Sanggar Miqasia, Wadah Kreativitas bagi TKI Bermasalah di Qatar
A
A
A
JAKARTA - Duta Besar Indonesia untuk Qatar, Marsekal Madya TNI Purn Muhammad Basri Sidehabi meresmikan Training Centre Migran Qatar Indonesia (Miqasia), Rabu (28/12/2017).
Pusat pelatihan ini ditujukan bagi pekerja migran Indonesia (PMI) bermasalah di shelter Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Doha.
Menurut Dubes Basri, pusat pelatihan tersebut didirikan dengan tujuan memberikan bekal keterampilan kepada penghuni shelter untuk memiliki tambahan pengetahuan atau kompetensi yang lebih baik.
Pelatihan juga diungkapkan Basri untuk mengisi waktu para migran sambil menunggu dipulangkan. Sekadar informasi, pekerja migran di shelter didominasi oleh wanita.
Basri mengatakan, pelatihan juga wujud perhatian pemerintah terhadap migran di luar negeri. Melalui pelatihan, lanjut dia, para migran memiliki bekal di Tanah Air dan tidak kembali ke Qatar sebagai pekerja domestik.
Dia menambahkan, saat ini pekerja migran Indonesia di Qatar sekitar 40 ribu orang. Sebanyak 10 ribu adalah tenaga kerja terampil, sisanya 30 ribu orang tenaga kerja informal.
"Sekitar 0,4 persen dari total jumlah pekerja migran Indonesia yang mengalami masalah di Qatar," tandasnya.
Menurut pejabat KBRI Doha, Boy Dharmawan, saat ini masih banyak pekerja informal datang ke Qatar meski telah ada kebijakan moratorium pengirima pekerja Indonesia ke kawasan Timur Tengah, khususnya Qatar sejak Mei 2015.
Atase Ketenagakerjaan KBRI Doha, Muhammad Yusuf menjelaskan, pendirian Sangar Miqasia merupakan inisiatif dari Andi Una, Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) KBRI Doha.
Andi Una mengatakan, pelatihan tersebut merupakan bagian dari wujud empatinya terhadap penderitaan para pekerja migran Indonesia.
Una mengatakan, sanggar juga merupakan salah satu wujud solidaritas terhadap pekerja migran Indonesia di penampungan.
"Ini merupakan wujud dari pemberdayaan pemerintah sekaligus menghargai perjuangan TKI dalam mencari nafkah di luar negeri," ungkapnya.
Pekerja migran asal Bogor, Momo mengaku senang dengan adanya Sanggar Miqasia. "Semoga bisa berkreasi," ujarnya.
Pusat pelatihan ini ditujukan bagi pekerja migran Indonesia (PMI) bermasalah di shelter Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Doha.
Menurut Dubes Basri, pusat pelatihan tersebut didirikan dengan tujuan memberikan bekal keterampilan kepada penghuni shelter untuk memiliki tambahan pengetahuan atau kompetensi yang lebih baik.
Pelatihan juga diungkapkan Basri untuk mengisi waktu para migran sambil menunggu dipulangkan. Sekadar informasi, pekerja migran di shelter didominasi oleh wanita.
Basri mengatakan, pelatihan juga wujud perhatian pemerintah terhadap migran di luar negeri. Melalui pelatihan, lanjut dia, para migran memiliki bekal di Tanah Air dan tidak kembali ke Qatar sebagai pekerja domestik.
Dia menambahkan, saat ini pekerja migran Indonesia di Qatar sekitar 40 ribu orang. Sebanyak 10 ribu adalah tenaga kerja terampil, sisanya 30 ribu orang tenaga kerja informal.
"Sekitar 0,4 persen dari total jumlah pekerja migran Indonesia yang mengalami masalah di Qatar," tandasnya.
Menurut pejabat KBRI Doha, Boy Dharmawan, saat ini masih banyak pekerja informal datang ke Qatar meski telah ada kebijakan moratorium pengirima pekerja Indonesia ke kawasan Timur Tengah, khususnya Qatar sejak Mei 2015.
Atase Ketenagakerjaan KBRI Doha, Muhammad Yusuf menjelaskan, pendirian Sangar Miqasia merupakan inisiatif dari Andi Una, Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) KBRI Doha.
Andi Una mengatakan, pelatihan tersebut merupakan bagian dari wujud empatinya terhadap penderitaan para pekerja migran Indonesia.
Una mengatakan, sanggar juga merupakan salah satu wujud solidaritas terhadap pekerja migran Indonesia di penampungan.
"Ini merupakan wujud dari pemberdayaan pemerintah sekaligus menghargai perjuangan TKI dalam mencari nafkah di luar negeri," ungkapnya.
Pekerja migran asal Bogor, Momo mengaku senang dengan adanya Sanggar Miqasia. "Semoga bisa berkreasi," ujarnya.
(dam)