KPK dan Densus Tipikor
A
A
A
Polri segera membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor). Lembaga baru ini akan bertugas secara khusus untuk menangani kasus-kasus korupsi.
Pembentukan Densus Tipikor ini diharapkan mampu ikut menekan angka korupsi di Indonesia yang tergolong masih sangat tinggi.
Terlepas dari berbagai polemik yang muncul belakangan, kehadiran Densus Tipikor ini harus dimaknai secara positif sebagai tenaga tambahan bagi upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Dalam arti bahwa semakin banyak lembaga yang menangani korupsi, logikanya akan kian mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selama ini harus diakui hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang paling gencar melakukan upaya penegakan hukum kasus korupsi. Dua lembaga lain, Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung), dinilai kurang bertaji dalam ikut menangkap para penggarong uang negara ini.
Namun, sejujurnya, dalam perjalanannya sejak pembentukan KPK tahun 2002, lembaga tersebut ternyata belum mampu berbuat banyak untuk melenyapkan para koruptor dari bumi Nusantara.
Berbagai operasi tangkap tangan (OTT) yang akhir-akhir ini sangat gencar dilakukan KPK menangkapi para kepala daerah memang tampaknya seperti sebuah keberhasilan.
Namun, jika kita mencermati lebih dalam lagi, berbagai OTT yang dilakukan KPK juga bisa dilihat sebagai sebuah kegagalan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Mengapa begitu? Dengan masih banyaknya koruptor yang tertangkap, hal itu menandakan bahwa penegakan hukum kasus korupsi yang dilakukan KPK dan penegak hukum lain di tingkat penuntutan dan pengadilan ternyata tidak menimbulkan rasa takut dan efek jera yang berarti di masyarakat.
Banyaknya pejabat negara yang masuk penjara ternyata tidak menjadi pelajaran bagi pejabat negara lain untuk takut mencuri uang rakyat. Mereka tidak takut.
Korupsi tetap jalan terus yang ditandai dengan masih banyaknya pejabat negara yang ditangkap KPK karena diduga korupsi. Supervisi yang dilakukan KPK terhadap Kejagung dan Polri dalam menangani kasus korupsi juga belum membuahkan hasil yang optimal.
Karena itu kehadiran Densus Tipikor memang sangat diperlukan bagi kemajuan negara ini. Alasannya? Pertama, Densus Tipikor bisa menjadi bala bantuan KPK yang selama ini cenderung sendiri dalam penegakan hukum kasus korupsi.
Apalagi Densus Tipikor ini akan dibangun dengan semangat yang menyerupai KPK seperti soal gaji pegawainya yang disebut Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian akan disamakan dengan penyidik KPK.
Tentu kalau janji Kapolri ini benar-benar diwujudkan, Densus Tipikor akan menjadi kekuatan yang sangat hebat.
Apalagi jika nanti kewenangan dan infrastruktur pendukungnya disamakan juga dengan KPK, tentu kekuatan Densus Tipikor akan lebih dahsyat lagi. Polri pun sudah menyiapkan dana Rp2,6 triliun untuk membangun Densus Tipikor tersebut.
Kedua, selama ini hal yang dikeluhkan KPK adalah soal personel yang terbatas. Keberadaan Densus Tipikor akan menjawab kelemahan KPK tersebut.
Dengan jumlah personel polisi yang sangat besar dan tersebar di seluruh pelosok Nusantara, tentu ruang cakupan Densus Tipikor akan lebih luas bila dibandingkan dengan KPK.
Maka sudah saatnya kita tidak berprasangka negatif terhadap pembentukan Densus Tipikor tersebut. Karena memang kehadiran lembaga yang khusus menangani korupsi sangat penting di tengah fenomena korupsi yang sudah makin membudaya di masyarakat kita.
Yang diperlukan saat ini adalah dukungan penuh dari pemerintah dan semua komponen bangsa terhadap dua lembaga tersebut untuk bekerja serius dalam mengenyahkan koruptor dari Indonesia.
Bagi KPK, kehadiran Densus Tipikor jangan dipandang sebagai pesaing dalam bekerja. Bahkan KPK bisa berbagi ilmu dan tugas dengan Densus Tipikor untuk sama-sama menyukseskan misi memberantas korupsi.
Sebaliknya Densus Tipikor juga harus memandang KPK sebagai partner yang senior. Densus Tipikor tak perlu malu untuk menimba ilmu pengalaman dari KPK. Karena bagaimanapun selama 14 tahun KPK pasti memiliki banyak pengalaman berharga dalam memberantas korupsi.
Persaingan dan rivalitas yang selama ini pernah muncul, mislanya dalam kasus cicak vs buaya harus dihilangkan jauh-jauh. Dengan koordinasi dan kerja sama yang saling menghargai dan konstruktif, kita berharap pemberantasan korupsi benar-benar bisa efektif dalam menumbuhkan budaya takut korupsi.
