Babak demi Babak Setya Novanto di Kasus E-KTP
A
A
A
JAKARTA - Keberadaan Setya Novanto masih misterius. Keberadaan Ketua DPR itu tidak diketahui pasca penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendatangi kediamannya di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu 15 November 2017 malam.
Menghilangnya Setya Novanto menjadi babak baru perjalanan kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang melibatkan orang nomor satu di Partai Golkar ini.
Bukan hal mudah bagi KPK untuk membuktikan keterlibatan pria yang biasa disapa Setnov ini. Sejak melakukan pengusutan kasus e-KTP 2014 lalu, KPK baru menetapkan Setnov sebagai tersangka pada 17 Juli 2017 atau tiga hari setelah menjalani pemeriksaan di hadapan penyidik.
Status itu tidak membuat nyaman Setnov yang kemudian melakukan langkah hukum mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 September 2017.
Gugatan yang diajukan Setnov tidak lantas mengendurkan semangat KPK menyidik kasus ini. Pada 11 September 2017 KPK memanggil Setnov untuk menjalani pemeriksaan dalam kapasitas sebagai tersangka.
Panggilan penyidik tidak dipenuhi Setnov. Sekjen Golkar Idrus Marham menyerahkan surat kepada KPK yang berisi pernyataan dokter yang menyebut Setnov sedang sakit. Setnov sempat dirawat di Rumah Sakit (RS) Siloam, Semanggi, Jakarta dan akhirnya dipindah ke RS Premier.
Tidak lama kemudian, beredar foto Setnov sedang menjalani perawatan beredar di media sosial. Dalam foto itu, Setnov sedang berbaring dengan berbagai alat medis.
Gugatan praperadilan yang diajukan Setnov berbuahkan hasil. Hakim Cepi Iskandar yang memimpin sidang praperadilan mengabulkan gugatannya. Status tersangka Setnov pun dibatalkan karena dianggap tidak sah.
Meski menang praperadilan, Setnov tidak begitu saja bebas dari "radar" KPK. Lembaga yang dipimpin Agus Rahardjo itu memperpanjang status cegah Setnov ke luar negeri pada 2 Oktober 2017. Status cegah hingga April 2018.
Langkah KPK kembali mendapatkan perlawanan pihak Setnov. Salah satu kuasa hukumnya melaporkan pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang ke Bareskrim Polri. Tuduhannya, keduanya diduga melakukan penyalahgunaan wewenang terkait surat cegah tersebut.
Proses hukum terkait laporan kuasa hukum Setnov berjalan. Bareskrim menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus tersebut. Surat tertanggal 7 November 2017 itu ditunjukan kuasa hukum Setnov, Frederich Yunadi kepada wartawan.
Dalam konferensi pers, Saut membantah penerbitan surat cegah itu tidak sesuai prosedur. Dia pun membeberkan proses penerbitan surat tersebut. Bahkan dia mengaku siap menghadapi proses hukum terkait tuduhan kepadanya.
Pada 10 November 2017, Saut mengumumkan KPK kembali menetapkan Setnov menjadi tersangka kasus e-KTP. "Setelah proses penyelidikan usai dan ditemukan bukti permulaan cukup, pimpinan KPK bersama penyidik, penyelidik dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada akhir Oktober," ucap Saut di Gedung KPK, Jakarta 10 November lalu.
Bergerak cepat, KPK segera memanggil Setnov untuk hadir menjadi saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudiharjo pada 13 November 2017. Setnov tidak memenuhi panggilan dengan alasan pemanggilan dirinya harus seizin Presiden.
Kemudian, KPK menjadwalkan pemeriksaan Setnov sebagai tersangka pada Rabu 15 November 2017. Lagi-lagi, Setnov tidak hadir. Kuasa hukummya menyerahkan surat kepada KPK terkait ketidakhadiran Setnov. Salah satunya, Setnov sedang mengajukan uji materi soal aturan pemanggilan Ketua DPR ke Mahkamah Konstisusi (MK).
Pada hari yang sama Setnov ikut menghadiri Rapat Paripurna DPR. Bahkan Setnov meminta agar Pansus Angket KPK terus bekerja.
Beberapa jam selanjutnya, sekitar pukul 10.00 malam, tujuh penyidik KPK bersama polisi mendatangi kediaman Setnov di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan untuk melakukan penjemputan paksa.
Langkah tersebut diambil KPK karena Setnov berulang kali tidak memenuhi panggilan penyidik. "Secara persuasif kami imbau SN menyerahkan diri. KPK mendatangi rumah SN karena sejumlah panggipan sudah dilakukan sebelumnya namun yang bersangkutan tidak menghadiri," tutur Febri di Gedung Merah Putih KPK, Kamis 16 November 2017 dini hari. (Baca juga: KPK Kesulitan Jemput Paksa dan Bawa Setnov )
Atas menghilangnya Setnov, KPK menegaskan siap untuk memasukan nama Setnov dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). "Kami akan pertimbangkan lebih lanjut dan koordinasi dengan polri untuk menerbitkan surat DPO. Karena proses penegakan hukum upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan semaksimal mungkin. Dan prinsip semua orang sama di mata hukum perlu kita dilakukan sesuai aturan yang berlaku," tandasnya.
