Pilkada Serentak 2018, Calon Tunggal Diprediksi Bakal Meningkat
A
A
A
JAKARTA - Fenomena calon tunggal pasangan kepala daerah dalam ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018 diprediksi kian meningkat. Pragmatisme partai politik (Parpol) memilih calon petahana (incumbent) dinilai akan menutup peluang munculnya calon alternatif.
Tahapan pilkada 2018 sendiri saat ini sudah mulai memasuki masa pengumuman pendaftaran pasangan calon. Namun nuansa akan munculnya satu pasangan calon di sejumlah daerah mulai menyeruak. Hal ini terlihat dari keinginan partai politik yang beramai-ramai mendukung hanya satu pasangan calon dan tidak menyisakan ruang munculnya calon lain. Calon petahana dinilai lebih mempunyai peluang besar untuk menang. Mereka biasanya mempunyai tingkat popularitas tinggi dengan dukungan logistik kuat.
Kepentingan parpol untuk bersaing dalam pemilu legislatif maupun pemilihan presiden 2019 dinilai tetap terjaga jika berhasil mengusung calon kepala daerah menang di Pilkada 2018. Di sisi lain calon perseorangan kian sulit muncul karena ketatnya persyaratan dan besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan untuk bisa bersaing jadi pemenang dalam ajang pilkada.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini melihat fenomena munculnya calon tunggal di pilkada 2018 bakal kian meningkat. Berdasarkan data pelaksanaan pilkada sebelumnya, jumlah daerah dengan calon tunggal meningkat dari hanya 3 di 2015 (dengan jumlah daerah 269), menjadi 9 di 2017 (dengan jumlah daerah 101).
"Dan sekarang 171 daerah maka peluang adanya kenaikan calon tunggal itu menjadi sangat mungkin," ujar Titi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (2/1/2018). Apalagi menurut Titi di beberapa daerah konstelasi dukungan terlihat sulit terbentuk bahkan jelang dimulainya proses pencalonan belum terlihat ada konsolidasi. "Ini kita baru lihat fenomena di provinsi, belum di kabupaten/kota," ucap Titi.
Titi berharap partai bersungguh-sungguh dalam menyajikan kader terbaiknya untuk maju di pilkada dan membangun kesepahaman serta koalisi dengan parpol lain. Menurut dia sejak diri partai dibiasakan untuk melihat kontestasi pilkada bukan sekadar pertimbangan oportunis dan transaksional, tapi dasarnya penguatan demokrasi lokal.
"Karena pada dasarnya kalau kita tarik tingkat nasional, di mana ada polarisasi koalisi pendukung pemerintah dan oposisi, sesungguhnya kan tidak ada alasan untuk calon tunggal. Walaupun kemudian konsekuensi polarisasi kekuatan politik ada dampak lain, tapi mestinya di daerah tidak ada calon tunggal," tutur Titi.
Titi juga mengakui kerawanan terjadinya calon tunggal memang berada di daerah dengan dominasi petahana yang sangat besar. Dia pun ingin agar partai tidak ragu mengusung kader terbaiknya untuk bersaing dengan petahana. "Mestinya pilkada dilihat sebagai medium uji kemampuan, uji ketangguhan parpol dalam mengukur daya tarung kelembagaan partai, dalam merebut pengaruh pemilih. Menang kalah merupakan target kedua," tambah Titi.
Komisioner KPU Ilham Saputra mengaku tidak bisa berbuat banyak apabila muncul calon tunggal di dalam penyelenggaraan pilkada di satu daerah. Menurut dia langkah yang bisa diambil KPU ketika hanya ada satu pasangan yang mendaftar adalah membuka kembali proses pendaftaran pasangan calon hingga ditemukan ada penantang bagi pasangan tersebut.
"KPU memberikan kesempatan untuk membuka kembali pendaftaran," ujar Ilham. Menurut dia, upaya untuk membuka kembali proses pendaftaran juga sebagai upaya KPU untuk mengakomodir harapan masyarakat. "Untuk mengakomodir ada calon lain yang mendaftar," tambah Ilham.
Berdasarkan data KPU sendiri, untuk calon perseorangan dari 188 pasangan calon yang mendaftar, hanya 140 pasangan calon yang diterima dan masih dalam proses verifikasi faktual. Anggota Bawaslu Mochammad Afifudin mengatakan antara calon petahana dengan tidak pengawasan dilakukan secara setara. Meski demikian untuk petahana ada perhatian khusus terutama berkaitan dengan kekuasaannya di daerah yang dipimpinnya salah satunya aparatur sipil negara (ASN). "Karena apa, incumbent ini punya jejaring yang sudah mapan di daerahnya," ujar Afifudin.
Meski begitu Bawaslu menurut dia juga tidak dapat menindak seseorang selama yang bersangkutan belum menjadi terdaftar sebagai pasangan calon atau telah mengikuti tahapan pencalonan yang telah diatur dalam UU. Bawaslu menurut dia hanya dapat memberikan imbauan agar bakal calon tidak menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan dari proses pencalonannya nanti.
