjaman mengatakan, dari kajian CBA, anggaran hibah/bansos di 154 kota/kabupaten sebesar Rp6.390.872.803.436. Besaran anggaran tersebut tidak diimbangi dengan serapan anggaran maksimal. Hal itu terlihat dari capaian serapan anggaran pada semester satu yang cukup rendah (lihat tabel grafis).
"Pemerintah daerah terkesan sengaja menggenjot sisa anggaran hibah dan bansos di tiga bulan terakhir. Hal ini patut menjadi perhatian serius bagi publik, khususnya penegak hukum," ungkapnya.
Dia pun mendorong satgas politik uang yang dibentuk Polri dan KPK untuk mengamankan daerah-daerah yang merelasisasi dana hibah dan bansos di akhir tahun. Pasalnya patut dicurigai adanya dana hibah dan bansos sebagai amunisi untuk pilkada. Sebelumnya Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin mengatakan telah terjadi kenaikan dana hibah/bansos yang berlebihan di beberapa daerah.
Dia menyebutkan dalam evaluasi tersebut ditemukan daerah yang menaikan anggaran hibahnya sebanyak 50% dari tahun sebelumnya. "Hibah/bansos menjadi catatan kami. (Pos anggaran) ini meningkat drastis," katanya.
Syarifuddin enggan menyebutkan daerah mana saja yang mengalami peningkatan alokasi hibah/bansos. Dia juga membantah bahwa kenaikan dana hibah/bansos terjadi pada daerah-daerah peserta pilkada serentak 2018. "Kalau berlebihan pasti kita ingatkan," ungkapnya.
(amm)