Menghilangnya Setya Novanto menjadi babak baru perjalanan kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang melibatkan orang nomor satu di Partai Golkar ini.
Bukan hal mudah bagi KPK untuk membuktikan keterlibatan pria yang biasa disapa Setnov ini. Sejak melakukan pengusutan kasus e-KTP 2014 lalu, KPK baru menetapkan Setnov sebagai tersangka pada 17 Juli 2017 atau tiga hari setelah menjalani pemeriksaan di hadapan penyidik.
Status itu tidak membuat nyaman Setnov yang kemudian melakukan langkah hukum mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 September 2017.
Gugatan yang diajukan Setnov tidak lantas mengendurkan semangat KPK menyidik kasus ini. Pada 11 September 2017 KPK memanggil Setnov untuk menjalani pemeriksaan dalam kapasitas sebagai tersangka.
Panggilan penyidik tidak dipenuhi Setnov. Sekjen Golkar Idrus Marham menyerahkan surat kepada KPK yang berisi pernyataan dokter yang menyebut Setnov sedang sakit. Setnov sempat dirawat di Rumah Sakit (RS) Siloam, Semanggi, Jakarta dan akhirnya dipindah ke RS Premier.
Tidak lama kemudian, beredar foto Setnov sedang menjalani perawatan beredar di media sosial. Dalam foto itu, Setnov sedang berbaring dengan berbagai alat medis.
Gugatan praperadilan yang diajukan Setnov berbuahkan hasil. Hakim Cepi Iskandar yang memimpin sidang praperadilan mengabulkan gugatannya. Status tersangka Setnov pun dibatalkan karena dianggap tidak sah.
Meski menang praperadilan, Setnov tidak begitu saja bebas dari "radar" KPK. Lembaga yang dipimpin Agus Rahardjo itu memperpanjang status cegah Setnov ke luar negeri pada 2 Oktober 2017. Status cegah hingga April 2018.
Langkah KPK kembali mendapatkan perlawanan pihak Setnov. Salah satu kuasa hukumnya melaporkan pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang ke Bareskrim Polri. Tuduhannya, keduanya diduga melakukan penyalahgunaan wewenang terkait surat cegah tersebut.
Proses hukum terkait laporan kuasa hukum Setnov berjalan. Bareskrim menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus tersebut. Surat tertanggal 7 November 2017 itu ditunjukan kuasa hukum Setnov, Frederich Yunadi kepada wartawan.
Dalam konferensi pers, Saut membantah penerbitan surat cegah itu tidak sesuai prosedur. Dia pun membeberkan proses penerbitan surat tersebut. Bahkan dia mengaku siap menghadapi proses hukum terkait tuduhan kepadanya.
Pada 10 November 2017, Saut mengumumkan KPK kembali menetapkan Setnov menjadi tersangka kasus e-KTP. "Setelah proses penyelidikan usai dan ditemukan bukti permulaan cukup, pimpinan KPK bersama penyidik, penyelidik dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada akhir Oktober," ucap Saut di Gedung KPK, Jakarta 10 November lalu.
Bergerak cepat, KPK segera memanggil Setnov untuk hadir menjadi saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudiharjo pada 13 November 2017. Setnov tidak memenuhi panggilan dengan alasan pemanggilan dirinya harus seizin Presiden.
Kemudian, KPK menjadwalkan pemeriksaan Setnov sebagai tersangka pada Rabu 15 November 2017. Lagi-lagi, Setnov tidak hadir. Kuasa hukummya menyerahkan surat kepada KPK terkait ketidakhadiran Setnov. Salah satunya, Setnov sedang mengajukan uji materi soal aturan pemanggilan Ketua DPR ke Mahkamah Konstisusi (MK).
Pada hari yang sama Setnov ikut menghadiri Rapat Paripurna DPR. Bahkan Setnov meminta agar Pansus Angket KPK terus bekerja.
Beberapa jam selanjutnya, sekitar pukul 10.00 malam, tujuh penyidik KPK bersama polisi mendatangi kediaman Setnov di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan untuk melakukan penjemputan paksa.
Langkah tersebut diambil KPK karena Setnov berulang kali tidak memenuhi panggilan penyidik. "Secara persuasif kami imbau SN menyerahkan diri. KPK mendatangi rumah SN karena sejumlah panggipan sudah dilakukan sebelumnya namun yang bersangkutan tidak menghadiri," tutur Febri di Gedung Merah Putih KPK, Kamis 16 November 2017 dini hari. (Baca juga: KPK Kesulitan Jemput Paksa dan Bawa Setnov )
Atas menghilangnya Setnov, KPK menegaskan siap untuk memasukan nama Setnov dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). "Kami akan pertimbangkan lebih lanjut dan koordinasi dengan polri untuk menerbitkan surat DPO. Karena proses penegakan hukum upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan semaksimal mungkin. Dan prinsip semua orang sama di mata hukum perlu kita dilakukan sesuai aturan yang berlaku," tandasnya.
(dam)