"Nah ini yang kita punya, secara materiil tidak bisa, tapi mengingatkan orang yang akan jadi calon itu agar bisa menjaga sikapnya. Termasuk partai politik kita surati agar tidak menyalahgunakan masa prapencalonan," tambah Afifudin.
Tahapan pilkada 2018 sendiri saat ini sudah mulai memasuki masa pengumuman pendaftaran pasangan calon. Namun nuansa akan munculnya satu pasangan calon di sejumlah daerah mulai menyeruak. Hal ini terlihat dari keinginan partai politik yang beramai-ramai mendukung hanya satu pasangan calon dan tidak menyisakan ruang munculnya calon lain. Calon petahana dinilai lebih mempunyai peluang besar untuk menang. Mereka biasanya mempunyai tingkat popularitas tinggi dengan dukungan logistik kuat.
Kepentingan parpol untuk bersaing dalam pemilu legislatif maupun pemilihan presiden 2019 dinilai tetap terjaga jika berhasil mengusung calon kepala daerah menang di Pilkada 2018. Di sisi lain calon perseorangan kian sulit muncul karena ketatnya persyaratan dan besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan untuk bisa bersaing jadi pemenang dalam ajang pilkada.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini melihat fenomena munculnya calon tunggal di pilkada 2018 bakal kian meningkat. Berdasarkan data pelaksanaan pilkada sebelumnya, jumlah daerah dengan calon tunggal meningkat dari hanya 3 di 2015 (dengan jumlah daerah 269), menjadi 9 di 2017 (dengan jumlah daerah 101).
"Dan sekarang 171 daerah maka peluang adanya kenaikan calon tunggal itu menjadi sangat mungkin," ujar Titi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (2/1/2018). Apalagi menurut Titi di beberapa daerah konstelasi dukungan terlihat sulit terbentuk bahkan jelang dimulainya proses pencalonan belum terlihat ada konsolidasi. "Ini kita baru lihat fenomena di provinsi, belum di kabupaten/kota," ucap Titi.
Titi berharap partai bersungguh-sungguh dalam menyajikan kader terbaiknya untuk maju di pilkada dan membangun kesepahaman serta koalisi dengan parpol lain. Menurut dia sejak diri partai dibiasakan untuk melihat kontestasi pilkada bukan sekadar pertimbangan oportunis dan transaksional, tapi dasarnya penguatan demokrasi lokal.
"Karena pada dasarnya kalau kita tarik tingkat nasional, di mana ada polarisasi koalisi pendukung pemerintah dan oposisi, sesungguhnya kan tidak ada alasan untuk calon tunggal. Walaupun kemudian konsekuensi polarisasi kekuatan politik ada dampak lain, tapi mestinya di daerah tidak ada calon tunggal," tutur Titi.
Titi juga mengakui kerawanan terjadinya calon tunggal memang berada di daerah dengan dominasi petahana yang sangat besar. Dia pun ingin agar partai tidak ragu mengusung kader terbaiknya untuk bersaing dengan petahana. "Mestinya pilkada dilihat sebagai medium uji kemampuan, uji ketangguhan parpol dalam mengukur daya tarung kelembagaan partai, dalam merebut pengaruh pemilih. Menang kalah merupakan target kedua," tambah Titi.
Komisioner KPU Ilham Saputra mengaku tidak bisa berbuat banyak apabila muncul calon tunggal di dalam penyelenggaraan pilkada di satu daerah. Menurut dia langkah yang bisa diambil KPU ketika hanya ada satu pasangan yang mendaftar adalah membuka kembali proses pendaftaran pasangan calon hingga ditemukan ada penantang bagi pasangan tersebut.
"KPU memberikan kesempatan untuk membuka kembali pendaftaran," ujar Ilham. Menurut dia, upaya untuk membuka kembali proses pendaftaran juga sebagai upaya KPU untuk mengakomodir harapan masyarakat. "Untuk mengakomodir ada calon lain yang mendaftar," tambah Ilham.
Berdasarkan data KPU sendiri, untuk calon perseorangan dari 188 pasangan calon yang mendaftar, hanya 140 pasangan calon yang diterima dan masih dalam proses verifikasi faktual. Anggota Bawaslu Mochammad Afifudin mengatakan antara calon petahana dengan tidak pengawasan dilakukan secara setara. Meski demikian untuk petahana ada perhatian khusus terutama berkaitan dengan kekuasaannya di daerah yang dipimpinnya salah satunya aparatur sipil negara (ASN). "Karena apa, incumbent ini punya jejaring yang sudah mapan di daerahnya," ujar Afifudin.
Meski begitu Bawaslu menurut dia juga tidak dapat menindak seseorang selama yang bersangkutan belum menjadi terdaftar sebagai pasangan calon atau telah mengikuti tahapan pencalonan yang telah diatur dalam UU. Bawaslu menurut dia hanya dapat memberikan imbauan agar bakal calon tidak menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan dari proses pencalonannya nanti.
"Nah ini yang kita punya, secara materiil tidak bisa, tapi mengingatkan orang yang akan jadi calon itu agar bisa menjaga sikapnya. Termasuk partai politik kita surati agar tidak menyalahgunakan masa prapencalonan," tambah Afifudin.
(amm)