Pembentukan Densus Tipikor ini diharapkan mampu ikut menekan angka korupsi di Indonesia yang tergolong masih sangat tinggi.
Terlepas dari berbagai polemik yang muncul belakangan, kehadiran Densus Tipikor ini harus dimaknai secara positif sebagai tenaga tambahan bagi upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Dalam arti bahwa semakin banyak lembaga yang menangani korupsi, logikanya akan kian mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Selama ini harus diakui hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang paling gencar melakukan upaya penegakan hukum kasus korupsi. Dua lembaga lain, Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung), dinilai kurang bertaji dalam ikut menangkap para penggarong uang negara ini.
Namun, sejujurnya, dalam perjalanannya sejak pembentukan KPK tahun 2002, lembaga tersebut ternyata belum mampu berbuat banyak untuk melenyapkan para koruptor dari bumi Nusantara.
Berbagai operasi tangkap tangan (OTT) yang akhir-akhir ini sangat gencar dilakukan KPK menangkapi para kepala daerah memang tampaknya seperti sebuah keberhasilan.
Namun, jika kita mencermati lebih dalam lagi, berbagai OTT yang dilakukan KPK juga bisa dilihat sebagai sebuah kegagalan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Mengapa begitu? Dengan masih banyaknya koruptor yang tertangkap, hal itu menandakan bahwa penegakan hukum kasus korupsi yang dilakukan KPK dan penegak hukum lain di tingkat penuntutan dan pengadilan ternyata tidak menimbulkan rasa takut dan efek jera yang berarti di masyarakat.
Banyaknya pejabat negara yang masuk penjara ternyata tidak menjadi pelajaran bagi pejabat negara lain untuk takut mencuri uang rakyat. Mereka tidak takut.
Korupsi tetap jalan terus yang ditandai dengan masih banyaknya pejabat negara yang ditangkap KPK karena diduga korupsi. Supervisi yang dilakukan KPK terhadap Kejagung dan Polri dalam menangani kasus korupsi juga belum membuahkan hasil yang optimal.
Karena itu kehadiran Densus Tipikor memang sangat diperlukan bagi kemajuan negara ini. Alasannya? Pertama, Densus Tipikor bisa menjadi bala bantuan KPK yang selama ini cenderung sendiri dalam penegakan hukum kasus korupsi.
Apalagi Densus Tipikor ini akan dibangun dengan semangat yang menyerupai KPK seperti soal gaji pegawainya yang disebut Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian akan disamakan dengan penyidik KPK.
Tentu kalau janji Kapolri ini benar-benar diwujudkan, Densus Tipikor akan menjadi kekuatan yang sangat hebat.
Apalagi jika nanti kewenangan dan infrastruktur pendukungnya disamakan juga dengan KPK, tentu kekuatan Densus Tipikor akan lebih dahsyat lagi. Polri pun sudah menyiapkan dana Rp2,6 triliun untuk membangun Densus Tipikor tersebut.
Kedua, selama ini hal yang dikeluhkan KPK adalah soal personel yang terbatas. Keberadaan Densus Tipikor akan menjawab kelemahan KPK tersebut.
Dengan jumlah personel polisi yang sangat besar dan tersebar di seluruh pelosok Nusantara, tentu ruang cakupan Densus Tipikor akan lebih luas bila dibandingkan dengan KPK.
Maka sudah saatnya kita tidak berprasangka negatif terhadap pembentukan Densus Tipikor tersebut. Karena memang kehadiran lembaga yang khusus menangani korupsi sangat penting di tengah fenomena korupsi yang sudah makin membudaya di masyarakat kita.
Yang diperlukan saat ini adalah dukungan penuh dari pemerintah dan semua komponen bangsa terhadap dua lembaga tersebut untuk bekerja serius dalam mengenyahkan koruptor dari Indonesia.
Bagi KPK, kehadiran Densus Tipikor jangan dipandang sebagai pesaing dalam bekerja. Bahkan KPK bisa berbagi ilmu dan tugas dengan Densus Tipikor untuk sama-sama menyukseskan misi memberantas korupsi.
Sebaliknya Densus Tipikor juga harus memandang KPK sebagai partner yang senior. Densus Tipikor tak perlu malu untuk menimba ilmu pengalaman dari KPK. Karena bagaimanapun selama 14 tahun KPK pasti memiliki banyak pengalaman berharga dalam memberantas korupsi.
Persaingan dan rivalitas yang selama ini pernah muncul, mislanya dalam kasus cicak vs buaya harus dihilangkan jauh-jauh. Dengan koordinasi dan kerja sama yang saling menghargai dan konstruktif, kita berharap pemberantasan korupsi benar-benar bisa efektif dalam menumbuhkan budaya takut korupsi.
(nag)