KPK Kewalahan Menyidik Kasus Dugaan TPPU Tubagus Chaeri Wardana
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui kesulitan dalam menuntaskan kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan tersangka Komisaris Utama PT Bali Pasific Pragama (BPP), Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan.
Wawan juga merupakan terpidana pemberi suap Rp8,5 miliar kepada terpidana mantan hakim sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar, terkait pengurusan putusan sengketa pilkada Kabupaten Lebak 2013 dan putusan sengketa Pilgub Banten 2011.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pada Kamis (9/11/2017) hingga Jumat (10/11/2017) penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi untuk kasus dugaan TPPU tersangka Wawan. Pada Kamis ada empat saksi yang diperiksa. Mereka yakni Manajer Asset and Property PT Bali Pasific Pragama (BPP) Pusat Agah Mochamad Noor, M Bachtiar (swasta), Amat Kalip (swasta), dan Abdul Halim (swasta).
Sedangkan pada Jumat kemarin ada tiga saksi yang diperiksa. Ketiganya adalah Komisaris PT Usaha Jayamas Bhakti Charles Setiawan, Direktur PT Usaha Jayamas Bhakti Edi Amin, dan Molly Oetary (swasta). Pemeriksaan para saksi ini dilakukan setelah penyidikan TPPU Wawan vakum, tertunda, dan mandek, beberapa bulan.
"Saya sudah cek juga ke penyidik, dalam kasus dugaan TPPU tersangka TCW memang membutuhkan waktu tidak sebentar, karena sejumlah aset yang didalami tersebut memiliki kompleksitas tersendiri, sehingga kami perlu waktu untuk memproses itu," ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (10/11/2017) malam.
Sekadar catatan, status Wawan sebagai tersangka TPPU diumumkan KPK pada Senin, 13 Januari 2014. Artinya, sudah sekitar 3 tahun 10 bulan kasus TPPU Wawan berada di tahap penyidikan. Febri mengakui, memang hingga kini kasus TPPU Wawan belum dinaikkan ke tahap penuntutan kemudian dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.
Selain faktor kompleksitas pengusutan aset, juga terkait dengan pembagian sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini penyidik dan jumlah kasus-kasus yang ditangani KPK. Pasalnya, tutur dia, saat ini penyidik KPK sejumlah sekitar 93 orang dengan jumlah kasus yang kian waktu kian bertambah banyak.
Karena itulah pemeriksaan saksi-saksi sempat tertunda beberapa bulan sehingga kasus TPPU Wawan belum rampung dan naik ke penuntutan. "Tapi tentu kami tidak boleh beralasan kekurangan penyidik atau kekurangan sumber daya. Karena kami harus menangani kasus-kasus tersebut semaksimal mungkin," ujarnya.
Mantan pegawai fungsional Direktorat Gratifikasi KPK ini mengungkapkan, faktor ketiga yang menghambat perampungkan berkas kasus TPPU Wawan ke penuntutan adalah terkait dengan bukti-bukti yang dibutuhkan KPK. Pasalnya, bukti-bukti tersebut lebih teknis dan lebih detail. Ditambah lagi Wawan adalah tersangka dari unsur swasta, bukan penyelenggara negara.
"TCW ini berbeda dengan kasus pencucian uang yang lain. Kalau pencucian uang lain sebagian besar pelakunya adalah penyelenggara negara,sehingga kita punya tools pelaporan harta kekayaan (LHKPN) yang bisa kita lihat perbandingan antara penghasilan yang sah dengan kekayaan yang bersangkutan," ujarnya.
Untuk Wawan, dalam kapasitasnya swasta atau pengusaha, KPK harus melihat lebih rinci asal-asal kekayaan mulai dari awal, memetakan mana yang menjadi kekayaan secara sah, dan mana kekayaan yang diduga berasal dari hasil dugaan korupsi. Karena hal tersebut merupakan poin penting yang bisa dibuktikan KPK di pengadilan.
Wawan juga merupakan terpidana pemberi suap Rp8,5 miliar kepada terpidana mantan hakim sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar, terkait pengurusan putusan sengketa pilkada Kabupaten Lebak 2013 dan putusan sengketa Pilgub Banten 2011.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pada Kamis (9/11/2017) hingga Jumat (10/11/2017) penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi untuk kasus dugaan TPPU tersangka Wawan. Pada Kamis ada empat saksi yang diperiksa. Mereka yakni Manajer Asset and Property PT Bali Pasific Pragama (BPP) Pusat Agah Mochamad Noor, M Bachtiar (swasta), Amat Kalip (swasta), dan Abdul Halim (swasta).
Sedangkan pada Jumat kemarin ada tiga saksi yang diperiksa. Ketiganya adalah Komisaris PT Usaha Jayamas Bhakti Charles Setiawan, Direktur PT Usaha Jayamas Bhakti Edi Amin, dan Molly Oetary (swasta). Pemeriksaan para saksi ini dilakukan setelah penyidikan TPPU Wawan vakum, tertunda, dan mandek, beberapa bulan.
"Saya sudah cek juga ke penyidik, dalam kasus dugaan TPPU tersangka TCW memang membutuhkan waktu tidak sebentar, karena sejumlah aset yang didalami tersebut memiliki kompleksitas tersendiri, sehingga kami perlu waktu untuk memproses itu," ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (10/11/2017) malam.
Sekadar catatan, status Wawan sebagai tersangka TPPU diumumkan KPK pada Senin, 13 Januari 2014. Artinya, sudah sekitar 3 tahun 10 bulan kasus TPPU Wawan berada di tahap penyidikan. Febri mengakui, memang hingga kini kasus TPPU Wawan belum dinaikkan ke tahap penuntutan kemudian dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.
Selain faktor kompleksitas pengusutan aset, juga terkait dengan pembagian sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini penyidik dan jumlah kasus-kasus yang ditangani KPK. Pasalnya, tutur dia, saat ini penyidik KPK sejumlah sekitar 93 orang dengan jumlah kasus yang kian waktu kian bertambah banyak.
Karena itulah pemeriksaan saksi-saksi sempat tertunda beberapa bulan sehingga kasus TPPU Wawan belum rampung dan naik ke penuntutan. "Tapi tentu kami tidak boleh beralasan kekurangan penyidik atau kekurangan sumber daya. Karena kami harus menangani kasus-kasus tersebut semaksimal mungkin," ujarnya.
Mantan pegawai fungsional Direktorat Gratifikasi KPK ini mengungkapkan, faktor ketiga yang menghambat perampungkan berkas kasus TPPU Wawan ke penuntutan adalah terkait dengan bukti-bukti yang dibutuhkan KPK. Pasalnya, bukti-bukti tersebut lebih teknis dan lebih detail. Ditambah lagi Wawan adalah tersangka dari unsur swasta, bukan penyelenggara negara.
"TCW ini berbeda dengan kasus pencucian uang yang lain. Kalau pencucian uang lain sebagian besar pelakunya adalah penyelenggara negara,sehingga kita punya tools pelaporan harta kekayaan (LHKPN) yang bisa kita lihat perbandingan antara penghasilan yang sah dengan kekayaan yang bersangkutan," ujarnya.
Untuk Wawan, dalam kapasitasnya swasta atau pengusaha, KPK harus melihat lebih rinci asal-asal kekayaan mulai dari awal, memetakan mana yang menjadi kekayaan secara sah, dan mana kekayaan yang diduga berasal dari hasil dugaan korupsi. Karena hal tersebut merupakan poin penting yang bisa dibuktikan KPK di pengadilan.
(thm)