Pemimpin Visioner
A
A
A
Dr Gun Gun Heryanto
Dewan Juri Indonesia Visionary Leader KORAN SINDO
INISIATIF untuk memberi ruang dialektika sekaligus apresiasi pada kemunculan para pemimpin visioner di banyak daerah, digelar KORAN SINDO pada 28-29 November ini dalam Program Indonesia Visionary Leader (IVL). Para kepala daerah dan yang berniat menjadi kepala daerah diundang untuk mempresentasikan gagasannya dalam merumuskan, mengomunikasikan, dan mengimplementasikan visi mereka di wilayah kepemimpinannya.
Program ini menjadi momentum uji kompetensi melalui sejumlah indikator ilmiah untuk memastikan pemimpin di banyak daerah memiliki gagasan dan orientasi kerja sebagai pemimpin visioner!
Dimensi Pengukuran
Indonesia saat ini sedang bergerak menuju konsolidasi demokrasi yang tak hanya berjalan di Jakarta melainkan juga di banyak daerah. Paradigma pembangunan tak lagi Jakarta Centris melainkan harus Indonesia Centris. Oleh karena itu, pemerintah di pusat harus bersinergi dengan pemerintah di daerah yang memiliki visi membangun Indonesia dari daerah.
Ada dua dimensi yang menjadi pengukuran IVL, yakni visioner dan operasional. Visioner difokuskan pada empat kemampuan utama yang akan dikonfirmasi, dikritisi, dicek, dan dibuktikan oleh panel expert yang bersifat independen.
Pertama, kemampuan menciptakan visi dan tujuan yang jelas berkenaan dengan pemahaman tentang masa depan kepemimpinannya yang lebih maju. Kedua, kemampuan untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari warga dalam merealisasikan visi yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, tentu pemimpin yang visioner bukan semata mampu meyakinkan kelompok pendukungnya, melainkan piawai berkomunikasi secara lintas sektoral dan bersinergi dengan banyak pihak untuk membangun kepercayaan publik (trust building).
Pada era seperti saat ini, tak cukup bergerak sendirian. Pemimpin harus mampu membangun semangat kekitaan dalam prinsip kebersamaan, bukan keakuan atau ego personal maupun kelompok.
Membangun good seciety di Indonesia perlu mengukuhkan ulang prinsip komunitarian. Amitai Etzioni pernah menulis di bukunya The Spirit of Community: Reinvention of American Society (1993), bahwa prinsip komunitarian ini berupa kesepakatan manusia untuk menciptakan moral baru kehidupan sosial dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai kebersamaan, tanpa puritanisme dan penindasan.
Yang penting dari prinsip ini, masyarakat perlu mengimbangi nilai keakuan yang telah berakar, dengan nilai-nilai kekitaan yang bersifat komunitarian. Artinya, kekitaan yang tidak menindas keakuan dan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Saat pemimpin memiliki konsep yang jelas dalam membangun berdasarkan prinsip kekitaan, berpotensi besar mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok politiknya.
Ketiga, kemampuan mewujudkan visi-misi ke dalam berbagai program. Sosok transformatif memiliki keunggulan dalam memadukan dua kesadaran yang sama pentingnya, yakni kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical conciousness).
Bukan semata pandai berwacana, manis beretorika, melainkan juga langkah-langkahnya konkret dan dirasakan nyata kiprahnya. Sosoknya visioner, solutif, dan bukan bagian dari masalah di masa lalu.
Dalam menjaga performa, tentu saja terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan agenda kerja. Citra terkait dengan cara pandang masyarakat atas diri seseorang dengan segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan rekam jejak kerja nyatanya. Pacanowsky dan O’Donnell dalam bukunya Communication and Organizational Culture (1982), mendefinisikan performa sebagai metafora yang menggambarkan proses simbolik pemahaman tentang perilaku manusia dalam sebuah organisasi.
Citra perlu, tapi bukan segalanya, karena jika pemimpin terjebak ke dalam politik citra berlebihan maka akan senantiasa menghadirkan hiperealitas. Tentu, sosok transformatif tak akan menjadikan politik citra segalanya karena basis tindakannya selalu mengacu pada agenda kerja. Citra diposisikan secara proporsional sebagai salah satu bagian penunjang dalam merealisasikan agenda kerja bukan sebaliknya menjadikan citra dominan.
Keempat, kemampuan dalam menciptakan strategi yang inovatif, mengubah pemikiran konvensional dengan pemikiran yang progresif dan lebih sistematis. Para nominator yang layak diapresiasi sebagai Indonesia Visionary Leader (IVL) harus memiliki kemampuan refleksivitas organisasi birokrasi secara memadai.
Poole, Seibold, dan McPhee dalam Hirokawa RY & MS Poole di bukunya Communication and Group Decision Making (1986:237-264), memandang perlu adanya refleksivitas (reflexivity) dalam setiap upaya membangun perbaikan organisasi termasuk birokrasi. Refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka.
