Enam Alasan Fraksi PKS Tolak Perppu Ormas
A
A
A
JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menegaskan sikapnya menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Penolakan itu disampaikan Mardani Ali Sera, Anggota Komisi II DPR dalam rapat kerja (Raker) tentang Perppu Ormas dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).
Kendati demikian, Mardani mengatakan Fraksi PKS siap untuk membahas dan mendengar masukan tambahan argumentasi dari para pakar dan organissai kemasyakaratan yang akan dihadirkan di Komisi II DPR RI pada 17-19 Oktober 2017
“Bismillahirrohmanirohim, kami Fraksi PKS menyatakan tegas menolak RUU Penetapan Perppu Ormas menjadi undang-undang,” kata Mardani di Kompleks DPR, Senin (16/12/2017) dalam siaran persnya kepada SINDOnews.
Berikut lima poin landasan Fraksi PKS menolak Perppu Ormas. Pertama, Fraksi PKS menilai penerbitan Perpu tentang Ormas tidak memenuhi urgensi “Hal Ihwal Kegentingan yang Memaksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VII/2009.
Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 dalam perkara Permohonan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menerjemahkan hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945 sehingga memerlukan Perppu.
"Alasan tersebut tidak lah berdasar karena dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat telah diatur tentang prosedur pemberian sanksi terhadap Ormas yang melakukan pelanggaran," kata Mardani.
Dengan demikian, kata dia, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi prasyarat prosedural yang ditetapkan karena pada praktiknya UU tentang Ormas telah memadai sehingga tidak terjadi kekosongan hukum
Kedua, Fraksi PKS menilai Perppu Ormas melakukan pembatasan terhadap hak-hak berserikat dan berkumpul yang bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Fraksi PKS menegaskan hak untuk berserikat dan berkumpul merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi.
Pembatasan terhadap hak-hak berserikat dan berkumpul yang diakomodasi dalam Perpu Ormas dinilai sangat mengancam kehidupan demokratis dalam negara hukum.
Ketiga, Fraksi PKS menilai Perppu tentang Ormas mengandung ambiguitas yang rawan ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pelaksana kebijakan.
Misalnya, dalam hal norma tentang larangan bagi ormas dalam berkegiatan, yang meliputi pula larangan untuk menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang (Pasal 59 ayat 4).
Keempat; Fraksi PKS menilai Perppu Ormas berpotensi memunculkan rezim otoriter dengan menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran ormas.
Hal itu dinilainya sangat krusial dan fatal yang diatur dalam Perppu Ormas sehingga menjadikan perppu ini sebagai ancaman bagi pelaksanaan demokrasi di negara hukum Indonesia adalah dihilangkannya peran pengadilan dalam pembubaran ormas dan diambil alih oleh Pemerintah.
"Selain menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran Ormas, dalam Perpu ini juga Pemerintah menyederhanakan dan menghilangkan tahapan-tahapan pembubaran Ormas yang sebelumnya diatur secara berjenjang dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas," tuturnya.
Kelima, Fraksi PKS menilai Perppu Ormas memuat sanksi pidana yang berpotensi disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi.
Melalui Perppu Ormas, kata Mardani, pemerintah menambah berat sanksi pidana dalam hal penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dilakukan oleh orang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas, menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
Pemberian sanksi pidana ini tentu memperberat pemidanaan dalam tindak pidana penyalahgunaan, penistaan, dan penodaan terhadap agama.
Dalam Pasal 156 a KUHP berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, ditegaskan bahwa perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.
Menurut Fraksi PKS, pemberatan sanksi pidana dalam perkara penyalahgunaan, penistaan, dan penodaan terhadap agama dalam konteks pelanggaran ormas yang diatur dalam Perppu Ormas tidak tepat.
Dia menilai tidak tepat karena pemberatan sanksi pidana tidak konsisten dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain mengenai norma yang sama.
Selain itu, kata dia, ketentuan ini sangat rawan untuk dijadikan senjata oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kriminalisasi terhadap orang-orang tertentu dengan dalih penodaan terhadap agama.
"Bahkan, ketentuan ini dapat dijadikan celah untuk memberangus kegiatan ormas dengan mengkriminalisasikan anggota dan atau pengurus ormas tersebut dengan menggunakan pasal tentang penodaan agama ini," tuturnya.
Keenam, Perppu Ormas Bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 37.
Menurut Fraksi PKS, hal tersebut dibuktikan pada Pasal 59 ayat 4 huruf c Ormas yang berbunyi dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Dalam penjelasan pasal tersebut ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah yang ingin mengubah konstitusi.
"Seharusnya yang menyusun dan menetapkan perppu ini memahami bahwa Pancasila berbeda dengan Undang-Undang Dasar (UUD) yang bisa diamendemen sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," tuturnya.
Menurut dia, Jika penjelasan Pasal 59 ayat 4 huruf c dalam Perppu itu diberlakukan maka ormas manapun yang memberikan masukan perubahan/amendemen Konstitusi ke Gedung MPR dapat dibubarkan dan dipidanakan. "Ini sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi di Indonesia," katanya.
