Masa Sulit Bisnis Ritel

Jum'at, 27 Oktober 2017 - 08:00 WIB
Masa Sulit Bisnis Ritel
Masa Sulit Bisnis Ritel
A A A
MUSIM gugur industri ritel Tanah Air mulai tiba. Satu per satu pelaku industri ritel menutup gerai. Sejumlah nama industri ritel yang sudah akrab di telinga masyarakat kini tak berbekas lagi. Menandai akhir tahun ini, Lotus Department Store dan Debenhams yang sempat berkibar di pasar dalam negeri yang dikelola di bawah payung PT Mitra Adi Perkasa Tbk segera menutup gerai yang ada. Rontoknya industri ritel mengundang perdebatan serius. Pelaku industri ritel menunjuk daya beli masyarakat yang melemah membuat sempoyongan sehingga sektor bisnis ini di ambang kehancuran. Namun pemerintah menepis tudingan bahwa daya beli masyarakat saat ini sedang melempem.

Ada juga yang mengaitkan hal itu sebagai dampak dari maraknya transaksi online sebagai salah satu bentuk pola pergeseran belanja masyarakat. Namun pelaku bisnis online pun membela diri bahwa pertumbuhan transaksi online memang cukup besar, tetapi pangsa pasarnya masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan pasar ritel untuk negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini.

Perdebatan seputar penyebab anjloknya industri ritel memang terus memanas, tetapi belum ada kata sepakat penyebabnya apa? Pelaku industri ritel tetap bersikukuh bahwa ini akibat daya beli masyarakat yang turun, tetapi pemerintah berpedoman data perkembangan ekonomi menunjukkan daya beli masyarakat normal saja. Padahal, sebenarnya, pelemahan industri ritel terjadi secara global.

Sekarang perdebatan soal penyebab anjloknya industri ritel hendaknya tidak menghabiskan energi. Pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana pemerintah memastikan langkah yang tepat dalam mengantisipasi keruntuhan industri ritel. Apa pun alasannya, pemerintah tidak boleh lengah dengan fenomena keruntuhan industri ritel karena berhubungan langsung dengan kebutuhan konsumsi masyarakat.

Sepanjang kuartal kedua 2017 industri ritel mengalami tekanan berat alias omzet terus terjun bebas. Sudah lazimnya setiap Lebaran pelaku bisnis ritel selalu meraup untung besar, tetapi untuk kondisi Lebaran 2017 lalu sungguh mengenaskan. Para peritel yang bernaung di bawah Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) hanya meraup 25% dari total omzet tahunan. Bandingkan dengan Lebaran 2016 yang masih mencapai 40% dari total omzet tahunan. Penjualan ritel yang melemah juga berdampak pada penurunan tingkat hunian pusat perbelanjaan karena peritel menunda ekspansi.

Sebaliknya pelaku bisnis online menolak anggapan bahwa perkembangan dan pertumbuhan e-commerce di dalam negeri telah meredupkan bisnis ritel konvensional. Transaksi online di Indonesia, sebagaimana dibeberkan Chief Executive Officer (CEO) Tokopedia William Tanujaya, baru sebesar 1% dari total transaksi ritel saat ini. Ke depan, William memprediksi bisnis toko online dan toko offline (konvensional) akan saling membutuhkan melalui kolaborasi dalam proses bisnis keduanya atau dengan kata lain toko online dan toko offline tidak akan saling membunuh, tetapi saling membutuhkan.

Lalu mengapa industri ritel tetap rontok? Menarik menyimak pandangan dari Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang. Menurutnya ada empat hal yang memengaruhi industri ritel domestik belakangan ini. Pertama, persaingan antarpusat perbelanjaan sangat ketat. Setiap pertum­buh­an kawasan hunian baru dan perkantoran hingga kawasan industri selalu dibarengi dengan pusat perbelanjaan. Kedua, belanja online turut berpengaruh meski porsinya masih kecil. Ketiga, masuknya barang-barang ilegal juga salah satu faktor pengganggu. Keempat, sedang terjadi perlambatan pertumbuhan pada sektor ritel.

Bicara soal perlambatan pertumbuhan setor ritel tidak hanya terjadi di Indonesia. Singapura yang selama ini dikenal sebagai surga belanja kini pesonanya memudar. Negeri jiran itu memiliki ruang ritel per kapita yang cukup besar di Asia. Publikasi Jones Lang Lasalle (JLL), Singapura memiliki 11,6 kaki persegi atau 1,08 meter persegi ritel per kapita, lebih besar bila dibandingkan dengan Bangkok dan Hong Kong, tetapi ter­dapat tingkat kekosongan yang tinggi sekitar 8,4% pada Juli lalu. Kini, pusat perbelanjaan di Singapura juga meredup. Penutupan sejumlah gerai peritel yang menandai akhir tahun ini adalah peringatan bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis menyelamatkan industri ritel nasional sebelum terlambat.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4245 seconds (0.1#10.140)