Sebagian besar refleksivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki seseorang pemimpin daerah. Dengan membaca masa lalu dan memperbaikinya, sesungguhnya bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik.
Operasional Penilaian
Secara operasional, IVL difokuskan pada tiga perspektif. Pertama, perspektif finansial yakni kemampuan pengelolaan keuangan daerah yang efektif, ekonomis, efisien, transparan, bertanggung jawab, dan adil.
Kedua, perspektif pelanggan (masyarakat). Hal ini terkait dengan pemenuhan pelayanan dalam hal efisiensi program yang dihasilkan, kualitas dan efektivitas program, serta rasio antara usaha pelayanan yang dilakukan pemerintah dan hasil pelayanan yang dinikmati masyarakat. Dalam hal ini, termasuk kerja pelayanan komunitas (community services), yakni rekam jejak untuk melayani banyak orang melalui kerja profesional maupun gerakan kerelawanan (volunteerism).
Ketiga, perspektif pembelajaran dan perkembangan (learning and growth). Adanya peningkatan pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat. Hal ini terkait dengan pemberdayaan komunitas (community empowerment) yakni turut membantu banyak orang agar mandiri, dan menggerakkan mereka untuk memiliki keterampilan (skill) serta sikap atas beragam persoalan dirinya dan publik di mana mereka berada.
Hal lain dari perspektif ini adalah hubungan komunitas (community relations), yakni rekam jejak hubungan sosial yang bagus dengan lingkungan di mana para nominator berada. Baik dalam lingkup sosial maupun profesional terutama yang teridentifikasi dalam sejumlah publikasi media massa dan laporan masyarakat.
Dalam konteks panel expert, indikator-indikator penilaian yang lebih rinci diturunkan dari lima kategori utama yakni: ideologi visioner, kinerja ekonomi, leadership, integritas, dan komunikasi. Sejumlah orang yang masuk nominasi IVL diharapkan menjadi contoh (role model), bahwa masih banyak sosok di Indonesia yang sungguh-sungguh bekerja bukan semata berwacana.
Yang jelas, apresiasi semacam ini bukan semata gaya-gayaan atau sekadar pencitraan di kulit permukaan. Ada nilai yang hendak dibangun dari IVL ini, yakni menyemai semangat para pemimpin visioner yang mendedikasikan diri mereka secara optimal di daerah masing-masing. Saatnya pemimpin punya gagasan dan bekerja!
Dewan Juri Indonesia Visionary Leader KORAN SINDO
INISIATIF untuk memberi ruang dialektika sekaligus apresiasi pada kemunculan para pemimpin visioner di banyak daerah, digelar KORAN SINDO pada 28-29 November ini dalam Program Indonesia Visionary Leader (IVL). Para kepala daerah dan yang berniat menjadi kepala daerah diundang untuk mempresentasikan gagasannya dalam merumuskan, mengomunikasikan, dan mengimplementasikan visi mereka di wilayah kepemimpinannya.
Program ini menjadi momentum uji kompetensi melalui sejumlah indikator ilmiah untuk memastikan pemimpin di banyak daerah memiliki gagasan dan orientasi kerja sebagai pemimpin visioner!
Dimensi Pengukuran
Indonesia saat ini sedang bergerak menuju konsolidasi demokrasi yang tak hanya berjalan di Jakarta melainkan juga di banyak daerah. Paradigma pembangunan tak lagi Jakarta Centris melainkan harus Indonesia Centris. Oleh karena itu, pemerintah di pusat harus bersinergi dengan pemerintah di daerah yang memiliki visi membangun Indonesia dari daerah.
Ada dua dimensi yang menjadi pengukuran IVL, yakni visioner dan operasional. Visioner difokuskan pada empat kemampuan utama yang akan dikonfirmasi, dikritisi, dicek, dan dibuktikan oleh panel expert yang bersifat independen.
Pertama, kemampuan menciptakan visi dan tujuan yang jelas berkenaan dengan pemahaman tentang masa depan kepemimpinannya yang lebih maju. Kedua, kemampuan untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari warga dalam merealisasikan visi yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, tentu pemimpin yang visioner bukan semata mampu meyakinkan kelompok pendukungnya, melainkan piawai berkomunikasi secara lintas sektoral dan bersinergi dengan banyak pihak untuk membangun kepercayaan publik (trust building).
Pada era seperti saat ini, tak cukup bergerak sendirian. Pemimpin harus mampu membangun semangat kekitaan dalam prinsip kebersamaan, bukan keakuan atau ego personal maupun kelompok.
Membangun good seciety di Indonesia perlu mengukuhkan ulang prinsip komunitarian. Amitai Etzioni pernah menulis di bukunya The Spirit of Community: Reinvention of American Society (1993), bahwa prinsip komunitarian ini berupa kesepakatan manusia untuk menciptakan moral baru kehidupan sosial dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai kebersamaan, tanpa puritanisme dan penindasan.