Penolakan itu disampaikan Mardani Ali Sera, Anggota Komisi II DPR dalam rapat kerja (Raker) tentang Perppu Ormas dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Hukum dan Ham (Menkumham) dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).
Kendati demikian, Mardani mengatakan Fraksi PKS siap untuk membahas dan mendengar masukan tambahan argumentasi dari para pakar dan organissai kemasyakaratan yang akan dihadirkan di Komisi II DPR RI pada 17-19 Oktober 2017
“Bismillahirrohmanirohim, kami Fraksi PKS menyatakan tegas menolak RUU Penetapan Perppu Ormas menjadi undang-undang,” kata Mardani di Kompleks DPR, Senin (16/12/2017) dalam siaran persnya kepada SINDOnews.
Berikut lima poin landasan Fraksi PKS menolak Perppu Ormas. Pertama, Fraksi PKS menilai penerbitan Perpu tentang Ormas tidak memenuhi urgensi “Hal Ihwal Kegentingan yang Memaksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VII/2009.
Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 dalam perkara Permohonan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menerjemahkan hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945 sehingga memerlukan Perppu.
"Alasan tersebut tidak lah berdasar karena dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat telah diatur tentang prosedur pemberian sanksi terhadap Ormas yang melakukan pelanggaran," kata Mardani.
Dengan demikian, kata dia, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi prasyarat prosedural yang ditetapkan karena pada praktiknya UU tentang Ormas telah memadai sehingga tidak terjadi kekosongan hukum
Kedua, Fraksi PKS menilai Perppu Ormas melakukan pembatasan terhadap hak-hak berserikat dan berkumpul yang bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Fraksi PKS menegaskan hak untuk berserikat dan berkumpul merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi.
Pembatasan terhadap hak-hak berserikat dan berkumpul yang diakomodasi dalam Perpu Ormas dinilai sangat mengancam kehidupan demokratis dalam negara hukum.
Ketiga, Fraksi PKS menilai Perppu tentang Ormas mengandung ambiguitas yang rawan ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pelaksana kebijakan.
Misalnya, dalam hal norma tentang larangan bagi ormas dalam berkegiatan, yang meliputi pula larangan untuk menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang (Pasal 59 ayat 4).
Keempat; Fraksi PKS menilai Perppu Ormas berpotensi memunculkan rezim otoriter dengan menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran ormas.
Hal itu dinilainya sangat krusial dan fatal yang diatur dalam Perppu Ormas sehingga menjadikan perppu ini sebagai ancaman bagi pelaksanaan demokrasi di negara hukum Indonesia adalah dihilangkannya peran pengadilan dalam pembubaran ormas dan diambil alih oleh Pemerintah.
"Selain menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran Ormas, dalam Perpu ini juga Pemerintah menyederhanakan dan menghilangkan tahapan-tahapan pembubaran Ormas yang sebelumnya diatur secara berjenjang dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas," tuturnya.
Kelima, Fraksi PKS menilai Perppu Ormas memuat sanksi pidana yang berpotensi disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi.
Melalui Perppu Ormas, kata Mardani, pemerintah menambah berat sanksi pidana dalam hal penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dilakukan oleh orang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas, menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
Pemberian sanksi pidana ini tentu memperberat pemidanaan dalam tindak pidana penyalahgunaan, penistaan, dan penodaan terhadap agama.
Dalam Pasal 156 a KUHP berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, ditegaskan bahwa perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.
Menurut Fraksi PKS, pemberatan sanksi pidana dalam perkara penyalahgunaan, penistaan, dan penodaan terhadap agama dalam konteks pelanggaran ormas yang diatur dalam Perppu Ormas tidak tepat.
Dia menilai tidak tepat karena pemberatan sanksi pidana tidak konsisten dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain mengenai norma yang sama.
Selain itu, kata dia, ketentuan ini sangat rawan untuk dijadikan senjata oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kriminalisasi terhadap orang-orang tertentu dengan dalih penodaan terhadap agama.
"Bahkan, ketentuan ini dapat dijadikan celah untuk memberangus kegiatan ormas dengan mengkriminalisasikan anggota dan atau pengurus ormas tersebut dengan menggunakan pasal tentang penodaan agama ini," tuturnya.
Keenam, Perppu Ormas Bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 37.
Menurut Fraksi PKS, hal tersebut dibuktikan pada Pasal 59 ayat 4 huruf c Ormas yang berbunyi dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Dalam penjelasan pasal tersebut ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah yang ingin mengubah konstitusi.
"Seharusnya yang menyusun dan menetapkan perppu ini memahami bahwa Pancasila berbeda dengan Undang-Undang Dasar (UUD) yang bisa diamendemen sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," tuturnya.
Menurut dia, Jika penjelasan Pasal 59 ayat 4 huruf c dalam Perppu itu diberlakukan maka ormas manapun yang memberikan masukan perubahan/amendemen Konstitusi ke Gedung MPR dapat dibubarkan dan dipidanakan. "Ini sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi di Indonesia," katanya.
(dam)