Kampus Bisa Jadi Pelopor Lawan Radikalisme
A
A
A
JAKARTA - Kampus sebagai tempat calon-calon intelektual bangsa selama ini dijadikan incaran utama dalam penyebaran radikalisme.
Jiwa muda, haus ilmu, dan suka dengan hal-hal baru yang menjadi sifat mahasiswa, menjadi celah masuknya paham kekerasan tersebut.
Untuk itu, harus ada upaya luar biasa dan terus menerus untuk membentengi sekaligus mengikis radikalisme dari lingkungan kampus.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk memberikan imunitas bagi para mahasiswa dan mahasiswi agar terhindar dari ‘serangan’ radikalisme.
Bahkan kampus harus bisa menjadi pelopor dalam melawan radikalisme, atau bahkan terorisme.
“Saya melihat 4,5 juta mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang akan mengikuti Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme di seluruh provinsi pada 28 Oktober mendatang merupakan langkah yang tepat untuk menanamkan nasionalisme sekaligus membuang virus radikalisme,” ujar pengamat pendidikan, Darmaningtyas, Selasa (17/10/2017).
Sebelumnya, panitia pengarah Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme Prof Dr H Zainal Abidin MAg mengatakan aksi dihadiri lebih dari 3.000 pimpinan perguruan tinggi se-Indonesia di Nusa Dua Bali pada 25-26 September 2017 lalu.
Dalam rapat pleno aksi menyepakati secara bulat materi deklarasi kebangsaan dan menyosialisasikannya di setiap wilayah. Bentuk atau instrumen sosialisasi dilakukan dalam bentuk kuliah akbar Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme secara serentak se-Indonesia pada 28 Oktober 2017.
Selain menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila dan agama yang benar kepada mahasiswa, Darmaningtyas juga mengimbau pemerintah, terutama Kementerian Riset dan Dikti, melakukan program pertukaran pelajar antara daerah.
Upaya ini dinilai sangat tepat untuk menangkal radikalisme sekaligus menanamkan rasa nasionalisme dan kebinekaan kepada para pelajar maupun mahasiswa supaya lebih mencintai Tanah Air.
Darmaningtyas mengemukakan, jauh lebih mudah menanamkan nasionalisme kepada generasi penerus dengan mengalami hidup secara langsung di daerah lain, ketimbang memberikan pemahaman melalui pembelajaran kepada mereka di kampus atau sekolah.
"Saya pikir mengalami hidup langsung di daerah lain lebih mudah membangkitkan nasionalisme pelajar atau mahasiwa. Mereka akan mencintai wilayah di mana mereka pernah tinggal, karena mengetahui adat istiadat dan merasakan hidup di wilayah itu secara langsung," tuturnya.
Dia mencontohkan, pemerintah bisa mengirimkan pelajar atau mahasiswa dari Pulau Jawa ke Papua atau sebaliknya untuk belajar selama enam hingga 12 bulan.
"Pola ini saya pikir jauh lebih efektif untuk menanamkan rasa nasionalisme kepada para generasi muda kita. Melalui pertukaran pelajar atau mahasiwa mereka bisa mengalami langsung kehidupan di daerah orang lain, dan akan menumbuhkan rasa cinta Tanah Air. Ini yang harus dilakukan pemerintah," tuturnya.
Jiwa muda, haus ilmu, dan suka dengan hal-hal baru yang menjadi sifat mahasiswa, menjadi celah masuknya paham kekerasan tersebut.
Untuk itu, harus ada upaya luar biasa dan terus menerus untuk membentengi sekaligus mengikis radikalisme dari lingkungan kampus.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk memberikan imunitas bagi para mahasiswa dan mahasiswi agar terhindar dari ‘serangan’ radikalisme.
Bahkan kampus harus bisa menjadi pelopor dalam melawan radikalisme, atau bahkan terorisme.
“Saya melihat 4,5 juta mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang akan mengikuti Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme di seluruh provinsi pada 28 Oktober mendatang merupakan langkah yang tepat untuk menanamkan nasionalisme sekaligus membuang virus radikalisme,” ujar pengamat pendidikan, Darmaningtyas, Selasa (17/10/2017).
Sebelumnya, panitia pengarah Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme Prof Dr H Zainal Abidin MAg mengatakan aksi dihadiri lebih dari 3.000 pimpinan perguruan tinggi se-Indonesia di Nusa Dua Bali pada 25-26 September 2017 lalu.
Dalam rapat pleno aksi menyepakati secara bulat materi deklarasi kebangsaan dan menyosialisasikannya di setiap wilayah. Bentuk atau instrumen sosialisasi dilakukan dalam bentuk kuliah akbar Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme secara serentak se-Indonesia pada 28 Oktober 2017.
Selain menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila dan agama yang benar kepada mahasiswa, Darmaningtyas juga mengimbau pemerintah, terutama Kementerian Riset dan Dikti, melakukan program pertukaran pelajar antara daerah.
Upaya ini dinilai sangat tepat untuk menangkal radikalisme sekaligus menanamkan rasa nasionalisme dan kebinekaan kepada para pelajar maupun mahasiswa supaya lebih mencintai Tanah Air.
Darmaningtyas mengemukakan, jauh lebih mudah menanamkan nasionalisme kepada generasi penerus dengan mengalami hidup secara langsung di daerah lain, ketimbang memberikan pemahaman melalui pembelajaran kepada mereka di kampus atau sekolah.
"Saya pikir mengalami hidup langsung di daerah lain lebih mudah membangkitkan nasionalisme pelajar atau mahasiwa. Mereka akan mencintai wilayah di mana mereka pernah tinggal, karena mengetahui adat istiadat dan merasakan hidup di wilayah itu secara langsung," tuturnya.
Dia mencontohkan, pemerintah bisa mengirimkan pelajar atau mahasiswa dari Pulau Jawa ke Papua atau sebaliknya untuk belajar selama enam hingga 12 bulan.
"Pola ini saya pikir jauh lebih efektif untuk menanamkan rasa nasionalisme kepada para generasi muda kita. Melalui pertukaran pelajar atau mahasiwa mereka bisa mengalami langsung kehidupan di daerah orang lain, dan akan menumbuhkan rasa cinta Tanah Air. Ini yang harus dilakukan pemerintah," tuturnya.
(dam)