Yang penting dari prinsip ini, masyarakat perlu mengimbangi nilai keakuan yang telah berakar, dengan nilai-nilai kekitaan yang bersifat komunitarian. Artinya, kekitaan yang tidak menindas keakuan dan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Saat pemimpin memiliki konsep yang jelas dalam membangun berdasarkan prinsip kekitaan, berpotensi besar mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok politiknya.
Ketiga, kemampuan mewujudkan visi-misi ke dalam berbagai program. Sosok transformatif memiliki keunggulan dalam memadukan dua kesadaran yang sama pentingnya, yakni kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical conciousness).
Bukan semata pandai berwacana, manis beretorika, melainkan juga langkah-langkahnya konkret dan dirasakan nyata kiprahnya. Sosoknya visioner, solutif, dan bukan bagian dari masalah di masa lalu.
Dalam menjaga performa, tentu saja terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan agenda kerja. Citra terkait dengan cara pandang masyarakat atas diri seseorang dengan segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan rekam jejak kerja nyatanya. Pacanowsky dan O’Donnell dalam bukunya Communication and Organizational Culture (1982), mendefinisikan performa sebagai metafora yang menggambarkan proses simbolik pemahaman tentang perilaku manusia dalam sebuah organisasi.
Citra perlu, tapi bukan segalanya, karena jika pemimpin terjebak ke dalam politik citra berlebihan maka akan senantiasa menghadirkan hiperealitas. Tentu, sosok transformatif tak akan menjadikan politik citra segalanya karena basis tindakannya selalu mengacu pada agenda kerja. Citra diposisikan secara proporsional sebagai salah satu bagian penunjang dalam merealisasikan agenda kerja bukan sebaliknya menjadikan citra dominan.
Keempat, kemampuan dalam menciptakan strategi yang inovatif, mengubah pemikiran konvensional dengan pemikiran yang progresif dan lebih sistematis. Para nominator yang layak diapresiasi sebagai Indonesia Visionary Leader (IVL) harus memiliki kemampuan refleksivitas organisasi birokrasi secara memadai.
Poole, Seibold, dan McPhee dalam Hirokawa RY & MS Poole di bukunya Communication and Group Decision Making (1986:237-264), memandang perlu adanya refleksivitas (reflexivity) dalam setiap upaya membangun perbaikan organisasi termasuk birokrasi. Refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka.
Sebagian besar refleksivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki seseorang pemimpin daerah. Dengan membaca masa lalu dan memperbaikinya, sesungguhnya bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik.
Operasional Penilaian
Secara operasional, IVL difokuskan pada tiga perspektif. Pertama, perspektif finansial yakni kemampuan pengelolaan keuangan daerah yang efektif, ekonomis, efisien, transparan, bertanggung jawab, dan adil.
Kedua, perspektif pelanggan (masyarakat). Hal ini terkait dengan pemenuhan pelayanan dalam hal efisiensi program yang dihasilkan, kualitas dan efektivitas program, serta rasio antara usaha pelayanan yang dilakukan pemerintah dan hasil pelayanan yang dinikmati masyarakat. Dalam hal ini, termasuk kerja pelayanan komunitas (community services), yakni rekam jejak untuk melayani banyak orang melalui kerja profesional maupun gerakan kerelawanan (volunteerism).
Ketiga, perspektif pembelajaran dan perkembangan (learning and growth). Adanya peningkatan pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat. Hal ini terkait dengan pemberdayaan komunitas (community empowerment) yakni turut membantu banyak orang agar mandiri, dan menggerakkan mereka untuk memiliki keterampilan (skill) serta sikap atas beragam persoalan dirinya dan publik di mana mereka berada.
Hal lain dari perspektif ini adalah hubungan komunitas (community relations), yakni rekam jejak hubungan sosial yang bagus dengan lingkungan di mana para nominator berada. Baik dalam lingkup sosial maupun profesional terutama yang teridentifikasi dalam sejumlah publikasi media massa dan laporan masyarakat.
Dalam konteks panel expert, indikator-indikator penilaian yang lebih rinci diturunkan dari lima kategori utama yakni: ideologi visioner, kinerja ekonomi, leadership, integritas, dan komunikasi. Sejumlah orang yang masuk nominasi IVL diharapkan menjadi contoh (role model), bahwa masih banyak sosok di Indonesia yang sungguh-sungguh bekerja bukan semata berwacana.
Yang jelas, apresiasi semacam ini bukan semata gaya-gayaan atau sekadar pencitraan di kulit permukaan. Ada nilai yang hendak dibangun dari IVL ini, yakni menyemai semangat para pemimpin visioner yang mendedikasikan diri mereka secara optimal di daerah masing-masing. Saatnya pemimpin punya gagasan dan bekerja!
(poe)