DPR Harap Indonesia Ambil Peran Strategis di Pertemuan OKI
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menekankan, dalam pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang digelar di Istanbul, Turki, Indonesia harus memiliki sikap dan kekuatan lebih.
"Presiden jangan hanya mengambil posisi yang paling lemah, seperti mengutuk, mengecam, atau meminta. Ini kalimat-kalimat yang tidak boleh dikeluarkan oleh bangsa besar seperti Indonesia ini," kata Fahri di Gedung DPR, Kamis (14/12/2017).
Menurutnya, harus ada kekuatan yang lebih baik pada konteks Sidang OKI, maupun juga konteks PBB. Indonesia sambungnya, harus bisa memiliki sendiri sikap yang lebih kuat, yang ini tentu akan mengubah wajah dunia kita juga.
Fahri mengakui, ada banyak tahapan yang harus dirancang dalam kompleksitas sikap dan posisi politik negara-negara OKI. Kehadiran Presiden Indonesia di Sidang OKI itu diharapkan untuk menjadi juru bicara pada suatu keadaan yang lain, dan dapat membuat negara-negara OKI ini bersatu padu dulu dalam ide-ide dasar.
"Karena pada dasarnya, kalau kita membaca dan melacak kencenderungan politiknya, ditelusuri dari ujung menjadi sulit. Tetapi kalau dimulai dari pangkalnya, dalam konsepsi umat Islam sebagai umat yang satu, maka tentu kita bisa mulai melakukan pembicaraan yang lebih mendalam, karena kita disatukan terlebih dahulu," jelasnya.
Dia mengungkapkan, penting bagi Indonesia meletakan satu narasi baru bagi OKI yang dapat menyeret semua negara dalam kalimat dan pengertian yang sama tentang keadaan mereka.
Ini yang pertama-tama harus dilakukan oleh Indonesia. Untuk mancapai tujuan itu, pemimpin Indonesia harus memiliki karisma.
"Itu yang sering berulang-ulang saya katakan. Tanpa karisma sekuat Soekarno, kita akan sulit sekali mengumpulkan negara-negara lain. Dulu kita punya Soekarno setelah kemerdekaan tahun 1945," ungkapnya.
"Setelah itu, tahun 1955, Soekarno sudah berhasil mengundang negara-negara Asia-Afrika duduk dalam satu meja, lalu menyepakati platform bersama, dari platform itu banyak sekali keputusan-keputusan yang mengubah wajah dunia," tambahnya.
Politisi PKS itu menegaskan, perlunya seorang pemimpin yang mempunyai karisma, kemampuan berbicara yang baik dan juga datang membawa teks narasi yang kuat. Kondisi saat ini yang mungkin juga perlu dicari celahnya untuk menemukan kesamaan kata, seperti isu-isu strategis terkait kedudukan Al-Quds.
"Orang Islam harusnya tidak boleh berbeda pendapat tentang kedudukan Al-Quds, kedudukan Palestina atau kedudukan sejarah bangsa Palestina. Kedudukan Palestina dan Al-Quds itu disatukan oleh pandangan yang secara fundamental ada dalam naskah dan kitab suci, dan naskah dalam hadis-hadis Nabi. Kalau konsep ini ditekankan terlebih dahulu, tentu bangsa-bangsa Islam akan mudah bersatu," tegasnya.
"Presiden jangan hanya mengambil posisi yang paling lemah, seperti mengutuk, mengecam, atau meminta. Ini kalimat-kalimat yang tidak boleh dikeluarkan oleh bangsa besar seperti Indonesia ini," kata Fahri di Gedung DPR, Kamis (14/12/2017).
Menurutnya, harus ada kekuatan yang lebih baik pada konteks Sidang OKI, maupun juga konteks PBB. Indonesia sambungnya, harus bisa memiliki sendiri sikap yang lebih kuat, yang ini tentu akan mengubah wajah dunia kita juga.
Fahri mengakui, ada banyak tahapan yang harus dirancang dalam kompleksitas sikap dan posisi politik negara-negara OKI. Kehadiran Presiden Indonesia di Sidang OKI itu diharapkan untuk menjadi juru bicara pada suatu keadaan yang lain, dan dapat membuat negara-negara OKI ini bersatu padu dulu dalam ide-ide dasar.
"Karena pada dasarnya, kalau kita membaca dan melacak kencenderungan politiknya, ditelusuri dari ujung menjadi sulit. Tetapi kalau dimulai dari pangkalnya, dalam konsepsi umat Islam sebagai umat yang satu, maka tentu kita bisa mulai melakukan pembicaraan yang lebih mendalam, karena kita disatukan terlebih dahulu," jelasnya.
Dia mengungkapkan, penting bagi Indonesia meletakan satu narasi baru bagi OKI yang dapat menyeret semua negara dalam kalimat dan pengertian yang sama tentang keadaan mereka.
Ini yang pertama-tama harus dilakukan oleh Indonesia. Untuk mancapai tujuan itu, pemimpin Indonesia harus memiliki karisma.
"Itu yang sering berulang-ulang saya katakan. Tanpa karisma sekuat Soekarno, kita akan sulit sekali mengumpulkan negara-negara lain. Dulu kita punya Soekarno setelah kemerdekaan tahun 1945," ungkapnya.
"Setelah itu, tahun 1955, Soekarno sudah berhasil mengundang negara-negara Asia-Afrika duduk dalam satu meja, lalu menyepakati platform bersama, dari platform itu banyak sekali keputusan-keputusan yang mengubah wajah dunia," tambahnya.
Politisi PKS itu menegaskan, perlunya seorang pemimpin yang mempunyai karisma, kemampuan berbicara yang baik dan juga datang membawa teks narasi yang kuat. Kondisi saat ini yang mungkin juga perlu dicari celahnya untuk menemukan kesamaan kata, seperti isu-isu strategis terkait kedudukan Al-Quds.
"Orang Islam harusnya tidak boleh berbeda pendapat tentang kedudukan Al-Quds, kedudukan Palestina atau kedudukan sejarah bangsa Palestina. Kedudukan Palestina dan Al-Quds itu disatukan oleh pandangan yang secara fundamental ada dalam naskah dan kitab suci, dan naskah dalam hadis-hadis Nabi. Kalau konsep ini ditekankan terlebih dahulu, tentu bangsa-bangsa Islam akan mudah bersatu," tegasnya.
(maf)