Dedi Mulyadi Ingin Pengganti Setnov Tetap Dukung Jokowi
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi meminta agar Ketua Umum Partai Golkar pengganti Setya Novanto (Setnov) nantinya tetap membawa partainya mendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Sehingga, siapapun ketua umum nantinya tidak mengubah keputusan rapat pimpinan nasional (Rapimnas) Partai Golkar.
Dedi menjelaskan bahwa keputusan Partai Golkar mencalonkan Presiden Jokowi di Pilpres 2019 sudah final. "Artinya pemimpin baru Golkar adalah yang mendukung juga Pak Jokowi sebagai Presiden karena itu keputusan yang tidak bisa diganggu gugat," ujar Dedi Mulyadi di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin (20/11/2017).
Dia menjelaskan, Partai Golkar pandai melakukan sejumlah perubahan. Dedi pun yakin bahwa para pengurus DPP memiliki pengalaman melakukan hal itu.
"Saya yakin DPP I (Provinsi, red) dan DPD II (Kabupaten/Kota, red) bisa keluar dari kemelut ini. Dan seharusnya tampil dengan wajah baru dan semangat baru dan bisa menang di 2019," paparnya.
Adapun mengenai siapa yang layak menggantikan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dia enggan mengungkapkannya. "Kita tidak bicara orang. Kita bicara sistem bagaimana partai ini segera melakukan perubahan untuk memiliki pimpinan baru," ucapnya.
Diketahui, KPK telah melakukan penahanan terhadap Setya Novanto terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Setnov selaku anggota DPR periode 2009-2014 bersama-sama Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Dirjen Dukcapil dan Sugiharto sebagai pejabat di lingkup Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau koorporasi, menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang ada padanya saat itu.
Sehingga diduga merugikan perekonomian negara sejumlah Rp2,3 triliun dengan nilai paket pengadaan Rp5,9 triliun dalam pengadaan paket KTP elektronik 2011-2012 pada Kemendagri. Atas dasar itu, Setnov disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Dedi menjelaskan bahwa keputusan Partai Golkar mencalonkan Presiden Jokowi di Pilpres 2019 sudah final. "Artinya pemimpin baru Golkar adalah yang mendukung juga Pak Jokowi sebagai Presiden karena itu keputusan yang tidak bisa diganggu gugat," ujar Dedi Mulyadi di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin (20/11/2017).
Dia menjelaskan, Partai Golkar pandai melakukan sejumlah perubahan. Dedi pun yakin bahwa para pengurus DPP memiliki pengalaman melakukan hal itu.
"Saya yakin DPP I (Provinsi, red) dan DPD II (Kabupaten/Kota, red) bisa keluar dari kemelut ini. Dan seharusnya tampil dengan wajah baru dan semangat baru dan bisa menang di 2019," paparnya.
Adapun mengenai siapa yang layak menggantikan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar, dia enggan mengungkapkannya. "Kita tidak bicara orang. Kita bicara sistem bagaimana partai ini segera melakukan perubahan untuk memiliki pimpinan baru," ucapnya.
Diketahui, KPK telah melakukan penahanan terhadap Setya Novanto terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Setnov selaku anggota DPR periode 2009-2014 bersama-sama Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Dirjen Dukcapil dan Sugiharto sebagai pejabat di lingkup Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau koorporasi, menyalahgunakan wewenang atau jabatan yang ada padanya saat itu.
Sehingga diduga merugikan perekonomian negara sejumlah Rp2,3 triliun dengan nilai paket pengadaan Rp5,9 triliun dalam pengadaan paket KTP elektronik 2011-2012 pada Kemendagri. Atas dasar itu, Setnov disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
(kri)