Medsos dan Tahun Politik

Kamis, 28 Desember 2017 - 06:38 WIB
Medsos dan Tahun Politik
Medsos dan Tahun Politik
A A A
JARIMU harimaumu! Ungkapan ini makin sering digunakan untuk merespons perilaku warganet (netizen ) yang kerap melampaui batas dalam menggunakan media sosial (medsos). Ungkapan ini hasil modifikasi dari istilah yang lebih dulu populer: Mulutmu harimaumu! Jika dulu orang sering bermasalah karena ucapannya, kini masalah yang serupa muncul karena kekeliruan dalam berperilaku di jagat maya.
Beberapa hari terakhir warganet ramai memperbincangkan kasus dugaan penghinaan terhadap Ustad Abdul Somad oleh Zulfikar Akbar. Melalui akun Twitter @zoelfick miliknya, pria yang berprofesi sebagai wartawan ini membuat kicauan yang tidak hanya dinilai menghina tokoh agama karismatik asal Riau tersebut, namun juga meledakkan amarah banyak orang karena merasa tersinggung. Kasus ini lalu bermuara pada dipecatnya yang bersangkutan oleh perusahaan tempatnya bekerja.

Kasus Zulfikar hanya satu dari ribuan kasus serupa yang pernah terjadi di dunia maya. Akibat minimnya kesadaran literasi dalam bermedsos, ditambah rendahnya etika, kasus dugaan penghinaan, hoax, fitnah, dan ujaran kebencian berpotensi terus muncul.

Sebentar lagi tahun 2018 tiba. Tahun depan sering disebut sebagai tahun politik karena ada penyelenggaraan pilkada di 171 daerah, terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Di tahun yang sama, juga akan berlangsung pencalonan presiden sebelum menuju Pemilu Serentak 2019.

Khusus Pilkada 2018, ini merupakan penyelenggaraan terbesar dibanding dua pilkada serentak sebelumnya karena melibatkan lebih 160 juta warga atau 80% dari total pemilih di Indonesia. Sudah bisa dibayangkan betapa hiruk-pikuknya jagat nyata dan juga jagat maya dalam merespons tahun politik ini.

Atas fakta ini, kewaspadaan terhadap potensi konflik di jagat maya menjadi sangat diperlukan. Apalagi, pengguna internet di Indonesia sangat besar jumlahnya. Laporan Tetra Pak Index 2017 mencatat ada sekitar 132 juta orang yang terhubung dengan internet. Hampir setengahnya adalah penggila medsos, atau berkisar di angka 40%.

Di tahun politik, jagat maya tak pelak akan menjadi arena pertarungan dalam merebut dukungan, baik oleh tim pasangan kandidat, relawan, maupun anggota masyarakat. Medsos berpotensi menjadi panggung kampanye dan propaganda politik, tidak hanya dengan cara yang elegan dan bermartabat sebagaimana seharusnya, namun juga dengan cara-cara negatif, seperti menyebarkan berita bohong atau hoax, maupun ujaran kebencian terhadap kubu lawan.

Situasi menjadi riskan jika materi kampanye dan propaganda yang diproduksi itu menyerempet isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi cermin yang memantulkan fakta-fakta memiriskan bagaimana isu SARA jadi alat oleh pihak tertentu untuk meraih dukungan. Isu politik identitas ini telah membelah masyarakat Ibu Kota, bahkan hingga hari ini.

Bagi pemerintah, penting untuk menjadikan isu medsos ini sebagai alarm. Betapapun, jika tidak disikapi hati-hati, masyarakat bisa terlibat gesekan yang mengarah pada konflik horizontal. Penegakan hukum oleh kepolisian tentu sangat penting, termasuk dengan menggunakan UU ITE untuk menindak para pelaku penyebar hoax, fitnah, dan ujaran kebencian. Namun, lebih baik lagi jika langkah antisipasi juga dikedepankan.

Pemerintah juga penting bekerja sama secara intensif dengan penyelenggara pemilu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI telah menyampaikan data soal indeks kerawanan pemilu (IKP) untuk Pilkada 2018. Ada dua temuan baru Bawaslu mengenai indikator pemicu kerawanan, yakni penggunaan medsos dan politik identitas. Faktor lain yang di pilkada sebelumnya juga ada yakni politik uang, netralitas penyelenggara, dan netralitas PNS.

Bawaslu menyebut ada 12 provinsi dan 38 kabupaten/kota penyelenggara Pilkada 2018 yang kondisinya rawan akibat penggunaan medsos yang tidak tepat. Dari data ini, pemerintah bisa membuat pemetaan dan merumuskan langkah-langkah strategis guna meminimalisasi potensi konflik di masyarakat akibat pilkada.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4123 seconds (0.1#10.140)