Meluas ke 28 Provinsi, Pemerintah Perlu Evaluasi Penanggulangan Difteri
A
A
A
JAKARTA - Setelah ditetapkan menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dan diberlakukan Outbreak Responses Immunization (ORI) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), difteri justru kian meluas dari 20 provinsi menjadi ke 28 provinsi. Untuk itu, Komisi Kesehatan DPR mendesak pemerintah untuk mengevaluasi penanggulangan KLB difteri dan memprioritaskannya.
"Jumlah warga terserang penyakit difteri terus bertambah. Wilayah dengan status Kejadian Luar Biasa difteri pun semakin meluas menjadi 28 provinsi. Kami semua prihatin, wabah ini belum juga berkurang. Karenanya penanganan difteri harus terus dievaluasi agar semakin baik dan efektif," kata anggota Komisi IX DPR Ahmad Zainuddin dalam siaran pers yang diterima Koran SINDO di Jakarta, Senin (25/12/2017).
Zainuddin menilai, upaya pemberantasan wabah difteri selama ini belum efektif karena terkesan hanya dilakukan oleh Kemenkes. Padahal, semua pemangku kepentingan harusnya terlibat aktif, baik ituembaga negara kementerian maupun non-kementerian, institusi swasta hingga tokoh-tokoh masyarakat. "Semuanya secara terintegrasi harus ikut serta dalam pemberantasan difteri," tegas politikus PKS itu.
Zainuddin mencontohkan, dalam upaya pemberian vaksin DPT (anti-difteri) memang domain dari Kemenkes, namun upaya sosialisasi, mobilisasi masyarakat dan pencegahan dapat dilakukan semua pihak. Untuk itu dia menyayangkan penanggulangan difteri belum menjadi prioritas pemerintah.
"Saya melihat presiden belum terlalu concern soal ini. Padahal Indonesia sekarang terbanyak kedua penderita difteri di dunia setelah India, dan terbesar dalam sejarah kita sejak tahun 1945," bebernya.
Sementara itu, anggota Komisi IX dari Fraksi NasDem Irma Suryani Chaniago menuturkan, kasus difteri tercatat sejak 200, dan sudah dicoba penanganan tapi masih belum berhasil karena terus merebak sampai 2017. Bahkan pada 2017 ini tercatat sudah 600 kasus, mulai usia termuda 3,5 tahun dan tertua 45 tahun.
"Dari data tersebut, 66% yang tidak pernah imunisasi, 31% imunisasi tidak lengkap, 3% imunisasi lengkap. Sayangnya Kemenkes baru mengadakan ORI (Outbreak Respons Imunization) mulai 11 Desember 2017 lalu di 3 Provinsi yakni DKI, Jawa Barat dan Banten," katanya.
Menurut Irma, program imunisasi selama ini yang dikenal dengan istilah UCI (Universal Coverage Imunization) tidak tercover. Bahkan, target 8 dari 10 anak minimum diimunisasi, tapi fakta di lapangan ada kondisi 10 dari 10 anak diimunisasi dan sebaliknya ada juga 10 dari 10 anak tidak diimunisasi. Sehingga, target dan tujuan imunisasi akhirnya tidak tercapai.
"Jumlah warga terserang penyakit difteri terus bertambah. Wilayah dengan status Kejadian Luar Biasa difteri pun semakin meluas menjadi 28 provinsi. Kami semua prihatin, wabah ini belum juga berkurang. Karenanya penanganan difteri harus terus dievaluasi agar semakin baik dan efektif," kata anggota Komisi IX DPR Ahmad Zainuddin dalam siaran pers yang diterima Koran SINDO di Jakarta, Senin (25/12/2017).
Zainuddin menilai, upaya pemberantasan wabah difteri selama ini belum efektif karena terkesan hanya dilakukan oleh Kemenkes. Padahal, semua pemangku kepentingan harusnya terlibat aktif, baik ituembaga negara kementerian maupun non-kementerian, institusi swasta hingga tokoh-tokoh masyarakat. "Semuanya secara terintegrasi harus ikut serta dalam pemberantasan difteri," tegas politikus PKS itu.
Zainuddin mencontohkan, dalam upaya pemberian vaksin DPT (anti-difteri) memang domain dari Kemenkes, namun upaya sosialisasi, mobilisasi masyarakat dan pencegahan dapat dilakukan semua pihak. Untuk itu dia menyayangkan penanggulangan difteri belum menjadi prioritas pemerintah.
"Saya melihat presiden belum terlalu concern soal ini. Padahal Indonesia sekarang terbanyak kedua penderita difteri di dunia setelah India, dan terbesar dalam sejarah kita sejak tahun 1945," bebernya.
Sementara itu, anggota Komisi IX dari Fraksi NasDem Irma Suryani Chaniago menuturkan, kasus difteri tercatat sejak 200, dan sudah dicoba penanganan tapi masih belum berhasil karena terus merebak sampai 2017. Bahkan pada 2017 ini tercatat sudah 600 kasus, mulai usia termuda 3,5 tahun dan tertua 45 tahun.
"Dari data tersebut, 66% yang tidak pernah imunisasi, 31% imunisasi tidak lengkap, 3% imunisasi lengkap. Sayangnya Kemenkes baru mengadakan ORI (Outbreak Respons Imunization) mulai 11 Desember 2017 lalu di 3 Provinsi yakni DKI, Jawa Barat dan Banten," katanya.
Menurut Irma, program imunisasi selama ini yang dikenal dengan istilah UCI (Universal Coverage Imunization) tidak tercover. Bahkan, target 8 dari 10 anak minimum diimunisasi, tapi fakta di lapangan ada kondisi 10 dari 10 anak diimunisasi dan sebaliknya ada juga 10 dari 10 anak tidak diimunisasi. Sehingga, target dan tujuan imunisasi akhirnya tidak tercapai.
(wib)